Langsung ke konten utama

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage  Peringkat Dunia[1]


Oleh:

Ary Sulistyo[2]


Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO.

Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayoritas kota-kota besar yang bersejarah, lokasinya berada di tepi-tepi pantai. Oleh karena itu, isu lingkungan seperti pemanasan global atau perubahan iklim harus menjadi perhatian serius. Perubahan iklim atau pemanasan global dapat menyebabkan penaikan air laut, banjir, sedimentasi, kekurangan air bersih, menurunnya fungsi kawasan, hingga meningkatnya endemi penyakit menular.

Kota merupakan satu-kesatuan ruang geografis yang di huni dan di tempati oleh manusia dengan segala perangkat kebudayaannya. Secara historis, kota-kota di Pulau Jawa merupakan kota-kota kolonial peninggalan rancang-bangun Belanda, termasuk Kota Tua Jakarta.  Di kawasan  Kotatua Jakarta yang kini merupakan Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta[3] beberapa permasalahan seperti permasalahan lingkungan, sosial, administrasi, kebijakan, dan kelembagaan masih memerlukan perhatian.

Tanpa terasa Kota Jakarta akan berulang tahun yang ke-489. Lapisan demi lapisan (layer by layer) Kota Jakarta meninggalkan bukti-bukti perkembangan fisik kota yang bermula dari muara Sungai Ciliwung hingga menjadi kota seperti sekarang (Surjomiharjo, 2000). Hal ini merupakan bukti adaptasi manusia terhadap lingkungan (man-made environment). Lapisan-lapisan budaya kotatua Batavia tempo dulu juga ditunjukan dari hasil ekskavasi arkeologi, dengan ditemukannya beragam temuan, di antaranya sisa-sisa tembok kota dan Bastion,  keramik, tembikar, alat logam, moluska, tulang, gigi, ubin, jalur trem dan bantalannya dari balok kayu, pipa saluran dari terakota, balok-balok kayu sebagai fondasi bangunan, serta temuan-temuan lainnya (Mundardjito, 2008), serta bangunan-bangunan arsitektural monumental yang masih ada hingga sekarang.

Taman Fatahillah, Ikon Kota Tua Jakarta

Kawasan Kotatua Jakarta sebagai kawasan Cagar Budaya secara legal dilindungi oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya begitu juga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.  Pelestarian Kota Tua Jakarta tidak hanya pelestarian cagar budaya-nya saja tetapi juga pelestarian lingkungan. Keberadaan Cagar Budaya harus dipertahankan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya, serta memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam konteks pelestarian, dampak positif pembangunan dari pengembangan pariwisata Kota Tua Jakarta (Kotatua Tourism Development) adalah  bisnis atau usaha seperti; akomodasi, penyediaan makan dan minum, jasa pariwisata, rekreasi dan hiburan, serta objek kawasan pariwisata, site attraction dan event attraction (Budiarti, 2012). Pembangunan yang masih terus berjalan di Kotatua Jakarta masih memiliki kekurangan di antaranya adalah pertama, image Kotatua yang kurang menguntungkan; kedua, kurangnya fasilitas penunjang di kawasan; ketiga, kondisi infrastruktur yang kurang mendukung; keempat, lalu lintas yang tidak teratur; kelima, penurunan kualitas lingkungan sekitar (polusi udara, polusi air sungai); keenam, kebijakan yang belum terpadu; ketujuh, batas administrasi yang terbagi; kedelapan, kelembagaan yang belum tepat sasaran (UPK Kota Tua, 2014).

Dampak negatif non-fisik pembangunan juga berakibat menurunnya fungsi kawasan, di antaranya adalah pertama, pedagang kaki lima (PKL) dan asongan yang masih saja berjualan di sekitar Taman Fatahillah, walaupun sudah dilarang; kedua, parkir liar motor dan mobil di sembarangan tempat seperti di Jalan Pintu Besi Utara dan dekat Gedung Imigrasi; dan ketiga prilaku pengunjung dengan membuang sampah sembarangan di sekitar Taman Fatahillah.[4]

Tabel Beberapa Dampak Positif dan Negatif Pembangunan Kota Tua Jakarta
Dampak Positif
Dampak Negatif
Solusi
Stakeholder yang berperan
Usaha Akomodasi
Polusi dalam bentuk limbah padat, cair,
Fisik: bak sampah, jasa penyapu jalan
Non fisik: sosialisasi peraturan,
Dinas Tata Ruang, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Pemerintah Kodya Jakarta Barat dan Jakarta Timur, LSM, Masyarakat

