Langsung ke konten utama

Warisan Budaya Kota Jakarta Pusat: Pemantauan Bangunan Cagar Budaya untuk Perlindungan dan sebagai Objek Wisata Budaya Kota Jakarta


Ary Sulistyo*




Latar Belakang
Pada umumnya dinamika perkembangan sebuah kota secara fisik bertumbuh kembang sebagai proses dan produk melalui keputusan politik, ekonomi, dan budaya untuk mencapai ekologi perkotaan kota tersebut. Berdasarkan segi sejarah perkotaan, sebuah kota dapat pula mengalami perubahan citra yang justru memperkaya wujud dan wajah pemandangan kota tersebut. Semakin tua kota tersebut akan semakin panjang sejarahnya baik dalam bentuk peninggalan yang menjadi pusaka kota yang bersifat nyata secara visual (tangible); atau yang tak-nyata (intangible) seperti dalam bentuk bahasa warganya, cerita, lagu rakyatnya, karya sastranya, atau nama lingkungan kotanya dan sebagainya.

Hal ini semua merupakan keunggulan sebuah kota dan sangat penting untuk dilestarikan sebagai halnya di Indonesia dalam hal ini khususnya DKI Jakarta, terutamanya Kota Administrasi Jakarta Pusat. Hal tersebut di atas semakin penting dengan berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Perkembangan (Kota Administratif) Jakarta Pusat sesungguhnya tidak terpisahkan dari pertumbuhan Kota Jakarta secara keseluruhan. Hal ini diawali dengan terbentuknya Kota Batavia oleh J.P. Coen (1619) sampai kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang dinyatakan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia yang baru berlokasi di (Balaikota Praja) di Jalan Medan Merdeka Selatan dengan Walikota Bapak Soewirjo (23 September 1945-November 1947). Dikarenakan situasi keamanan ibukota (Batavia saat itu) dimasa Perang Revolusi 1946-1949, ibukota Republik Indonesia dihijrahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Pemerintah Belanda secara resmi, mulailah era baru bagi Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Jakarta seperti ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 15 Januari 1950 sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia (Serikat). Di dalam perkembangan tersebut, kepindahan pusat pemerintahan Batavia yang berada di wilayah Kotatua, Jakarta Utara pindah ke selatan ke kawasan yang dikenal sebagai Weltevreden (1830an) menjadi penentu pentingnya kawasan Weltevreden (Batavia Centrum) sebagai pusat pemerintahan Jakarta hingga perkembangan kota masa kini.

Perkembangan Kota Jakarta menjadi sangat penting sebagai kota yang bercitra internasional dan pusat kekuatan non-blok (non-block movement) umpamanya; penyelenggaraan acara-acara politik dan olahraga/budaya yang bertaraf internasional. Dari segi penyediaan sarana fisik telah dibangun atas pengarahan Presiden Soekarno sendiri berbagai bangunan gedung dan prasarana/sarana yang dikenal sebagai proyek-proyek mercusuar.  Jakarta bertumbuh kembang dengan berbagai pembangunan lebih lanjut hampir di semua bidang pada era orde baru (1965-1998) dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Apa yang dibangun pada era tersebut dapat dimasa kini ada yang dapat dinilai sebagai Cagar Budaya.
Kota sebagai sebuah produk, ada produk fisik (tangible goods) seperti bangunan (dan arsitekturnya), taman, jalan, monumen, sistem transportasi, dan setting geografisnya. Ciri-ciri fisik ini sangat penting bagi pengembangan citra sebuah kota apakah itu kota tradisional, maupun modern. Ada juga produk non fisik (intangible goods) kota seperti pelayanan, ide, dan pengalaman dan perjalanan kota itu sendiri (Kolb, 2006: 13). Branding sebuah kota dimaksudkan di sini adalah keterlibatan rasional dan emosional dengan suatu tempat, estetika, dan kehidupan sehari-hari (Donald dan Gammack, 2007: 45). Branding diperuntukkan untuk: kompetisi antar kota atau wilayah, panduan strategis untuk pembangunan, dasar kerjasama antar stakeholders, solusi praktis dan fungsional terkait masalah kewilayahan, dan memaksimalkan nilai positif dari pengalaman sebuah kota itu (Kawaratzis, et al., 2015: 4).

