Cagar Budaya dan Bencana: Catatan Pengalaman 6 Kota di Indonesia
Oleh:
Ary Sulistyo[1]
Bencana dan
Budaya: Sebuah Catatan Kecil
Tulisan ini adalah refleksi pribadi penulis. Penulisan ini adalah
lebih pada
bacaan populer daripada kajian akademis-teknis. Kota-kota yang pernah penulis
kunjungi dan diobservasi pada tahun 2011 adalah Medan, Nias, Palembang,
Yogyakarta, Denpasar, dan Larantuka (NTT). Indonesia
memang salah satu negara yang sering mengalami kejadian bencana baik akibat
aktivitas alami maupun aktivitas manusia. Secara umum bencana dapat dibagi
menjadi beberapa jenis yang dibedakan melaui faktor alam, non-alam, dan sosial.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Jaringan
Pelestarian Pusaka Indonesia dan International
Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia pada tahun 2003
menerbitkan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia (Indonesian Charter for Heritage Conservation). Piagam ini
menguraikan bahwa pusaka Indonesia meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan
pusaka saujana sebagai gabungan dari pusaka alam dan budaya dalam satu kesatuan
waktu. Pusaka budaya pun mencakup karakternya yang teraga (tangible) dan tak teraga (intangible).
Pada ranah pelestarian pusaka pun, perhatian tak lagi hanya tertuju pada pusaka
elit (adiluhung), seperti monumen dan situs besar, tetapi juga pusaka rakyat
yang tersebar di banyak penjuru daerah yang tidak luput dari ancaman bencana.
Maka dari itu sebagai aset yang tak ternilai harganya maka kawasan-kawasan
pusaka tersebut seharusnya juga dapat dilindungi dengan baik melalui upaya
pengelolaan risiko bencana yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan
bencana terutama pada saat tidak terjadi bencana. Sedangkan menurut
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di
air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada
masa lalu. Dalam terminologi ilmu arkeologi, situs lebih kepada konteks ruang
dimana artefak dan fitur tersebut ditemukan. Dengan demikian objek kajian
arkeologi adalah seluruh hasil aktivitas manusia masa lalu
menyangkut seluruh aspek kehidupannya melalui kebudayaan materi (Sharer dan
Ashmore, 1976:11).
Penanggulangan
dan pengelolaan bencana di Indonesia belum di atur secara spesifik dalam
penanganan terhadap bangunan atau di kawasan cagar budaya. Dalam undang-undang
tersebut, harus ada upaya perlindungan terhadap cagar budaya berupa
penyelamatan dan pengamanan untuk mencegah kerusakan akibat faktor alam
dan/atau ulah manusia. Di sini jelas bahwa aspek perlindungan menjadi sasaran
yang utama.
Oleh karena itu, pengelolaan bencana (disaster management) adalah paradigm penyesuaian pada saat
terjadinya bahaya dan model pilihan yang menyertai untuk mengklasifikasikan
penyesuaian bahaya atau bencana menjadi empat tahapan sementara atau tahapan
management darurat, yang meliputi mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan
(Milati, 1999 dalam Paul, 2011: 157).
Dalam konteks yang lebih praktis dikenal dengan istilah risk disaster management atau pengelolaan resiko bencana. Penurunan
ancaman terkait bencana dan memaksimalkan manfaat yang terkait (Smith dan
Petley, 2009:50). Gambar di bawah ini adalah siklus pengelolaan resiko bencana
yang terdiri dari sebelum bencana, selama bencana, dan setelah bencana.
Sumber: UNESCO, 2010
Gambar Siklus
Pengelolaan Bencana
Potensi bencana di Indonesia
Letak geografis Indonesia merupakan daerah
yang rawan terhadap bencana. Potensi bencana di Indonesia dapat dikategorikan
ke dalam kategori bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana
alam dapat disebabkan oleh faktor geologi seperti gempabumi, tsunami dan
letusan gunung api; faktor hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor,
kekeringan, angin topan; dan faktor biologi seperti wabah penyakit manusia,
penyakit tanaman/ternak, dan hama tanaman. Bencana non-alam biasanya disebabkan
oleh faktor kegagalan teknologi seperti kecelakaan industri, kecelakaan
transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia, dan kebakaran. Bencana
Sosial adalah akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat
perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik.