Jasa Pariwisata (site attraction dan event attraction)
Polusi dalam bentuk limbah padat, limbah cair
Fisik: bak sampah, pembersihan saluran air, dan papan peringatan
Non fisik: sosialisasi peraturan dan larangan
Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemerintah Kodya Jakarta Barat dan Jakarta Timur, LSM, dan Masyarakat
Jenis rekreasi dan hiburan lainnya (yang bersifat public crowded)
Polusi dalam bentuk suara, dan kerusakan fisik bangunan
Fisik: papan pengumuman
Non fisik: sosialisasi peraturan dan larangan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Polsek, Satpol PP,  Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Pemerintah Kodya Jakarta Barat dan Jakarta Timur, LSM, dan Masyarakat,

Tabel di atas adalah beberapa representasi potensi dan dampak pembangunan di kawasan Kota Tua Jakarta yang masih harus menjadi perhatian. Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta memiliki karakteristik urban heritage, yang merupakan kota koloni Belanda pertama yang sengaja dibuat di Indonesia untuk tujuan dagang (VOC) kemudian beralih kepada pemerintahan Hindia Belanda, Jayakarta, lalu menjadi Ibukota Jakarta kini (Surjomiharjo, 2000). Kota Tua Jakarta bila ditilik dari gaya arsitektural bangunan kolonial, memiliki gaya atau langgam yang mewakili zaman, seperti, Netherland stijl hingga Indisch stijl. Beberapa keunikan tersebut menjadikan Kota Tua Jakarta terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Pada masa lalu kawasan Kota Tua Jakarta juga sebagai melting pot dari berbagai budaya di dunia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 tahun 2010 bahwa dalam hal urusan pemeringkatan cagar budaya; ada cagar budaya peringkat dunia, nasional, regional, dan lokal. Kotatua Jakarta hingga saat ini masih belum terdaftar sebagai Cagar Budaya tingkat nasional[5]. Oleh karena itu, strategi pelestarian (konservasi) tidak hanya dapat dilakukan melalui penelitian sebatas penyelamatan cagar budaya saja, tetapi juga bersifat integratif dan partisipatif (Mundardjito, 1995). Integratif; berarti melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu lingkungan, sosial, arsitektur, arkeologi, kebijakan publik, dan ekonomi dan partisipatif; berarti mengajak semua pihak (stakeholders), khususnya di kawasan Kota Tua Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 36 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Kawasan Kotatua pasal (13) bahwa rencana pengembangan kawasan Kotatua diwujudkan melalui penataan pada komponen pembentuk karakter historis, estetika, sosial dan budaya ruang kota yang meliputi: struktur jalan, tata guna lahan dan fungsi bangunan, tata bangunan, ruang terbuka dan lansekap, distribusi intensitas lahan, wajah jalan dan elemen khusus kota. Perencanaan kawasan Kotatua didukung dengan penataan sistem umum pergerakan dan transportasi umum serta wisata, berikut sistem umum tata air yang sejalan dan terpadu dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta.

Pengembangan model revitaslisasi kawasan Kotatua yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (ekosistem) sangat diperlukan. Model revitalisasi dapat dikembangkan dengan memfokuskan pada revitalisasi kawasan perbaikan fisik dan non fisik. Revitalisasi fisik difokuskan pada konservasi kawasan (baik gedung, taman, pedestrian) yang menunjang keberlanjutan fungsi ekologi dan ekonomi, maupun revitalisasi non fisik yang difokuskan pada aspek keberlanjutan sosial, seperti kebijakan, kelembagaan, dan pemberdayaan komunitas.[6]

Struktur kota pada kawasan Kotatua secara umum terbentuk dengan aksis Utara-Selatan.  Hal ini terbentuk berdasarkan perkembangan kota sebagai kawasan perdagangan yang berbasis pelabuhan. Ruang terbuka (open space) pada kawasan terbentuk dari Square (taman Fatahillah), Street (Jl Kali Besar Barat, Jl Kali Besar Timur, Jl Kali Besar Timur 1,2,3,4,5, Jl Pintu Besar, Jl Pos Kota, dan Jl Cengkeh), Waterfront (Kali Besar) dan Lost Space-ruang negatif (area dibawah jalan tol, rel kereta api, serta ruang antar gedung lainnya). Secara umum ruang terbuka pada kawasan membentuk beberapa simpul besar di antaranya, a) depan stasiun BEOS (Jakarta Kota) yang juga mampu berfungsi sebagai gerbang kawasan Kota Tua dari selatan (keberadaan stasiun kereta api, stasiun Busway dan aksis jalur utama kota); b) Taman Fatahillah, berupa plaza dengan pengembangan sebagai pusat kegiatan kawasan serta c) Kali Besar, berupa koridor sungai (Baskara, 2012).