Contohnya Kota Bandung memiliki cerita tersendiri sebagai kota wisata (tourism city). Pada awal tahun 1920-an, Bandung dikenal dengan wisata alam, dan wisata budaya, ketika para bangsawan Belanda yang tinggal di Jakarta (Société Concordia) pergi berlibur ke Bandung. Kemudian evolusi urban tourism yang dimulai sekitar tahun 1980-an; Bandung lebih di kenal sebagai kota pariwisata (khususnya wisata belanja), yang ditandai dengan munculnya Mall pertama, yaitu BIP (Bandung Indah Plaza), distro dan factory outlet. Bandung berubah menjadi tempat wisata kuliner dan wisata malam pada tahun 2000 hingga 2010. Perkembangan aktivitas-aktivitas modern, seperti: pub, kafe, nightlife, dan arena bermain seperti Disneyland juga turut mewarnai perkembangan kepariwisataan di Kota Bandung (Wardhani, 2012: 372). Demikian hal nya Kota Jakarta Pusat, sebagai ibukota sekaligus kota wisata (city tourism), bangunan cagar budaya di Kota Jakarta Pusat dapat menarik untuk dikunjungi baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejarah Kota Jakarta Pusat

Secara resmi Kota Batavia didirikan pada tahun 1619 oleh Jan Pieterzoon Coen (Gubernur Jendral VOC pertama di Batavia) dengan memberi nama kota tersebut Batavia. Nama tersebut diambil dari nama suku bangsa Batafi (atau Batafus) yang hidup di bagian Utara negeri Belanda yang terkenal akan kepahlawanannya dalam menentang kekuasaan Kaisar Romawi di antara tahun 50 SM sampai 50 M.

Kota Batavia berawal dari sebuah benteng kecil bernama Mauritus yang dibangun di muara Sungai Ciliwung yang kemudian dikembangkan menjadi Kasteel (istana) Batavia sebagai inti kota dan yang dalam 50 tahun berikutnya dikembangkan menjadi sebuah kota sesungguhnya yang dirancang berdasarkan pola grid (petak-petak) sesuai pola perancangan kota di jaman itu yaitu Jaman Renaisans Eropa (Abad 15-18 M). Seluruh Kota Batavia dikelilingi tembok sebagai benteng pertahanan. Pada akhirnya Kota Batavia berkembang menjadi pemukiman dengan memiliki istilah kawasan ‘Kota Di Dalam Tembok’ (Binnen Muur) dan kawasan ‘Kota Di Luar Tembok’ (Buiten Muur) dengan bentangan alam luar kota yang sangat luas dan masih berupa hutan, tanah rawa, dan kantong-kantong pemukiman masyarakat pribumi yang sudah membudidayakan bentangan alam yang subur itu sebagai persawahan dan perkebunan yang disebut sebagai ‘Tanah-tanah Luar Kota’ (Omme Landen).

Dalam perkembangan Kota Batavia selanjutnya dalam kurun waktu antara setengah sampai satu abad, wilayah ‘Omme Landen’ mulai diincar untuk dikuasai VOC dengan cara paksa serta menggunakan kekuasaan militer. VOC dengan membangun benteng-benteng penjagaan yang mengelilingi Kota Batavia di sepanjang sungai-sungai yang mengalir di sekitar Kota Batavia.