Bencana
dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara
perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin
diperkirakan secara akurat, kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya.
Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan,
letusan gunung api, tsunami dan anomali cuaca masih dapat diramalkan
sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan
dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi
karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Bila
mengamati bahaya bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi
bahaya bencana yang sangat tinggi. Beberapa potensi bahaya bencana yang ada
antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir,
tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama
ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang
menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan,
peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta
potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari
indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi
bahaya utama yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi
negara Indonesia.
Disamping
tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan
yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya
likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan
kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan ini sangat tinggi terutama
di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya
di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang
tinggi. Dengan indikator diatas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan
potensi bencana yang sangat tinggi.
Bencana
non-alam secara umum potensi bahaya bencana nya ada di kawasan cagar budaya
yang dikaji adalah bahaya gagal teknologi dan kelalaian pemeliharaan, antara
lain kebakaran, pelapukan, korosi, dan serangan hewan rayap. Sedangkan
bencana sosial adalah berdasarkan pengamatan di kawasan cagar budaya adalah
kerusuhan, pencurian, dan vandalisme. Pada
tabel di bawah ini adalah hubungan antara bencana alam (natural hazard) dan yang disebabkan oleh manusia (human-induced) yang berada di kawasan
cagar budaya.
Hubungan bencana alam (natural hazard)
dan manusia (human-induced hazard)
Identifikasi
Bahaya umum
|
Alam
|
Manusia
|
Langsung/Tidak Langsung
|
Meterologi
|
Badai
Petir
Hujan lebat
|
Banjir (pantai/sungai)
|
|
Hidrologi
(disebabkan oleh hujan lebat)
|
Banjir bandang
Longsor/debu
vulkanik/Tsunami
|
Kegagalan infra struktur hidrologi (bendungan ,
tanggul, waduk, (sistem drainase)
kegagalan perlindungan Pesisir (dinding laut)
|
Polusi
epidemi penyakit
|
Vulkanik
|
Aliran lava
Aliran piroklastik
Abu dan batu
Gas
|
Induksi pertambangan
(seperti penambangan lumpur vulcano)
|
Lahar (lumpur)
Tanah longsor
Tsunami
Api
|
Seismik
|
Sesar transient yang
mengguncang deformasi permanen
Gerakan induksi
(pencairan masa dan gerakan)
|
Dam dan kerusakan waduk akibat induksi dan gerakan
masa
Induksi pertambangan yang disebabkan oleh ledakan nuklir
|
Gerakan masa
Api
Banjir
|
Gerakan massa (salju, es, batu, lumpur tanah,
dll) (yang disebabkan oleh erosi lambat bertindak atau salah satu di atas)
|
Guguran
Merosot
Longsoran
Aliran
|
Pertambangan yang tidak stabil/tumpahan dan
tumpukan limbah
|
Sumber: WMO dan ICSU, 2007
Pengelolaan Bencana pada Situs Cagar Budaya
Pengelolaan bencana di kawasan Cagar Budaya adalah serangkaian
kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan dalam rangka mengurangi potensi kerugian yang diakibatkan oleh
bencana di kawasan cagar budaya. Kegiatan pertama-tama adalah menentukan dasar
pilihan kawasan cagar budaya. Pengelolaan bencana adalah merupakan rangkaian
kegiatan pengelolaan pra bencana (pencegahan/mitigasi, kesiapsiagaan), pengelolaan
bencana (peringatan dini), dan pasca bencana (pengelolaan pemulihan).
Pemilihan situs cagar budaya meliputi ada tidaknya
peraturan yang berlaku, nilai-nilai dasar pelestarian (sejarah, arsitektur,
ilmu pengetahuan, sosial budaya, dan umur). Kegiatan survei dilakukan dengan
melakukan analisis berupa penentuan dasar hukum (penentuan objek cagar budaya),
pemeriksaan cagar budaya (lingkungan dan bangunan), dan kondisi lapangan.
Analisis kondisi eksisting, pengumpulan data bencana di kawasan cagar budaya,
serta permasalahan kawasan cagar budaya terhadap bencana.
