Menyoal
Kembali Branding City Kota Depok
Sebagai Kota Pendidikan: Sebuah Pandangan Retrospektif[1]
Oleh:
Ary Sulistyo[2]
Tulisan ini merupakan refleksi memori
penulis yang telah 15 tahun tinggal di Kota Depok, Jawa Barat. Salah satu kota
yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta di sebelah selatan Jakarta.
Kawasan Depok adalah salah satu kota dari gabungan beberapa kota lain yang akan
menjadi kawasan metropolitan terbesar di dunia dan kawasan
perkotaan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara; dengan mengusung konsep
Jabodetabekpunjur atau yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak,
Cianjur. Hal ini terus dioptimalisasi pengaturan dan pengelolaannya oleh
pemerintah (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, 2014).
Citra Kota Depok
yang penulis kenal selama ini adalah “Kota
Belimbing”, pusat kuliner di sepanjang Jalan Margonda dengan atmosfer “anak-anak kampus” dan “ngampus”[3],
pusat pendidikan, dan kota layak huni sebagai penyangga kota Jakarta, serta
banyak lagi yang istilah yang disempatkan oleh Kota Depok. Namun demikian, belakangan
ini, Kota Depok disebut sebagai “Kota
Darurat Begal”. Hal ini dikarenakan dalam beberapa waktu belakangan telah
terjadi tidak kriminal “pembegalan” kendaraan bermotor ditempat-tempat yang
kurang penerangan jalannya[4].
Bahkan para pelaku pembegalan tidak segan-segan membunuh korbannya.
Penilaian tahunan
Kota Adipura yang dilakukan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015; menranking 14 kota terbersih
penilaian tahap pertama; Kota Depok menduduki peringkat terbawah yaitu ke 14
menyusul Kota Bandung peringkat ke-13 dan Kota Bekasi diperingkat ke-12. Tiga
kota peringkat bawah tentunya tidak lolos seleksi sebagai kota terbersih[5].
Bahkan, menurut catatan dari Dinas Binamarga dan Sumberdaya Air Kota Depok, ada
55 titik dengan kawasan paling rentan terjadi banjir adalah di Kelurahan Tugu
(Kali Laya), Cimanggis, Sawangan, Cilodong, Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya
(Priatmojo dan Darmawan, 2014). Belum lagi masalah situ-situ sebagai water reservoir; dari semula 31 situ
menjadi 24 situ karena penyusutan dan pencemaran.
Dalam sebuah
diskusi yang diselenggarakan oleh #KamisLiterasi@Nyonya
Buku dengan tema “Depok itu Kota…?”
di sebuah kafe di Jalan Margonda Depok pada hari Kamis 27 November 2014 lalu.
Diskusi ini yang dihadiri oleh Sejarawan J.J. Rizal, yang menurutnya Depok itu
sebagai Kota Bandan dan Kota Penyangga dan sifat multienik melekat pada Kota
Depok tetapi mengenai masalah branding
city harus melihat dari nama Depok itu sendiri (Muslimah, 2014).
Kota sebagai
sebuah produk, ada produk fisik (tangible
goods) seperti bangunan (dan arsitekturnya), taman, jalan, monumen, sistem
transportasi, dan setting
geografisnya. Ciri-ciri fisik ini sangat penting bagi pengembangan citra sebuah
kota apakah itu kota tradisional, maupun modern. Ada juga produk non fisik (intangible goods) kota seperti
pelayanan, ide, dan pengalaman dan perjalanan kota itu sendiri (Kolb, 2006:
13). Branding sebuah kota dimaksudkan
di sini adalah keterlibatan rasional dan emosional dengan suatu tempat,
estetika, dan kehidupan sehari-hari (Donald dan Gammack, 2007: 45). Branding diperuntukkan untuk: kompetisi
antar kota atau wilayah, panduan strategis untuk pembangunan, dasar kerjasama
antar stakeholders, solusi praktis
dan fungsional terkait masalah kewilayahan, dan memaksimalkan nilai positif
dari pengalaman sebuah kota itu (Kawaratzis, et al., 2015: 4).