Setelah penguasaan paksa tersebut maka tanah-tanah omme landen di perjualbelikan oleh VOC diantara para pejabat tinggi mereka sendiri atau dapat wariskan ke ahli warisnya, bahkan menghadiahkan ke pejabat tinggi yang berjasa. Dua diantara benteng-benteng yang berada di ommelanden itu adalah Benteng Noordwijk dan Benteng Rijswijk. Dua benteng kecil yang kekuatan penjagaannya di masing-masing benteng hanya 5 serdadu. Kedua benteng tersebut bersebrangan dan berlokasi di tepi Sungai Ciliwung yang dalam keadaan sekarang mencakup kompleks istana kepresidenan sampai ke Pasar Baru. Wilayah penjagaan kedua benteng ini meliputi kawasan yang kemudian dikenal sebagai kawasan Weltevreden dengan awal pusatnya sekitar di Pejambon dan meluas menjadi Weltevreden-Batavia Centrum (Pusat Batavia).

Kawasan yang sekarang meliputi kawasan Pejambon, Gambir, Lapangan Banteng, dan Medan Merdeka, Kwitang, Pasar Senen, Pasar Baru, sampai ke aliran kali di sepanjang Jalan Gunung Sahari. Perkembangan Weltevreden berawal di tahun 1680 ketika Gubernur Jenderal Rijklof van Goens mendonasi sebidang tanah yang masih berupa tanah hutan dan rawa seluas 5 km2 dekat Benteng Rijswijk, kepada anggota Dewan VOC, yaitu D.C. Pays. Tanah itu diberi nama Weltevreden yang berarti rasa kepuasan dan menyenangkan. Untuk menghargai donasi tersebut, sejak itu tanah yang bermula hanya beberapa kilometer persegi, berkembang menjadi komoditi ekonomi. Tanah tersebut juga telah berpindah-tangan berkali-kali diantara beberapa gubernur jenderal, atau pembesar VOC lainnya, atau para pewarisnya yang merubah alam liar di abad 17 M menjadi kawasan para elit VOC dengan pembangunan rumah-rumah mewah serta pekarangan yang luas dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana kota lainnya di abad 18 M. Pembangunan berlanjut menjadi pusat militer dan pemerintahan di abad 19 M; serta menjadikannya Kota Batavia sebagai kota kolonial yang modern di abad 20 M.

Transformasi Kota Batavia dari kejayaan kota dagang rempah-rempah dan hasil tanaman keras di abad 17 dan 18 M yang berpusat di kotatua di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, bergeser ke Kota Batavia-Weltevreden yang menjadi kejayaan Kota Batavia sebagai kota dagang yang modern dan kota pemerintahan yang indah. Penggeresan ini khususnya dimulai dimasa ketika Gubernur Jenderal Daendels dimasa jabatannya antara 1808-1811, berprakarsa memindahkan pusat pemerintahan Hindia-Belanda tersebut dari Batavia di wilayah Pantai Utara ke Weltevreden dengan Lapangan Banteng sebagai lapangan utamannya untuk pawai (Parade Plaats) dan bercengkerama. Pada lokasi ini pula istana baru (Gedung Putih Weltevreden) dirancang akan dibangun (Gedung Maramis Kementerian Keuangan sekarang).

Lebih dari itu, Jakarta Pusat sebagai ibukota Negara NKRI memiliki banyak bangunan gedung dan situs yang bernilai sangat penting bagi sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia serta banyak karya-karya putra bangsa dalam memberi wajah Kota Jakarta masa kini yang perlu dilindungi dan dihargai sebagai situs dan bangunan cagar budaya. Di bawah ini dapat dilihat peta skematik yang menggambarkan Batavia di abad 17-18 M serta pertumbuhannya di abad 20 (1935) ketika wilayah Batavia Centrum menjadi pusat pemerintahan Hindia-Belanda.


Kota Batavia tahun 1805 dan wilayah ommelanden dengan benteng-benteng luarnya Noordwijk dan Rijswijk.

Kota Batavia tahun 1935 setelah diperluas dengan perkembangan Kota Weltevreden yang sekarang menjadi 
wilayah inti Jakarta Pusat .