Pengelolaan Resiko Bencana
Ruang lingkup studi meliputi 6 kota yang pernah di kunjungi oleh penulis,
di antaranya adalah kota Medan, Nias, Palembang, Yogyakarta, Denpasar, dan
Larantuka. Koordinasi dilakukan dengan lembaga-lembaga terkait seperti Balai
Arkeologi, Dinas Kebudayaan, Dinas PU, Bappeda, BNPB, dan UNDP. Batasan survei
dilakukan hanya melakukan pemeriksaan awal lingkungan, bangunan, dan data-data
bencana.
Cagar Budaya di 6 Kota
- Medan
Medan merupakan salah satu kota
yang memiliki sejarah panjang. Jumlah bangunan tua di Medan perlahan menyurut
seiring derap pembangunan kota atas nama modernisasi. Medan memiliki
daerah kawasan pusaka diantaranya adalah Istana Maimun dan rumah Tjong A Fie.
Istana Maimun terletak di Jalan Brigjen
Katamso, Medan. Istana ini didirikan oleh Sultan Kerajaan Deli, Sultan Makmun
Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Pendesainnya adalah seorang arsitek Italia, dan
rampung pada tahun 1888. Di atas tanah seluas 2.772 m2 bangunan istana berdiri
menghadap timur, dan menjadi pusat kerajaan Deli. Istana ini terdiri dari dua
lantai terbagi dalam tiga bagian, yakni bangunan induk, sayap kiri, dan sayap
kanan. Di depannya, sekitar 100 meter, berdiri Masjid Al-Maksum yang lebih
dikenal dengan nama Masjid Raya Medan. Memasuki ruangan tamu (balairung) Anda
akan menjumpai singgasana yang didominasi warna kuning. Lampu-lampu kristal
menerangi singgasana, sebuah bentuk adanya pengaruh kebudayaan Eropa.
Pengaruh
itu juga tampak pada perabotan istana seperti kursi, meja toilet dan lemari
hingga pintu dorong menuju balairung. Ruangan seluas 412 m2 ini digunakan untuk
acara penobatan Sultan Deli atau acara adat lainnya. Balairung juga dipakai
sebagai tempat sultan menerima sembah sujud dari sanak familinya pada hari-hari
besar Islam. Lebih jauh lagi, Anda pasti akan merasa lelah menelusuri
kamar-kamar di dalamnya. Jumlah kamarnya ada 40: 20 kamar di lantai atas tempat
singgasana Sultan dan 20 kamar di bagian bawah, tidak termasuk 4 kamar mandi,
gudang, dapur, dan penjara di lantai bawah. Menarik jika mengamati disain
arsitektur istana ini.
Perpaduan
antara tradisi Islam dan kebudayaan Eropa amat terlihat. Selain yang terlihat
di balairung, dasaran bangunan juga menunjukkan penaruh Eropa. Sebagian
material bangunan istana memang didatangkan dari Eropa, seperti ubin, marmer,
dan teraso. Pola arsitektur Belanda dengan pintu serta jendela yang lebar dan
tinggi, serta pintu-pintu bergaya Spanyol menjadi bagian dari Istana Maimun.
Pengaruh Belanda juga terlihat pada prasasti marmer di depan tangga pualam yang
ditulis dengan huruf Latin berbahasa Belanda. Pengaruh Islam terlihat pada bentuk
lengkungan atau arcade pada sejumlah bagian atap istana. Kompleks istana ini
sudah masuk dalam peraturan daerah SK Walikota Medan No. PM.01/PW.007/MKP/2010.
Istana Maimun, Medan
Rumah Tjong A Fie, Tjong A Fie (1860-1921) adalah seorang pengusaha, bankir dan kapitan
yang berasal dari Tiongkok dan sukses
membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera, Indonesia. Tjong A Fie membangun bisnis besar
yang memiliki lebih dari 10.000 orang karyawan. Karena kesuksesannya tersebut, Tjong A
Fie dekat dengan para kaum terpandang di Medan,
di antaranya Sultan Deli, Makmun
Al Rasjid serta pejabat-pejabat kolonial Belanda. Pada tahun 1911, Tjong A Fie diangkat
sebagai Kapitan
Tionghoa (Majoor der Chineezen) untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan,
menggantikan kakaknya, Tjong
Yong Hian. Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat dihormati dan
disegani, karena ia menguasai bidang ekonomi dan politik. Kerajaan bisnisnya meliputi perkebunan, pabrik minyak
kelapa sawit, pabrik
gula, bank dan perusahaan kereta api.