Contohnya Kota
Bandung memiliki cerita tersendiri sebagai kota wisata (tourism city). Pada awal tahun 1920-an, Bandung dikenal dengan
wisata alam, dan wisata budaya, ketika para bangsawan Belanda yang tinggal di
Jakarta (Société Concordia) pergi berlibur
ke Bandung. Kemudian evolusi urban
tourism yang dimulai sekitar tahun 1980-an; Bandung lebih di kenal sebagai
kota pariwisata (khususnya wisata belanja), yang ditandai dengan munculnya Mall pertama, yaitu BIP (Bandung Indah
Plaza), distro[6]
dan factory outlet[7].
Bandung berubah menjadi tempat wisata kuliner dan wisata malam pada tahun 2000
hingga 2010. Perkembangan aktivitas-aktivitas modern, seperti: pub, kafe, nightlife, dan arena bermain seperti Disneyland juga turut mewarnai perkembangan kepariwisataan di Kota
Bandung (Wardhani, 2012: 372).
Lalu bagaimana
dengan Kota Depok?? Dalam sudut pandangan retrospektif yang penulis ketahui, Kota
Depok, dari bukti-bukti arkeologis[8]
yang bersifat tangible; sudah melalui
berbagai masa. Diantaranya bukti-bukit masa prasejarah (sekitar 3000 SM), masa
klasik (abad 7-15 M), masa Islam hingga masa kolonial Belanda (abad 15-20 M).
Berdasarkan temuan dan sebarannya, situs prasejarah tersebut dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu: (1) situs-situs masa bercocok-tanam yang berada di Depok,
Kelapa Dua, Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Cisalak, Parungbingung, Sawangan,
Parung, Bojonggede, Cilebut, Citayam, Cikeas, Cibinong, Ciloa, Cileungsi,
Citeureup, Jonggol, dan Cipamingkis. Temuannya berupa alat-alat batu neolitik
seperti persegi dan gerabah; (2) situs-situs masa perundagian yang tersebar di
wilayah Jakarta, Depok dan sekitarnya dengan temuan berupa benda logam, seperti
kapak perunggu, tombak besi, arca perunggu, dan lain-lain (Djafar, 2005: 5).
Memasuki zaman Hindu-Buddha, keberadaan Depok
masih diselimuti misteri. Karena belum ditemukan suatu bukti arkeologi yang
secara eksplisit menyebutkan nama atau istilah ”depok”. Ada beberapa nama tempat kuno, yang tersebut dalam
sumber-sumber tertulis, yang kini masih berada di sekitar Depok. Di dalam
sebuah karya sastra Sunda Kuna dari abad ke-16, Bujangga Manik menyebutkan nama tempat tersebut, seperti Cibinong,
Tandangan, Citereup, Cileungsi, Bukit Caru, Gunung Gajah, dan Ciluwer,
sedangkan Sungai Ciliwung disebutkan dengan nama Ci-Haliwung (Djafar, 2005: 9).
Selain itu, juga ditemukannya sepuluh buah
sumur yang diduga telah lama ada sebelum datangnya Islam di Depok. Sumur-sumur
tersebut, antara lain, Sumur Gondang di Jalan Bandung Kelurahan Harjamukti
Cimanggis, Sumur Tujuh Beringin Kurung di Beji Depok Utara, Pancuran Mas di
Jalan Setu, Kelurahan Pancuran Mas, Kecamatan, dan Sumur Bandung yang berlokasi
di RT 007/011 No. 30, Kampung Taman, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran
Mas. Sumur-sumur tersebut masih sering digunakan dan dikeramatkan oleh
masyarakat setempat (kemungkinan dikaitkan dengan tempat-tempat pertapaan ataupun petirtaan serta tempat-tempat yang disucikan bagi sebagian orang
pada masa lalu). Sayangnya, belum ada penelitian antropologi dan etnografi lebih
lanjut mengenai fungsi keberadaan sumur-sumur tersebut. Sumur-sumur keramat
memiliki berorientasi menghadap ke Gunung Pangrango dan atau Gunung Salak (Timadar, 2008).
Karena letaknya yang dikelilingi oleh
situs-situs peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, memberikan
gambaran bahwa wilayah Depok memiliki peranan yang sangat penting, yaitu
sebagai perantara persebaran kebudayaan antara kebudayaan pesisir dengan
kebudayaan pedalaman (Djafar, 2005: 7). Persebaran tersebut mencangkup aspek
kehidupan sosial-ekonomi, dan aspek kehidupan religi. Situs peninggalan
kerajaan Tarumanegara adalah Ciaruton, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, dan Tanjung
Barat.