Ruang-ruang terbuka tersebut dapat mendukung upaya revitalisasi; yang salah satunya dengan menciptakan keramaian publik. Strategi menciptakan keramaian publik (public crowd) adalah dengan mendatangkan buyers. Public crowd di sekitar Taman Fatahillah maupun Kalibesar akan mengundang investor bila sifatnya bisa permanen dan serempak. Industri kreatif menjadi pilihan pemanfaatan bangunan-bangunan tua di kawasan inti Kotatua (sekitar Museum Sejarah Jakarta). Kondisi eksisting bangunan yang tidak berhubungan dengan industri kreatif tetap dipertahankan, namun lantai dasarnya diubah fungsinya menyesuaikan dengan industri kreatif agar bisa diakses publik[7]. Akan tetapi, kondisi Kotatua merupakan daerah perlintasan yang agaknya menjadi tatangan dalam hal penataan ruang, karena kawasan ini adalah daerah perlintasan kendaraan (traffic through). Sekitar 70 persen kendaraan yang datang ke Kota Tua ternyata hanya sekedar melintas (Kompas, 24 Desember 2004).

Kendala lain saat ini adalah ketiadaan “buyers siang hari” menjadi ketidak-tarikan investor menanamkan modalnya di kawasan Taman Fatahillah dan Jalan Pintu Besar Utara. Namum investor lebih melirik orang-orang yang butuh hiburan malam sebagai “buyers di malam hari”, maka tak heran investor lebih suka membuka diskotik, panti pijat, dan sesuatu yang berbau “undercover”. Secara valuasi ekonomi, Kota Tua Jakarta dapat dikatakan Net Present Value (NPV) siang hari lebih kecil jika dibandingkan dengan Net Present Value (NPV) pada malam hari. Namun demikian, hal ini perlu dikaji lebih detail tentang masalah valuasi ekonomi Kota Tua Jakarta ini.[8]

Upaya-upaya revitalisasi Kotatua Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2005 lalu merupakan komitmen pelestarian cagar budaya. Pelestarian ini tidak di artikan romantisme kolonial, tetapi sebagai trend ekonomi pemanfaatan Kota Tua sebagai sumber pendapatan (devisa). Upaya revitalisasi Kota Tua Jakarta mendapatkan dukungan dari semua pihak baik pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat luas yang bersinergi dan menghasilkan satu masterplan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua Jakarta (dengan luas zonasi ±334 ha). Penataan dan pengembangan Kotatua harus dibentuk satu lembaga (Badan Otorita atau Badan Otonom) tersendiri yang dapat menangani koordinasi antar unit dalam pembangunannya, dan menjembatani serta memfasilitasi para stakeholders[9].

Penataan saat ini dikoordinasi oleh Unit Pengelola Kawasan (UPK Kota Tua) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta. Kegiatan unit ini masih semata-mata hanya mengelola penataan-penataan di lokasi kawasan Kotatua dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang sifatnya koordinatif. Kerjasama juga dilakukan dengan museum-museum setempat (Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, Museum Wayang, dan Museum Bahari). Supporting dari pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), swasta, serta lembaga-lembaga internasional masih sangat diperlukan (Tambunan, 2010). Kedepan, acara-acara di sekitar Taman Fatahillah dan Kalibesar yang masih dibiayai APBD Pemprov DKI, agar kegiatan-kegiatan event attraction dan site attraction tersebut bisa dilakukan dari partisipasi masyarakat.

Semoga.

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang membantu dalam rangka penulisan artikel ini. Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada Bapak Ir. M. Kadir, SE, MT selaku Kepala UPK Kota Tua Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta atas diskusinya; Tim Ahli Cagar Budaya (Prof. Dr. Mundardjito, Dr. Ark. Djauhari Sumintardja, Dpl, Bldg, Sc, Drs. Candrian Attahiyat, dan Drs. Hubertus Sadirin), serta para pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu karena keterbatasan penulis. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk Kota Tua Jakarta lebih baik.