Bangunan kediaman Tjong A Fie berada di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, yang didirikan pada tahun 1900,
saat ini dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal
juga dengan nama Tjong
A Fie Mansion. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009
untuk memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150. Rumah ini merupakan
bangunan yang didesain dengan gaya arstitektur
Tionghoa, Eropa,
Melayu dan art-deco
dan menjadi objek wisata bersejarah di Medan.
Di rumah ini, pengunjung bisa mengetahui sejarah kehidupan Tjong A Fie lewat foto-foto,
lukisan serta perabotan rumah yang digunakan
oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.
Bisa dikatakan kedua tempat tersebut merupakan salah satu Landmark
dari kota Medan. Saat ini bangunan tersebut telah banyak mengalami kerusakan.
Amat disayangkan jika kedua tempat tersebut rusak, karena merupakan bangunan
bersejarah yang ada di Kota Medan. Bangunan ini sudah masuk dalam SK Walikota
Medan No. 188.342/383/SK/2000.
Rumah Tjong A Fie, Medan
- Palembang
Kota ini dianggap sebagai salah satu pusat dari kerajaan Sriwijaya, Serangan Rajendra Chola dari Kerajaan Chola pada tahun 1025, menyebabkan kota
ini hanya menjadi pelabuhan sederhana yang tidak berarti lagi bagi para
pedagang asing. Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178
oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada
Palembang.
Berdasarkan kisah Kidung
Pamacangah dan Babad Arya Tabanan
disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta
menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Kemudian sekitar tahun 1513,
Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin
oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Palembang
muncul sebagai kesultanan pada tahun 1659 dengan Sri Susuhunan Abdurrahman
sebagai raja pertamanya. Namun
pada tahun 1823 kesultanan Palembang dihapus oleh pemerintah Hindia-Belanda. Setelah itu Palembang dibagi
menjadi dua keresidenan besar dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah
Ilir dan Ulu. Sungai Musi Merupakan trade
mark dari Kota Palembang. Di sepanjang tepian Sungai Musi Terdapat banyak
bangunan Cagar Budaya salah satunya adalah Benteng Kuto Besak dan Rumah Kapitan
Cina.
Benteng Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat
Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak
diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada
tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya
yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada
tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh kesultanan
Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan
internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat
sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai sultan, ia pindah dari
Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe
keraton alias keraton baru.
Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang
tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan
pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di
daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Waktu yang
dipergunakan untuk membangun Kuto Besak ini kurang lebih 17 tahun. Keraton ini
ditempati secara resmi pada hari Senin pada tanggal 21 Februari 1797.
Berbeda dengan letak keraton lama yang berlokasi di daerah
pedalaman, keraton baru berdiri di posisi yang sangat terbuka, strategis, dan
sekaligus sangat indah. Posisinya menghadap ke Sungai Musi. Pada masa itu, Kota Palembang masih
dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi
pulau-pulau. Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh
Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai
Kapuran di bagian utara.
Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer
(Kodam) Sriwijaya. Pembangunan dan penataan kawasan di
sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan
terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah. Jika dilihat
dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah
pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng
Kuto Besak, dan menara air di Kantor Wali Kota Palembang. Bangunan ini sudah
masuk dalam SK Menbudpar KM.09/PW.007/MKP/2004
Benteng Kuto Besek, Palembang
Rumah Kapitan Cina, Kampung
Kapitan memang merupakan salah satu bangunan peninggalan China. Namun, bukan
hanya ciri khasnya China saja yang melekat di sana, melainkan kini perpaduam
antara budaya palembang, China dan Belanda yang sangat terasa begitu kental
mewarnai kawasan yang kini terletak di pinggir sungai Musi ini. munculnya
kampung Kapitan ini karena runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan
munculnya Dinasti Ming di China pada abad XIV.
Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala China
yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Kampung
ini pada awalnya merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan China
berpangkat kapitan (kapten) yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari
masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa.
Pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat
China dan masyarakat pribumi yang berada di wilayah Seberang Ulu Palembang.
Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga
candu di wilayah terbatas. Ketika kekuasaan kolonial menjadi lebih kuat atas
Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda mulai mengangkat perwira China untuk
mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya. Perwira tersebut semula bertugas
mengatur komunitas China saja. Akan tetapi, seiring makin kuatnya Belanda,
perwira China juga mulai memegang kendali atas masyarakat pribumi. Ini terlihat pada kolom penyangga pada
bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan kayu, berganti menjadi
kolom bata dengan gaya klasik eropa, walau dengan proporsi yang disesuaikan
dengan tampang bangunan.