Istana merdeka pada abad ke 19 akhir dimana masih digunakan sebagai rumah tinggal 
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda van der Parra

Suasana Pasar Seni di daerah Weltrevreden pada akhir abad ke 19


Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.
 Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie van West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon
Jakarta pada masa Jepang hingga tahun 1970
Pendudukan oleh tentara Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Mesjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.

Pendaftaran dan Penetapan
Berdasarkan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya. Sedangkan penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Berdasarkan pada gambar diagram di bawah ini, menjelaskan tentang proses pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya. Pendaftaran dilakukan melalui pemilikan, penemuan, dan pencarian yang kemudian dilakukan kajian dan rekomendasi oleh tim ahli yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Rekomendasi meliputi penetapan, penghapusan, dan peringkatan. Setelah itu, penetapan sebagai cagar budaya yang dilakukan oleh kepala daerah/gubernur, yang disertai dengan tanda bukti berupa surat keputusan ataupun surat kepemilikan cagar budaya. Setelah ada tanda bukti tersebut baru kemudian dimasukan dalam registrasi tingkat nasional dan diajukan ke peringkat internasional.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, yang sejak masih bernama Dinas Museum dan Pemugaran di tahun 2005 telah menyusun daftar revisi untuk mengganti lampiran SK 475/1993 tersebut namun sampai tahun ini pekerjaan ini belum bisa diselesaikan. Dengan adanya pelimpahan wewenang dari Dinas ke Sub-Dinas berdasarkan UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Pemerintahan Daerah, dan juga perubahan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menjadi UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka pelaksanaan pemantauan Banguan Cagar Budaya di Sub Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat merupakan kegiatan yang tepat dari segi peluang dan waktu.
Berdasarkan UU No.11 tahun 2011 tentang Cagar Budaya maka dalam batasan Cagar Budaya dapat berupa bangunan, struktur, situs dan kawasan. (Pasal 1 butir 1 s/d 6). Cagar budaya dapat ditetapkan menjadi peringkat tingkat nasional, provinsi, atau peringkat kota/kabupaten (Pasal 41 - 47).  Dari segi perencanaan pola induk (masterplan) BCB, arahan yang diatur dalam UU No.26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, harus pula diperhatikan agar persyaratan yang diaturnya juga terpenuhi. Khususnya di dalam pemugaran fisik dan pemanfaatan BCB untuk umum, maka pedoman dan acuan seperti yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung agar terpenuhi pula, khususnya mengenai kelaikan dan keandalan bangunan.

Tolok Ukur dan Penggolongan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya
Di dalam SK. Gub. DKI Jakarta No.475/1993 kriteria untuk menilai BCB mencakup cakup 6 (enam) butir yang uraiannya secara bagan terurai di bawah ini: 1) Nilai Sejarah, 2) Umur, 3) Keaslian, 4) Kelangakaan, 5) Tengaran/Landmark, dan 6) Arsitektur

Kriteria penggolongan lingkungan dan bangunan berdasarkan peraturan Daerah Khusus Ibukota jakarta No. 9 Tahun 1999
BENDA CAGAR BUDAYA
KRITERIA
TOLOK UKUR
Lingkungan
Bangunan


Nilai Sejarah
Terkait dengan peristiwa :
-      Perjuangan
-      Ketokohan
-      Politik
-      Sosial
-      Budaya
Yang menjadi simbol kesejarahan tingkat nasional / DKI

Umur
Batas usia sekurang-kurangnya 50 tahun.

Keaslian
Keutuhan, baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak lingkungan dan bangunan.

Kelangkaan
Keberadaannya sebagai satu-satunya atau yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada pada lingkungan lokal, nasional atau dunia.

Tengeran / landmark
Keberadaan sebuah bangunan tunggal atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.

Arsitektur
Estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman atau gaya tertentu.