Daftar Bacaan
Gad-Bigio, A., 2015, “Historic Cities and Climate Change,” dalam Bandarin dan van Oers (ed.), Reconnecting the City: The Historic Urban Landscape Approach and the Future of Urban Heritage, hlm. 113—128. Oxford: John Willey & Sons (edisi pertama)

Baskara, M., 2012. “Kajian Ruang Terbuka Kawasan Pelestarian Kota Tua Jakarta,” dalam http://medha.lecture.ub.ac.id/2012/02/kajian-ruang-terbuka-kawasan-pelestarian-kota-tua-jakarta/. Diakses Selasa, tanggal 17 Februari 2015. Pukul 20.15 WIB

Budiarti., T., 2012. Pembangunan Kota Tua dalam Konteks Pembangunan Kepariwisataan Kota Jakarta. Materi Paparan Wakil Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta (tidak dipublikasikan). 

Mundardjito, 2008. “Kota Tua Batavia: Masalah Perlindungan,” dalam Seminar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tanggal 24 Maret 2008 di Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

Mundardjito, 2005. “Masalah Metode Penilaian Benda Cagar Budaya,” dalam Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi Ke-X, diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada tanggal 26—30 November 2005 di Hotel Sahid, Yogyakarta.

Mundardjito, 1995. “Pendekatan Integratif dan Partisipatif Dalam Pelestarian Budaya,” dalam Pidato Pengukuhan sebagai Gurubesar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang dibacakan tanggal 7 Oktober 1995 di Balai Sidang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.

Surjomiharjo, A., 2000. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi DKI Jakarta.

Tambunan, W., 2010. Kota Administratif Jakarta Barat Sebagai Kota Tujuan Wisata. Materi Workshop Pengembangan Kota Tua Jakarta, Selasa 10 Agustus 2010 di Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta (tidak dipublikasikan).

UPK Kota Tua, 2014. Mengenal Lebih Dekat Kawasan Kota Tua Jakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Peraturan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua Jakarta





[1] Makalah ini sudah dipublikasikan oleh Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) dan dapat diunduh di http://iplbi.or.id/2015/04/kota-tua-jakarta-melangkah-menuju-urban-heritage-peringkat-dunia/ dan dimuat dalam Asia Pasific Training Course on Historic Urban Lansdcape, 14-17 Desember 2015 di Tongji University, Shanghai, China.
[2] Penulis adalah pemerhati urban heritage. Penulis dapat dihubungi di: sulistyo.ary26@gmail.com
[3] Secara administratif kawasan Kota Tua Jakarta meliputi empat kecamatan di dua kotamadya, yaitu Kecamatan Penjaringan dan Pademangan di Jakarta Utara serta Kecamatan Taman Sari dan Tambora di Jakarta Barat. Namun demikian, tidak semua wilayah kecamatan-kecamatan tersebut masuk dalam batasan kawasan Kota Tua karena delineasi wilayah perencanaan kota tidak didasarkan pada batas wilayah administrasi.
[4] Berdasarkan berita acara Rapat Percepatan Revitalisasi Kota Tua Jakarta, Gedung Balaikota, Jumat, 30 Januari 2015 dan 6 Februari 2015.
[5] Berdasarkan wawancara pada hari Selasa, 7 April 2015 dengan Prof. Dr. Mundardjito, Guru Besar Arkeologi UI yang juga sebagai Tim Ahli Cagar Budaya bahwa Kota Tua harus segara diberikan didaftarkan dan berstatus Cagar Budaya Tingkat Nasional terlebih dahulu sebelum ditetapkan oleh UNESCO.
[6] Berdasarkan opini pribadi penulis
[7] Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Drs. Candrian Attahiyat (pemerhati Kota Tua Jakarta yang kini aktif di Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta) pada acara site-visit Mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana Arsitektur ITB, pada hari Selasa, 24 Maret 2015 di Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta
[8] Berdasarkan opini pribadi penulis
[9] Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Ir. M. Kadir, SE, MT, selaku Kepala UPK Kota Tua Jakarta, Dinas Pariwisata Propinsi DKI Jakarta.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y