Rumah Kapitan Cina, Palembang
- Nias
Nias
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masyarakatnya masih menjalankan
tradisi adat-istidat megalitik[2]. Salah
satu kawasan pusaka di daerah ini yang terkenal adalah Salah satu kawasan yang
masih menganut tradisi megalitik adalah Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama,
di Nias Selatan.
Salah
satu yang dijadikan objek kajian penelitian ini adalah Siwahili dan Tumori di
kawasan Gunung Sitoli. Di Desa Tumori memiliki warisan budaya
yang sangat bernilai harganya yaitu Rumah Adat Nias Utara yang berbentuk oval
dan berjejer di sepanjang desa[3]. Pada
umumnya rumah adat di Nias dibuat dengan ukuran lebih kecil dari rumah-rumah
adat aslinya, diwakili rumah adat dari Nias Selatan. Rumah yang berbentuk empat
persegi panjang dan berdiri di atas tiang ini menyerupai bentuk perahu. Begitu
pula pola perkampungan, hiasan-hiasan bahkan peti matinya pun berbentuk perahu.
Dengan bentuk rumah seperti perahu ini diharapkan bila terjadi banjir maka
rumah dapat berfungsi sebagai perahu dan tahan terhadap gempa.
Kondisi Eksisting
Berdasarkan
pengamatan saat ini terhadap rumah-rumah di daerah Siwahili dan Tumori, dapat
dilihat semakin berkurangnya jumlah rumah adat dikarenakan makin berkurangnya
kesadaran masyarakat untuk membangun kembali; kebanyakan rumah adat sudah
banyak dipugar sehingga sudah tidak tampak lagi keasliannya. Salah satunya
dengan mengubah atapnya dari rumbia dengan seng; mengubah tangga dari kayu
menjadi semen; sudah tidak adanya pembangunan kembali rumah-rumah Nias (rebuilding), sengaja di runtuhkan oleh
pemiliknya karena dianggap tidak modern.
Berdasarkan
kaidah-kaidah arkeologis, keaslian, intigritas, dan keberlanjutan; pada umumnya
bangunan-bangunan pemukiman sudah banyak yang tidak memenuhi kaidah-kaidah
pelestarian. Secara keaslian (autenticity)
banyak bangunan-bangunan tersebut telah banyak yang menggunakan bahan dan
teknologi modern dalam membangun rumah. Secara integritas juga sudah banyak
yang terlepas dari konteksnya karena banyak ornamen dan bagian-bagian dari
bangunan telah hilang dari tempatnya, dan tidak ada penggantian lagi. Sedangkan
secara keberlanjutan diperkirakan dapat tidak bertahan lama karena banyak
pengetahuan tradisional dalam membangun rumah yang diwariskan secara
turun-temurun sedikit demi sedikit telah hilang dan tidak di wariskan kepada
generasi selanjutnya. Sehingga perlu dikaji keberlanjutan dari kawasan pusaka
di daerah ini.