Penggolongan Benda Cagar Budaya
Lingkungan
Golongan I
Golongan II
Golongan III

Lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria termasuk yang mengalami sedikit perubahan.
Lingkungan yang memenuhi 3 kriteria, yang telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
Lingkungan yang memenuhi 3 kriteria yang telah mengalami banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
Bangunan
Golongan A
Golongan B
Golongan C
Kriteria :



a. Nilai Sejarah

  •  


b. Umur

  •  

  •  

  •  
c. Keaslian

  •  

  •  

d. Kelangkaan

  •  

  •  

e. Landmark/Tengeran

  •  

  •  

f. Arsitektur

  •  

  •  

  •  



Terapan Kriteria dan Tolok Ukur Objek Bangunan Cagar Budaya
Untuk peninggalan bersejarah yang berbentuk bangunan dengan cara perhitungan bersifat relatif dan objektif berdasarkan pendapat pribadi sebagai yang ditugaskan sebagai Pemantau atau Pengamat.
Sesuai pengarahan Kepala Sub-Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat maka pemantauan di lakukan kepada objek di lapangan kepada sejumlah objek untuk dipantau yaitu 30 buah  dengan merujuk terhadap wiayah kelurahannya. Secara umum dari segi kondisi eksisting pada saat pemantauan banyak pemandangan jalan, (streetscape) dan pemandangan lingkungan kota (neighbourhoodscape) dan suasana lingkungan yang sudah banyak berubah. Oleh karena ini hasil penilaian ini masih bersifat bisa diubah sesuai dengan cara penilaian lain yang berlaku.
Berdasarkan hasil kajian, maka penilaian didasarkan pada peringkat dari bangunan. Apakah bangunan tersebut peringkat nasional ataupun provinsi. Maka dari itu, apakah bangunan cagar budaya tersebut masuk dalam kategori peringkat nasional/provinsi berdasarkan kriteria penilaian SK. Gub. DKI Jakarta No.475/1993 tersebut di atas.



Contoh Rekomendasi Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional
Nama Bangunan Cagar Budaya
Alamat
Kode Pos

Istana Negara
Jl. Veteran No. 17, Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir
10110

Istana Negara Tahun 1970an


 





Nama Lama: Istana Negara
Pemilik: sektetariat Negara
Tahun dibangun: 1796
Arsitek: Ir. S. Snuyf (Kontraktor Firma Dressor)
Gaya arsitektur: Closed Dutch dan Empire Style
Keterangan:
Pada awalnya merupakan rumah peristirahatan di luar kota Batavia oleh J.A. van Braam. Kemudian dijadikan kantor, tempat tinggal dan tempat bersidang sejak masa Gubernur Jendral G.A.G.P.H Baron van Der Capellen (1819-1826) hingga sekarang (masa pendudukan Jepang menjadi tempat Panglima tentara Jepang dan akhirnya menjadi tempat Presiden RI). Gedung ini pernah menjadi tempat beberapa perjanjian penting (Perjanjian Linggarjati 1947, Perjanjian Roem-Royen 1949).



Istana Negara yang terletak di daerah Gambir, Jakarta Pusat merupakan salah satu bangunan cagar budaya terpenting, sebagai tempat kediaman Presiden Republik Indonesia. Istana Negara sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya peringkat nasional. Telah ada tambahan di antara Istana Merdeka dan Istana Negara, yaitu Istana Merdeka Kecil yang didirikan tahun 1995 dan belum ditetapkan dapat ditetapkan sebagai cagar budaya.  Komplek Istana Negara merupakan cagar budaya lingkungan golongan I dan golongan bangunan cagar budaya peringkat A.


Contoh Rekomendasi Bangunan Cagar Budaya Peringkat Provinsi

Nama Bangunan
Alamat
Kode Pos
Gedung Laboratorium Mikrobiologi UI
Jl. Cikini No. 13, Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng
10330
 Laboratorium Mikrobiologi UI





Nama Lama: Het Koningen Wilhelmina Institut Voor Hygiene en Bacteriologie
Pemilik: Universitas Indonesia
Tahun dibangun: 1931
Arsitek: Ir. J. van Gendt
Gaya arsitektur: Amsterdam School
Keterangan:
Dibangun oleh Genees Kundige Hoogeschool. Pada awalnya berfungsi sebagai ruang kuliah Bacteriologi & Higiene Genees Kundige Hoogenschool. Pernah digunakan sebagai tempat rapat para pemuda pejuang dalam usaha menentukan sikap mencapai kemerdekaan Indonesia.Gedung ini sekarang dipergunakan sebagai Laboratorium Mikrobiologi UI.