Berdasarkan berita dari Abraham van Riebeeck[9];
dalam perjalanannya pada tahun 1709, menemukan peninggalan bahwa di Karadenan
ada benteng pertahanan milik Kerajaan Sunda Pajajaran. Eksistensi kerajaan ini
terpaksa berakhir ketika pelabuhan Sunda Kalapa dan ibu kota Kerajaan Sunda
Pajajaran terdesak oleh pasukan Islam Kerajaan Demak. Peristiwa di atas dapat
dijadikan petunjuk awal mulanya agama Islam masuk dan berkembang di Depok.
Hubungan Banten dan Cirebon melalui jalan darat yang dahulu terhambat oleh
Kerajaan Sunda, kini sudah tidak terhambat lagi. Oleh karena muncul
kampung-kampung yang namanya khas dengan nama-nama lokasi di daerah itu, secara
tidak langsung Depok pun menjadi sebuah kawasan yang sering dilalui oleh
pedagang dan utusan dari Banten maupun Cirebon.
Bersamaan dengan itu, kekuasaan daerah Islam terdapat
di Beji, Kukusan, dan Kemiri. Perkembangan agama Islam di Depok diperkirakan
baru dimulai bersamaan dengan perlawanan Banten terhadap VOC yang saat itu
berkedudukan di Batavia pada tahun 1619 (Leirissa, 1977: 1). Peranan Cornelis
Chastelein dalam sejarah Depok saat memasuki fase kolonial, tidak dapat
diabaikan. Dialah orang Belanda yang membuat daerah Depok memiliki kekhasan
tersendiri. Chastelein adalah lelaki keturunan Prancis-Belanda. Chastelein
merupakan pionir, beliau membentuk sebuah komunitas Kristen pertama di Jawa, di
luar komunitas perkotaan Belanda (Lombard, 2000: 96). Ia juga termasuk orang
pertama di Indonesia yang mengembangkan bisnis kopi (Heuken, 1997: 200).
Chastelein menggarap hutan menjadi perkebunan
dan mengubah perkebunan menjadi permukiman orang Belanda. Chastelein sendiri
memiliki cita-cita ingin membentuk suatu komunitas atau dengan perhimpunan
Kristen di kalangan pengikutnya. Cita-cita tersebut ia realisasikan dengan
mewariskan hampir seluruh tanahnya kepada para hamba sahaya-nya. Setelah
Chastelein wafat, para pewaris membentuk pemerintahannya sendiri, mereka
memiliki undang-undang dan seorang presiden yang mereka pilih. Pemerintahan
yang dimaksud adalah pemerintahan yang sesuai dengan isi surat wasiat
Chastelein, bahwa Chastelein menginginkan adanya seorang pemimpin dan tujuh
orang pembantu yang mengurus daerah Depok.
Mereka mempunyai tugas mengurus tanah dan
bangunan yang telah diwariskannya itu, mengatur ternak dan hasil perkebunan,
memelihara orang tua dan orang miskin yang tidak mampu bekerja, melindungi
masyarakat dari tindak kejahatan serta mampu meyelesaikan perkara atau
pertikaian yang terjadi diantara mereka (Het Testamen van Cornelis
Chastelein, 1714). Diakhir abad
ke 19, pemerintahan tersebut lambat laun memiliki sistem pemerintahan yang
lebih rapih, seperti adanya mekanisme pemilihan presiden, undang-undang dan
mempunyai kantor pemerintahan.
Pusat pemukiman orang Belanda beserta para budaknya
berada di Jalan Pemuda atau Depok Lama. Hingga kini, kita masih dapat melihat
peninggalannya, berupa bangunan-bangunan kolonial, seperti gereja, sekolah, dan
rumah sakit. Sementara itu, peninggalan berupa tradisi yang masih bertahan,
adalah peringatan Chastelein Day, yaitu peringatan hari wafatnya
Chastelein yang dirayakan setiap tanggal 28 Juni untuk mengenang jasa
Chastelein. Perayaan ini biasa diiringi dengan berbagai macam kegiatan, seperti
doa bersama, pertunjukan seni di ruang Eben Haezer, pasar malam, dan
lain sebagainya.
Depok kemudian
mengalami perkembangan, penduduk yang bermukim pun semakin bervariasi. Ada
permukiman orang Cina yang menempati daerah Pondok Cina, permukiman orang
Belanda atau pewarisnya yang bermukim di daerah Depok Lama, dan permukiman
orang Islam yang terkonsentrasi di wilayah Pancoran Mas. Hal tersebut memberikan
gambaran kepada kita bahwa Depok tidak tumbuh begitu saja secara acak, tetapi
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor itu, antara lain transportasi sungai
dan darat, kebijakan politik, ekonomi, pertambahan penduduk, dan penguasaan
teknologi.
Berdasarkan pesebaran
data-data tinggalan arkeologis, menunjukkan bahwa Depok pada mulannya adalah
pemukiman. Depok terbagi menjadi tiga komunitas yang membentuk permukiman
dengan corak tersendiri. Permukiman itu terbagi menjadi permukiman penduduk
asal yang beragama Islam, permukiman kolonial dengan mayoritas penduduknya
beragama Kristen Protestan, dan permukiman Cina yang identik dengan aktivitas
perekonomiannya. Peninggalan-peninggalan Islam tersebar dari sebelah utara
Depok dan semakin banyak tersebar di selatan Depok. Arah konsentrasi persebaran
dari utara ke selatan, karena di sebelah
selatan terdapat pusat Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran di Bogor, yang
pernah ditaklukan oleh pasukan Islam dari Banten. Pemukiman Kolonial berada di
daerah yang sekarang bernama Depok Lama, dengan pusat kegiatan di Jalan Pemuda.
Permukiman Cina berada di daerah paling utara kota Depok yang bernama Pondok
Cina.
Selain itu juga
terdapat peninggalan kepurbakalaan di daerah sekitar Cimanggis yang berupa
banguanan hunian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Depok memiliki
karakter permukiman yang khas, yaitu sebuah kawasan yang diperuntukan sebagai
tempat pendidikan. Karakter pendidikan itu diperkirakan telah dikenal sejak
zaman klasik (Hindu-Budha), kemudian tetap berlangsung dimasa Islam. Seperti juga pada masa kolonial, nuansa
pendidikan pun masih bisa ditemui, yaitu didirikannya sekolah seminari yang
memiliki murid dari pelosok nusantara. Seminari ini diduga sebagai cikal bakal sekolah theologia Indonesia.
Peta Depok Tahun 1895 dari “Cornelis Chastelein en de Christen Gemeente Van Depok”
Dengan demikian,
karakter yang khas untuk menggambarkan Depok adalah sebuah kawasan yang
diperuntukkan sebagai tempat pendidikan. Sesuai dengan makna kata ‘depok’ yang
disandangnya, depok berasal dari kata padepokan dan padepokan berasal dari patapan
yang merujuk pada arti yang sama yaitu “tempat bertapa” atau ‘tempat
pendidikan’; yang pada intinya mencari ilmu. Demikianlah branding Kota Depok itu sendiri dalam pandangan retrospektif
penulis. Karakter khas Kota Depok sebagai kota pendidikan dan pelajar kini
ditandai dengan beberapa Kampus besar yang ikut meramaikan perkembangan Kota
Depok itu sendiri, seperti UI, Gunadarma, Jayabaya, STIAMI, LP31, dan lain
sebagainya. Ke depan, Kota Depok dapat
berkembang dan disesuaikan dengan branding-nya
sebagai kota pendidikan (education city)
dalam perencanaan pembangunan kota.
Semoga.
Kota Depok awal tahun 2015; kemacetan di Jalan Margonda Raya menjadi
pemandangan biasa. Perlu ditinjau kembali “branding city” Kota Depok sebagai kota pendidikan
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada saudari Rian Timadar; teman seangkatan penulis yang telah mengijinkan
penulis menggunakan data-datanya; teman-teman ex-komunitas Paduraksa yang tidak bisa penulis sebutkan satu per
satu; semoga selalu semangat dalam melestarikan cagar budaya di Indonesia.
Daftar Bacaan
Dirjen Bina Pembangunan Daerah, 2014.
"Kemendagri Terus Optimalkan Kawasan Jabodetabekpunjur,
dalam http://bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=35. Diunduh pada Sabtu, 25 April 2015, pada pukul
19.20 WIB. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Djafar, H,. 2005 “Naskah-naskah Sejarah Depok:
Pembahasan dan Catatan Permasalahannya”. Makalah Seminar
Sehari Sejarah Depok. Diselenggarakan oleh Forum Kerjasama Organisasi Kemasyarakatan Kota Depok bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah Kota Depok. Depok, 3
Maret 2005.
Djafar, H. 1983. “Gerabah Prasejarah Dari Situs-situs
Arkeologi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung, DKI Jakarta”, dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi ke-III. Ciloto, 23—28 Mei 1983.
Donald, S.,H., dan J.G. Gammack, 2007. Tourism and Branded City: Film and Identity
on the Pasific Rim. Hamsphire: Ashgate Publishing
Heuken, A., 1997.
Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Kawaratzis, M., G. Warnaby., dan G.J.
Ashworth, 2015. Rethinking Place
Branding: Comprehensive Brand Development for City and Regions. London: Springer.
Kolb, B. M., 2006. Tourism Marketing for Cities and Town.
Oxford: Elsevier
Timadar, R., 2008. Persebaran Data Arkeologi di Depok Abad
17—19: Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Pemukiman.
Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia, Depok (tidak dipublikasikan)
Muslimah, S., 2014. “Apa City Branding
Yang Tepat Untuk Kota Depok”, dalam http://news.detik.com/read/2014/11/28/003340/2761572/10/apa-city-branding-yang-tepat-untuk-kota-depok. Diunduh pada hari Senin, 20 April 2015,
pada pukul 10.24 WIB.
Priatmojo D, dan Z. Darmawan., 2014. “Waspada,
55 Titik di Kota Depok Rawan Banjir”, Dalam
http://metro.news.viva.co.id/news/read/558724-waspada--55-titik-di-kota-depok-rawan-banjir. Diunduh pada hari Minggu, 19 April 2015, pada pukul 13.10 WIB.
Leirissa. R.Z. 1977. “Dari Sunda Kelapa ke Jayakarta”,
dalam A. Surjomihardjo (ed.). Beberapa Segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta. hal 14—31. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta
Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid
I: Batas-Batas Pembaratan. Gramedia. Jakarta.
Wardhani, A.D., 2012. “Evolusi Aktual
Aktivitas Urban Tourism di Kota
Bandung dan Dampaknya
Terhadap Pembentukan Tempat-Tempat Rekreasi,” dalam Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol 8 (4): 371—382, Desember
2012. Biro Penerbit Undip, Semarang.
[1]
Artikel ini sudah di posting di
laman http://www.depoknews.id/menyoal-kembali-branding-depok-kota-pendidikan-sebuah-pandangan-retrospektif/#
[2] Penulis
adalah pemerhati masalah budaya dan perkotaan. Penulis dapat dihubungi di: sulistyo.ary26@gmail.com
[3]
Ngampus adalah istilah di kalangan
anak muda yang diartikan sebagai pergi ke kampus.
[4] Kompas,
12 Februari 2015. Kota Depok Darurat
Begal
[5]
Tempo, 24 Februari 2015. Depok Kota
Ter-kotor Se Jawa Barat
[6]
Distro ialah tempat penjualan pakaian dan aksesorisnya dengan merek yang dibuat
sendiri, memproduksi produk sendiri mulai dari desain, motif, hingga labelnya.
[7]
Factory outlet ialah jenis penjualan pakaian dan aksesorisnya dengan merek
tertentu.
[8]
Bukti-bukti arkeologi dapat diklasifisikasikan menjadi artefak, fitur, situs. Artefak
sifatnya moveable; dapat
berpindah-pindah seperti batu, logam, naskah, dan arca. Fitur sifatnya insitu dan
merupakan bagian dari suatu bangunan, bisa berbentuk sumur, sisa pondasi, dan
lantai. Sedangkan situs adalah tempat
ditemukannya artefak dan fitur. Situs bisa hubungan antar artefak dalam satu situs, hubungan antar fitur
dalam satu situs, dan hubungan antar situs dalam satu kawasan atau dikenal
dengan nama situs kawasan.
[9]
Abraham van Riebeck lahir di Belanda 18 Oktober 1653 dan meninggal pada 17
November 1713 pada usia 60 tahun. Ia adalah Gubernur Jendral Hindia-Belanda
yang ke-18 yang memerintah tahun 1709-1713. Ia juga dikenal sebagai orang
pertama yang memulai perkebunan kopi di Jawa Barat.
Komentar
Posting Komentar