Rumah Tradisional di Desa Tumori, Nias
- Yogyakarta
Objek yang dijadikan kajian adalah Istana Pakualaman, yang terdapat di
Kabupaten Adikerto, dikarenakan merupakan situs hunian yang paling luas setelah
keraton Yogya dan termasuk dalam bangunan yang terkena gempa[4] pada
bulan Mei 2006.Istana (Pura) Pakualaman merupakan bentukan dari kontrak politik
antara Pangeran Natakusuma (Putra Hamengkubuwana I) dengan pemerintah Inggris
pada tahun 17 Maret 1813 M. Luas wilayah kekuasaan Pakualaman adalah 4000 cacah yang mencakup kawasan istana dan
luar kota. Kompleks Pura Pakualaman terdiri dari rangkaian bangunan yang
menyatu di dalam lingkup tembok keliling menjadi satu kompleks seluas 5,4 ha. Berbeda dengan Keraton Kasultanan yang berorientasi Utara-Selatan, Pura
Pakualaman menghadap ke selatan serta mempunyai arah hadap timur-barat. Sebagai
pusat pemerintahan, Pura Pakualaman juga dilengakapi dengan alun-alun, mesjid,
pasar. Selain itu juga ada pemukiman untuk penduduk, dalem-dalem, dan bangunan-bangunan fasilitas lainnya, yang sekarang
berada di Kecamatan Pakualaman. Pura Pakualaman lebih sederhana dibandingkan
dengan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pura Pakualaman dapat dicapai melalui Alun-Alun Sewandana yang juga
ditanami pohon beringin, kemudian lewat gerbang utama yang disebut Regol
Danawara. Pada fasad regol ini dapat dibaca angka tahun 7-8-1884 yang menandai
masa regol ini dibangun. Di bawah bagiannnya terdapat sengkelan Wiwara Kusuma Winayang Reka (1669 J). Di
bagian dalam Cepuri (tembok keliling
dalam istana) terdapat taman dan bangunan-bangunan inti, di antaranya pendhapa
Bangsal, Sewatama, Dalem Ageng Prabasuyasa yang memuat pasren dan kamar pusaka,
Bangsal Sewarenggana, Gedhong Maerakaca, Bangsal Parangkarsa, dan Gedhong
Purwaretha. Bangunan-bangunan tersebut di atas sebagian berfungsi seremonial, dan
ada pula yang berfungsi sebagai bangunan fasilitas penunjang kehidupan
sehari-hari Sri Paku Alam dan keluaraga intinya. Selain itu masih ada pula
komponen pelengkap lainnya, seperti kantor, kistalan,
dan kandang menjangan (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Yogyakarta, 2007).
Kondisi Eksisting
Kondisi sekarang menurut bagian rumah tangga Pura Pakualaman, bagian
tembok regol depan dan bagian yang sekarang digunakan sebagai museum kondisinya
rusak pada saat gempa yang melanda Yogya tahun 2006. Bagian tembok-tembok
terlihat retak dan bagian dari sokoguru pendhapa bangsal terlihat rusak,
dikarenakan terbuat dari kayu. Berdasarkan pada bagian sekretariat Pura Pakualaman, bahwa beberapa
bagian dari Ndalem juga mengalami
kondisi yang rusak berat (berdasarkan laporan Jurusan Arkeologi UGM, 2006) dan
retak akibat gempa. Rusak berat berarti bangunan robah atau tidak roboh tetapi
membahayakan keselamatan umum. Berdsarkan keterangan juga pada tahun 2008 Dinas
Pekerjaan Umum setempat telah melakukan renovasi dan pembangunan kembali.
Dikarenakan tidak boleh orang masuk ke ndalem
maka tidak dapat diketahui data bagian mana yang telah direnovasi.
Pura
Pakualaman kini masih digunakan oleh kediaman pribadi keluarga Paku Alam serta
telah mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah setempat dan telah menjadi
objek pariwisata walau tidak sepopuler Keraton Kasultanan oleh karena itu
tanggap bencana (sense of disaster)
telah diterapkan dalam pengelolaannya. Berdasarkan prinsip-prinsip kaidah
arkeologi berupa keaslian (autenticity)
yang meliputi bahan, teknologi, dan tata letak belum banyak berubah. Prinsip
integritas (integrity) berupa
konteknya masih tidak hilang. Sedangkan berdasarkan prinsip keberlanjutan (sustainability) dapat bertahan dalam
waktu yang lama sudah pasti di lakukan di Puri Pakualaman karena sebagai living monument.
Pura Pakualaman, Yogyakarta
- Denpasar
Bali
terkenal tidak hanya keindahan alamnya tetapi juga budayanya yang tiada duanya.
Selain sebagai pusatnya pura hindu sejak belasan abad yang lalu, Bali, terutama
Kota Denpasar yang merupakan kota lama pada masa pemerintahan kolonial Belanda
pada awal era abad ke 20.
Kawasan Gajahmada terutama memiliki nilai historis yang penting bagi
perkembangan kota Denpasar. Berdasarkan penuturan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Udayana, Denpasar Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, SU (wawancara
pada tanggal 10 Agustus 2011 di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar)
menyatakan bahwa kawasan Gajahmada dan sekitarnya telah ada sejak tahun 1906.
Hal ini di buktikan berdasarkan berbagai macam pemukiman etnis yang ada seperti
Tionghoa, Arab, Jawa, dan lain-lain. Kawasan Gajahmada dan sekitarnya telah ada
sebagai kawasan pertokoan dan pemukiman, lalu pada awal abad ke 20 setelah
pemerintahan Gubernur Jendral Daendel yang pada awalnya Belanda memerintah di
daerah Ubud kemudian perkembangan selanjutnya pindah ke daerah Singaraja.
Tetapi, kawasan Jl. Gajahmada tetap menjadi kawasan yang ramai untuk pertokoan
dan pusat ekonomi lainnya. Pada ujung jalan Gajahmada dulu ada jam besar tetapi
kini sudah tidak berfungsi lain dan tersimpan di Museum Bali. Bukti bahwa kawasan tersebut telah mendapat pengaruh arsitektur Eropah
terlihat dari masih banyaknya ornamen-ornamen bangunan yang masih mencirikan
gaya bangunan abad ke 20 di Eropa.
Kondisi Eksisting
Berdasarkan pengamatan, kondisi bangunan di kawasan Jl. Gajahmda sudah
banyak yang di bongkar dan dibangun lagi, tetapi tidak merubah fungsinya
sebagai pusat pertokoan. Beberapa kerusakan yang dapat diamati karena faktor
usia yaitu pintu-pintu dan jendela yang sudah rusak, banyak ditumbuhi lumut,
dan beberapa yang sudah runtuh. Berdasarkan prinsip-prinsip kaidah arkeologis berupa keaslian,
integritas, dan keberlanjutan, sebagian besar tidak terpenuhi. Berdasarkan
prinsip keaslian (autenticity) banyak bahan-bahan yang digunakan untuk
pembangunan kembali telah menggunakan bahan-bahan yang baru. Teknologi yang
digunakan pun mengguanakan teknik bangunan modern, walaupun tata letak dan
orientasi mengadap ke jalan seperti pada umumnya bangunan-bangunan di kawasan
perkotaan tua di Indonesia. Berdasarkan prinsip integritas (integrity)
bangunan-bangunan di kawasan Gajah Mada masih pada konteks kawasan kota
“perdagangan” masa kolonial. Karena tidak ada perubahan fungsi dan peruntukan
kawasan Jl. Gajah Mada yang tetap menjadi
kawasan perdagangan dan pusat ekonomi pada masa lalu dan kini. Sedangkan
untuk prinsip keberlanjutan (sustainability)
perlu dikaji lebih jauh tentang kekuatan dan struktur bangunan agar keutuhan
dapat bertahan lama.
Kawasan
Jl. Gajahmada, Kota Denpasar
- Larantuka
Tidak banyak BCB yang berada di Larantuka. Larantuka memiliki banyak
situs-situs religius bernapaskan Katolik yang bisa dikembangkan untuk wisata
religi. Salah satunya adalah Gereja Katedral Larantuka dimana terdapat tradisi
Semana Santa dalam rangka perayaan Paskah. Semana
Santa merupakan ritual peninggalan Portugis yang memadukan agama Katolik
dan adat Larantuka. Penduduk Larantuka dari generasi ke generasi telah
melaksanakan Semana Santa selama 500 tahun sejaman dengan gerejanya yang
memiliki ornamen perunggu dan perak bergaya Portugis.
Kondisi Eksisting
Berdasarkan pengamatan, banyak bagian-bagian dan perluasan telah
dilakukan dari gereja. Berdasarkan kaidah arkeologis, yakni keaslian,
integritas, dan keberlanjutan sudah banyak yang tidak memenuhi prasyarat
tersebut. Berdasarkan keaslian (autenticity)
sudah hampir seluruh bangunan terbuat dari bahan dan teknologi modern. Dilihat
dari segi integritas, Gereja ini masih sesuai dengan fungsi dan peruntukannya,
yakni sebagai fitur/bangunan religius, terutama untuk umat agama Katolik yang
dibawa oleh bangsa Portugis pada waktu lalu. Dilihat dari segi keberlanjutan,
maka fungsi dari bangunan ini masih terus ada dan tradisi semana masih
dijalankan oleh masyarakat pendukungnya.
Gereja
Katedral Larantuka, NTT
Cagar Budaya dan bencana
Berdasarkan uraian di atas, potensi gempa, banjir, dan kebakaran masih mendominasi sebagai
ancaman pada cagar budaya. Hal ini karena memang Indonesia merupakan daerah
rawan bencana gempa (tectonic plate);
bangunan-bangunan masa lalu juga dibangun di dataran rendah yang cenderung
terkena banjir (floodplain); dan
faktor iklim panas serta manusia (human
error) yang mengakibatkan bangunan tersebut rawan terhadap resiko
kebakaran, disamping bahan-bahan bangunan tersebut memang terbuat dari bahan
yang mudah terbakar. Belum lagi faktor manusia (antropogenic) dari dampak pembangunan fisik yang cenderung
mengakibatkan konflik sehingga berpotensi merusak bangunan cagar budaya.
Adalah
sangat mendasar soal pentingnya pengelolaan risiko bencana yang menimpa di kawasan pusaka atau bangunan cagar budaya. Kesadaran perlu
ditanamkan bahwa bangunan living monument
masa lalu (rumah, istana, atau tempat ibadah) merupakan wujud materi budaya
buatan yang berfungsi sebagai pelindung bagi manusia penghuninya bahkan hingga
kini. Oleh karena itu bangunan sebagai pelindung harus benar-benar kuat dan
tahan lama.
Dalam
Buku Petunjuk Teknis Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
1985, bahwa pada prinsipnya pemeliharaan dengan konservasi mencakup
tindakan-tindakan yang diambil untuk memelihara dan mengawetkan benda-benda
peninggalan sejarah dan purbakala agar terhindar dari kerusakan dan pelapukan
lebih lanjut. Dalam hal ini diperhatikan bahwa konservasi tidak hanya
ditunjukkan kepada bendanya saja, tetapi juga terhadap lingkungan agar kondisinya
dapat terkendali sehingga membantu langkah-langkah pengawetan. Pelaksanaan
konservasi meliputi pemeliharaan dasar, pemeriksaan (observasi,
diagnosa-analisis) dan perawatan dengan menggunakan teknologi modern bila
perlu.
Semoga...
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985. Petunjuk Teknis
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta.
Fox, James F., 1998. “Megalithic Rituals,” dalam Indonesian Heritage: Religion and Ritual 9:106—7. Archipelago
Press, Jakarta
Soeroto,
Myrtha, 2000. Dari Arsitektur Tradisional
Menuju Arsitektur Indonesia, Jakarta: Myrtle Publishing.
Paul, B.K.,
2011. Environmental Hazard and Disasters:
Contexts, Perspectives and Management. Oxford: John Willey & Sons
Sharer, R.J. dan W.
Ashmore, 1976. Fundamentals of
Archaeology. California: Benjamins/Cummings.
Smith, K.,
dan D.N. Petley, 2009. Environmental
Hazard: Assessing Risk and Reducing Disaster. New York: Routledge.
Tim Pengabdian Masyarakat,
2006. Laporan Akhir Inventarisasi
Kerusakan Cagar Budaya Akibat Gempa Di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurusan
Arkeologi FIB UGM.
UNESCO,
2010. Managing Disaster Risks for World
Heritage. World Heritage Centre, Paris.
Kementerian Pekerjaan Umum RI dan PT. Qorina Konsultan
Indonesia, 2011. Laporan Kajian Materi Pedoman Pengelolaan Bencana Untuk
Kawasan Pusaka, Direktorat Jendral Cipta Karya, Direktorat Penataan
Bangunan dan Lingkungan, Jakarta, 2011.
Sumber-sumber lainnya dari internet
[1] Penulis adalah peminat cagar budaya/heritage. Penulis dapat dihubungi pada alamat email: sulistyo.ary26@gmail.com
[2] Menurut beberapa
ahli prasejarah masyarakat pendukung tradisi megalitik (bangunan dari batu
besar) adalah masyarakat yang percaya akan adanya kekuatan setelah mati.
Bangunan-bangunan batu didirikan untuk menghormati yang telah mati dan
keperluan profan lainnya. Di Indonesia masyarakat ini diperkirakan telah ada
sejak 2500 SM. Selain di Nias, di Jawa Barat terdapat masyarakat Baduy (Fox,
1998:106—7).
[3] Periksa Viaro dan
Zegler (2006:35). Tradisional
Architecture of Nias Island. Yayasan Pusaka Nias, Nias.
[4] Kategori kerusakan
bangunan rusak berat (dalam Laporan Inventarisasi Kerusakan Cagar Budaya Akibat
Gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta, 2006).
Komentar
Posting Komentar