Gedung Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia merupakan salah satu contoh bangunan cagar budaya yang dibangun pada awal abad ke 20. Bangunan ini sudah ditetapkan dalan SK 475/1993 sebagai bangunan cagar budaya. Namun demikinan dalam konteks ini penetapan Gedung Laboratorium Kedoktean Universitas Indonesia ini masuk dalam kategori cagar bduaya peringkat provinsi.

Contoh Rekomendasi Bangunan Cagar Budaya (Sebagian bangunan sudah tidak ada)


Nama Bangunan Cagar Budaya
Alamat
Kode Pos
Kompleks Halaman Gedung Proklamasi (Monumen Proklamasi)
Jl. Proklamasi No. 56, Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng
10310
Monumen Proklamasi tahun 1970an











Nama Lama: Kediaman Ir. Soekarno
Pemilik: Pemda DKI Jakarta
Tahun dibangun: 1962 dan 1979 (patung)
Arsitek: -
Gaya arsitektur: Modernism
Keterangan:
Taman Proklamasi adalah perluasan dari penataan lahan bekas lokasi bangunan rumah Ir.Sukarno, Presiden RI yang ke-1, dan di mana upacara proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan. Dimuka rumah tersebut dibangun Tugu Kemerdekaan di Tahun 1952. Pada tahun 1962 bangunan rumah yang bersejarah itu diratakan dengan tanah termasuk Tugu Kemerdekaannya untuk menjadi komplek Gedung Pola Pembangunan dengan Tugu Petir Kemerdekaan sebagai peringatan kejayaan Indonesia Merdeka. Di tahun 1979 penataan Taman dilengkapi dengan penempatan Patung Sukarno dan Hatta dalam posisi pembacaan proklamasi kemerdekaan.

Kompleks Halaman Proklamasi (Monumen Proklamasi) yang terletak di daerah Menteng merupakan salah satu sebagai monumen peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia dan ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional. Namun demikian sangat disayangkan bahwa rumah Ir. Soekarno sudah tiada atau sudah dihancurkan.

DAFTAR PUSTAKA
Berg, Bruce L., 2001. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. Boston: Allyn and Bacon (edisi keempat)

Blackburn, Susan, 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu

Djulianto Susantio (2017).“ Pendirian Jakarta dan Pangeran Jayakarta, dalam www.hurahura.wordpress.com , 1 Maret 2010. Diakses 22 September 2017.

Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran Pemerintah DKI Jakarta (1990), Jejak Jakarta Pra 1945. Pemda DKI Jakarta

Donald, S.,H., dan J.G. Gammack (2007). Tourism and Branded City: Film and Identity on the Pasific Rim. Hamsphire: Ashgate Publishing

Castles, Lance (2007). Profil Etnik Jakarta. Masup Jakarta.

Dinas Museum Dan Pemugaran Pemerintah Dki Jakarta (2000) Laporan Penelitian Sejarah Bangunan Tua Inventarisasi Bangunan Cagar Budaya Wilayah Jakarta Pusat; Pemda Dki Jakarta

Haris, Tawalinuddin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad
XVI - XVIII). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Heuken, Adolf. 2000. Historical Sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Kamil, M. Ridwan. 2006. “Strategi Revitalisasi Kawasan Urban dalam Konteks
Ekonomi Global di Kota-kota Besar di Asia”, dalam Makalah Seminar Revitalisasi: Arti Baru bagi Masa Lalu di Jurusan Arsitektur - FTSP Universitas Gunadarma.

Kawaratzis, M., G. Warnaby., dan G.J. Ashworth, (2015). Rethinking Place Branding: Comprehensive Brand Development for City and Regions.  London: Springer.

Kolb, B. M., (2006). Tourism Marketing for Cities and Town. Oxford: Elsevier

Kolumnis dan Wartawan Kompas. 2012. Kota Tua Punya Cerita: Historia Jakarta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.


Mundardjito, 2013. Pengertian dan Kriteria Cagar Budaya. Bahan Presentasi (Tidak Dipublikasikan). Jakarta

Oud Batavia Platen Album (1919). Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen;; G. Kolff & Co.; Batavia – Weltevreden– Leiden.

Suryodiningrat, Meidyatama (2007). "Jakarta: A city we learn to love but never to like". Dalam The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 February 2008
Titik Pudjiastuti, (2007). Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Thee Liang Gie (1958). Sejarah Pemerintahan Kota Djakarta, Jakarta: Kotapraja Djakarta Raja

Wardhani, A.D. (2012). “Evolusi Aktual Aktivitas Urban Tourism di Kota Bandung dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Tempat-Tempat Rekreasi,” dalam Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol 8 (4): 371—382, Desember 2012. Biro Penerbit Undip, Semarang.

Wibisono, Bambang Hari. 2006. “Pendekatan Teoritis dan Konseptual Revitalisasi Kawasan dan Bangunan”, dalam Makalah Seminar Revitalisasi: Arti Baru bagi Masa Lalu di Jurusan Arsitektur - FTSP Universitas Gunadarma.

Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Benda Cagar Budaya. Keputusan gubernur ini telah menetapkan 216 bangunan sebagai Benda Cagar Budaya (termasuk bangunan di dalam Kawasan Kotatua)



*Ary Sulistyo

Alumni Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia bekerja sebagai pengajar, pemerhati, dan peneliti cagar budaya, pariwisata budaya, dan ekologi budaya. Selain itu aktif di Komunitas Jelajah Budaya (KJB). Penulis bisa dihubungi: sulistyo.ary26@gmail.com

Komentar

  1. ituDewa Poker Domino QQ | Ceme Judi Domino QQ | Agen Domino QQ | Domino QQ Online | Agen Poker | Judi Poker | Poker Online | Agen OMAHA | Agen Super Ten | BlackJack

    PROMO SPESIAL GEBYAR BULANAN ITUDEWA. KUMPULKAN TURNOVER SEBANYAK-BANYAKNYA DAN DAPATKAN HADIAH YANG FANTASTIS DARI ITUDEWA.

    MAINKAN DAN MENANGKAN HADIAH TOTAL RATUSAN JUTA, TANPA DI UNDI SETIAP BULANNYA!

    ? DAIHATSU ALYA 1.0 D MANUAL ( Senilai Rp.100.000.000,- )
    ? New Yamaha Vixion 150 ( Senilai Rp.25.340.000,- )
    ? Emas Antam 10 Gram ( Senilai Rp.10.160.000,- )
    ? Free Chips 1.500.000
    ? Free Chips 1.000.000
    ? Free Chips 250.000

    SYARAT DAN KETENTUAN : KLIK DISINI

    DAFTARKAN DIRI ANDA SEGERA : DAFTAR ITUDEWA

    1 ID untuk 7 Game Permainan yang disediakan oleh Situs ituDewa

    => Bonus Cashback 0.3%
    => Bonus Refferal 20% (dibagikan setiap Minggunya seumur hidup)
    => Bonus UPLINE REFERRAL UP TO 100.000!
    => Bonus New Member 10%
    => Customer Service 24 Jam Nonstop
    => Support 7 Bank Lokal Indonesia (BCA, BNI, BRI, Mandiri, Danamon, Cimb Niaga, Permata Bank)

    • Deposit Via Pulsa, OVO & GOPAY
    • Pusat Bantuan ituDewa

    Facebook : ituDewa Club
    Line: ituDewa
    WeChat : OfficialituDewa
    Telp / WA : +85561809401
    Livechat : ituDewa Livechat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita