Ekologi,
Pariwisata, dan Kearifan Tradisonal Kampung-Kampung Sunda di Jawa Barat
Oleh:
Ary Sulistyo[1]
Ekologi
dan wisata
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang
terkaya setelah negara Brasil. Secara bioregional Indonesia terbagi menjadi
tujuh biogeografik region, yaitu bio-regional Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan,
Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Dalam setiap
bioregional tersebut telah ditetapkan sejumlah taman nasional (Sugandhy, 2006).
Selain itu, Indonesia kaya akan budaya baik yang tangible (tersentuh) maupun intangible
(tidak tersentuh). Contohnya, candi, mesjid kuna dan lain-lain, maupun benda
budaya yang intangible, yaitu benda
tak berwujud. Budaya non-materi seperti sastra, musik, permainan dan olah raga
tradisional, teater, dan tata upacara juga ikut berperan dalam proses
pembentukan karakter bangsa. Modal heritage/warisan tersebut dapat berperan sebagai sumber devisa/moneter yang non
destructive; dengan mengedepankan
upaya konservasi pada cultural heritage (warisan
budaya) dan natural heritage (warisan
alam) (Komunikasi pribadi dengan Dr. dr. Boedhihartono, Ahli Antropologi
Universitas Indonesia, Jakarta pada tanggal 12 April 2011). Sebagai catatan, di Indonesia menurut Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata hingga November 2008 terdapat
8.449 BCB/ Situs yang telah di Inventarisasi dan ada 408 BCB/Situs yang baru
ditetapkan diseluruh Indonesia, dan yang hanya dipelihara hanya 1.847 BCB/Situs
yang dipelihara (Direktorat Purbakala, Ditjen Sejarah dan Purbakala, 2008). Ini
berarti bahwa seperdelapan saja dari total BCB yang dipelihara hingga kini.
Oleh karenanya telah banyak terjadi kehancuran Benda Cagar Budaya baik fisik
bangunannya maupun lingkungannya (Mundardjito, 1995).
Belum lagi
masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia yang semakin hari semakin
menyusut hutan-hutan tempat mereka hidup, seperti penebangan liar (illegal logging). Sebut saja, Masyarakat
yang hidup dan tergantung dari hutan di Indonesia adalah masyarakat pedalaman,
yang terdiri dari masyarakat pemburu dan peramu; masyarakat peladang berpindah;
masyarakat peladang menetap dan masyarakat pertanian menetap. Pada masyarakat
pemburu dan peramu sangat tergantung dari sumber daya alam atau hutan.
Lingkungan hutan tropis banyak dimanfaatkan dengan teknologi dan pengetahuan
tradisonal untuk kegiatan subsistensi. Misalnya, Suku Anak Dalam di pedalaman
Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang Asmat di pedalaman Irian Jaya
bagian selatan, Orang Nuaulu di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Masyarakat
pemburu dan peramu ini banyak terdapat pada kawasan hutan lindung.
Bagi masyarakat peladang
berpindah (slash and burn farmer),
mamanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan yang relatif
luas untuk kelangsungan hidupnya. Kehidupan ekonomi mereka sehari-hari ditandai
oleh kegiatan berladang tanaman pangan (padi-padian atau ubi-ubian) secara
berpindah-pindah secara teratur (berpindah di lahan hutan). Pemberlakuan masa bera (hutan sebelum dan sesudah
digunakan untuk ladang) biasa disebut juga dengan hutan sekunder (sunda: huma). Pada saat ini, masyarakat
peladang berpindah tidak hanya mengandalkan tanaman pangan. Tetapi makin banyak
didukung oleh penjualan hasil hutan seperti kayu, rotan, dan damar. Selain itu,
masyarakat telah menanam tanaman komoditi, seperti kopi, karet, coklat,
cengkeh, dan sebagainya. Contohnya adalah Orang Talang Mamak di pedalaman Riau,
Orang Dayak (Kantu) di pedalaman Kalimantan Tengah, Orang Baduy di Jawa Barat,
Orang Wana di pedalaman Sulawesi Tengah, dan Orang Dani di pedalaman Irian
Jaya.
Masyarakat peladang
menetap memanfaatkan sumber daya pertanian dan hutan untuk tanaman komoditi
ekspor. Seperti, masyarakat Siladang yang berladang gambir di pedalaman
Sumatera Barat, masyarakat Rejang Lebong yang berladang kopi di pedalaman
Bengkulu, masyarakat Talang Mamak di Indragiri Hulu atau Kuantan dan Kampar
yang berkebun karet di pedalaman Riau, masyarakat Pamona atau Loinang yang
berkebun coklat (cocoa) di pedalaman Sulawesi Tengah, atau suku-suku bangsa
yang berkebun coklat di pedalaman Sarmi, Irian Jaya (Purba, 2005:42-57).
Revitalisasi nilai-nilai
sosial, budaya, dan kearifan lingkungan lokal kampung-kampung tradisional
sangat bersentuhan dengan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan.
Pendekatan terpadu dan terintegrasi antara lansekap ekologi dengan kearifan
lingkungan masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan belum menyentuh
seluruh aspek kehidupan masyarakat, karena hanya menitikberatkan sektor
pariwisata saja. Oleh karena itu prinsip lingkungan seperti keberlanjutan
lingkungan (environmentally sustainable),
dapat diterima oleh masyarakat lokal dan nasional (socially acceptable) dan teknologi managable (misalnya secara teknologi
dapat ditingkatkan masalah daya dukung lingkungan pertaniannya).
Di ekoregion Jawa
khususnya, tercatat sekitar ada sekitar 12 kampung adat Sunda yang masih
memegang tradisi penjagaan hutan dan sumber air dan dijadikan objek kunjungan
wisata oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, kampung-kampung tersebut
dijadikan acuan oleh pemerintah untuk dengan tata kelola yang mengacu pada pembangunan pariwisata
berkelanjutan; terutama untuk destinasi wisata/ekowisata (Yunas, 2007), maupun untuk pengembangan destinasi lainnya seperti rural tourism, cultural
tourism, dan heritage tourism.
Pembangunan pariwisata
berkelanjutan, seperti dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah
pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi,
juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Sedang menurut World Tourism Organization (WTO)
mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong
kesempatan untuk waktu yang akan datang (Haryanto, 2012: 4-5). Lebih lanjut,
pada awalnya konsep pariwisata berkelanjutan dalam bentuk area protection sebagai sarana untuk menjaga kelestarian dan
keberlanjutan misalnya Taman Nasional. Namun demikian seiring dengan
perkembangan teori, salah satu bentuk produk pariwisata sebagai turunan dari
konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep ekowisata. Dimana fokus utama
ekowisata ini adalah gabungan berbagai kepentingan yang muncul dari kepedulian
terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kelestarian alam dan budaya
juga dikedepankan (Dirawan, 2008 dalam Haryanto, 2012: 5-6).
Ekowisata adalah sebagian
dari sustainable tourism. Sustainable tourism adalah sektor
ekonomi yang lebih luas dari ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung
kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business travel). Ekowisata berpijak pada wisata pedesaan, wisata
alam dan wisata budaya (Nugroho, 2011: 15).
(sumber:
Wood, 2002 dalam Nugroho, 2011 dengan perubahan)
Gambar Sustainable Tourism dan Ekowisata
Dalam hal destinasi ekowisata, kampung-kampung
tradisional adat Sunda sangat tepat; karena berada di ekoregion Jawa, khususnya Jawa Barat yang secara vegetasi banyak didominasi oleh hutan hujan tropis dataran rendah (lowland tropical rainforest) (Whitten,
1999) dan berdasarkan pembagian ekosistem hutan oleh van Stenis (1972)
diklasifikasikan berdasarkan ketinggian tempat termasuk pada Zona Colin yang
mencapai ketinggian antara 500—1000 meter di atas permukaan laut dan biasanya
didominasi vegetasi yang unik yakni
Rasamala (Altingia excelsa), Saninten
(Castanopsis javanica), Kiriung Anak
(C. accuminatissimia), dan Pasang (Quercus gemelliflora).
Bebarapa
kampung-kampung tradisional adat Sunda di antaranya adalah Kampung Baduy Desa
Ciboleger, Banten Selatan; Kampung Kasepuhan (Ciptagelar, Sirnaresmi, dan
lain-lain) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang masuk dalam
Kabupaten Sukabumi; Kampung Mahmud Desa Mekarrahayu, Margaasih, Bandung;
Kampung Cikondang Desa Lamajang, Pangalengan, Bandung; Kampung Kuta Desa
Karangpaningal, Tambaksari, Ciamis; Kampung Naga Desa Neglasari, Sawalu,
Tasikmalaya; Kampung Dukuh Desa Cijambe, Cikelet, Kabupaten Garut; Kampung Pulo
Desa Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut; Kampung Urug, Desa Kiarapandak,
Sukajaya, Bogor; Kampung Tonggoh Desa Cilaut, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten
Garut; Kampung Cigenclang Desa Cisampih, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang;
dan Kampung Palastra, Kecamatan Palastra, Kabupaten Majalengka.
Seiring
juga dengan makin menyusutnya hutan alam di Pulau Jawa, yang rata-rata
kerusakan setiap tahun adalah 1,3 juta ha (1,2%) hingga akhir tahun 1980-an,
tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta ha atau 7% dari luas total
Pulau Jawa (Hidayat, 2008:88). Maka modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat
adat diharapkan untuk menjaga agar tutupan lahan (land coverage) masih dapat terjaga, baik itu dalam bentuk wanatani
(agroforestry) maupun sebagai destinasi
wisata desa-desa konservasi yang berwawasan lingkungan, khususnya
kampung-kampung tradisional Sunda di Jawa Barat.
Dibandingkan
dengan daerah tujuan wisata di Pulau Jawa lainnya, ada beberapa alasan mengapa
kampung-kampung adat Sunda ini memiliki kelebihan. Diantaranya adalah: (1) Dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara kuantitas lebih banyak
memiliki objek dead monument, seperti
peninggalan purbakala (candi, megalitik, dan lain sebagainya) dibandingkan
dengan living monument, seperti
masyarakat tradisional; (2) Kampung-kampung yang tersebar di Jawa Barat secara
sosial-budaya memiliki banyak persamaan, seperti sistem nilai (value system) dalam konservasi hutan (leuweung); (3) Di Jawa Barat memiliki
karakteristik ekosistem hutan hujan dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang memiliki keanekaragam yang
tinggi (endemik: Owa Jawa/Hylobath moloch,
Elang Jawa/Spizaetus barthlesi, dan
lainnya). Serta karaktereristik sosial-kultural masyarakat yang berbeda dengan
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kampung dan kearifan tradisional
kampung Sunda
Kearifan
lingkungan binaan di pedesaan Sunda telah banyak diteliti dan tetapi belum banyak dimanfaatkan (revitalisasi).
Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini menunjuk pada pengertian kebudayaan,
etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial. Sunda, Tanah Sunda, Tatar Sunda, Pasundan, dan Tanah Pasundan
cenderung digunakan dalam rangka pengertian orang dan kebudayaan (Ekadjati,
1995: 14). Perkembangan masyarakat Jawa Barat yang berintikan kebudayaan Sunda
bertitik tolak dari corak kehidupan desa (yang terdiri dari beberapa kampung).
Kemudian, pada lingkungan-lingkungan masyarakat tertentu, terutama di
lingkungan pusat perdagangan, berkembang menuju kearah corak kehidupan kota.
Pada masyarakat desa di Sunda ditandai oleh kehidupan yang cenderung homogen
dan berputar sekitar kehidupan bertani yang dulunya berladang (Ekadjati, 1995:
109).
Menurut
Ekadjati (1995: 125-128) lebih lanjut, pembagian desa Sunda bisa dibagi menjadi
letak geografisnya (desa pegunungan, desa dataran rendah, dan desa pantai).
Berdasarkan mata pencahariannya (desa pertanian, desa nelayan, dan desa
kerajinan). Berdasarkan pengelompokan bangunannnya (desa linear, desa radial,
desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka). Penyebaran dan perluasan
kampung-kampung suatu desa memungkinkan terbentuknya dua macam pola desa
tersebar dan terkonsentrasi. Desa yang berpola tersebar ialah desa-desa yang
lokasi kampung-kampungnya tersebar di beberapa tempat yang terpisah oleh sawah,
kebun, sungai, jalan, bukit, lembah, atau hutan.
Adapun
desa yang berpolakan konsentrik ialah desa yang letak kampung-kampungnya
berpusat di satu lokasi tertentu biasanya mengelilingi bangunan-bangunan sarana
desa (balai desa, mesjid, sekolah, madrasah). Pada umumnya, desa dengan pola
terkonsentrasi luas wilayahnya lebih sempit dari pada desa dengan pola
tersebar. Pola kampung-kampung di dekat kawasan hutan biasanya terkait dengan
ekoreligi padi. Kawasan bukit atau gunung adalah suatu tempat yang mempunyai
arti yang sangat penting. Ada keterkaitan antara gunung dengan kepercayaan
bahwa arwah bersemayam di gunung tersebut. Kini gunung ataupun bukit memiliki
arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Gunung atau bukit dianggap memberikan
kehidupan, karena sebagian besar masyarakatnya bermata-pencaharian berladang
dan bertani (personifikasi Dewi Padi sebagai simbol kesuburan dan pelindung
pertanian). Oleh karena itu, bukit atau gunung yang masih memiliki tegakkan
pohon (misalnya dianggap oleh warga Kasepuhan sebagai sirah cai (kepala air) atau leuweung).
Pada
kampung-kampung di batasi oleh daerah yang sakral (leluhur) sebagai pelindung
kampung dan di kelilingi oleh sungai yang mengalir sebagai simbol kesuburan.
Orientasi kampung biasannya mengacu pada arah terbit-tenggelamnya matahari.
Selain itu adanya hubungan antara tata letak rumah dan lumbung (leuit) yang
memiliki arah hadap barat-timur (Wessing, 2003: 521-523).
Konsep
wilayah masyarakat Sunda berbentuk kampung dipengaruhi oleh konsep patempatan. Patempatan adalah konsep (norma) tentang tempat, sedangkan kampung
terikat dengan batas wilayah penduduk adat-istiadat (komunitas). Di pedesaan,
pola kampung masyarakat Sunda biasanya dipengaruhi oleh mata pencaharian.
Masyarakat Sunda umumnya memberikan penamaan pada kampung mereka berdasarkan
pada fenomena seperti ukuran kampung, letak kampung menurut arah angin, tinggi
rendah kontur, waktu pembentukan kampung, kedekatan dengan sungai, atau gunung
yang ada di sekitarnya. Berdasarkan perbedaan ukuran kampung, terdapat istilah
kampung gede untuk pemukiman besar, kampung untuk pemukiman sedang, dan kampung
leutik untuk pemukiman yang jumlah
rumahnya relatif sedikit (tetapi lebih besar dari babakan) (Salura, 2007:22). Tabel berikut menjelaskan hubungan
manusia Sunda dengan kompleks wadah dan tempat serta empat kategori wadah.
Tabel
Hubungan Manusia dengan Kompleks Wadah dan Tempat
Hubungan Urang Sunda
dengan Kehidupan
|
Aspek Bentuk
Arsitektural
|
|
Kompleks Wadah
|
Kompleks Konsep Tempat
|
|
Manusia dengan Tuhan
|
Wadah Ritual
|
Makam, Gunung
|
Manusia dengan Alam
|
Wadah Produksi-Reproduksi
|
Air, tanah
|
Manusia dengan Masyarakat
|
Wadah sosial
|
Kampung, Halaman
|
Manusia dengan Pribadi
|
Wadah sehari-hari
|
Imah, bumi
|
Sumber:
Salura, 2007: 25
Tabel Uraian Empat Kategori Wadah
Wadah
|
Uraian Wadah
|
Unsur wadah ritual
|
Imah, panggung, masjid, batu hideung, makam
|
Unsur wadah Produksi-Reproduksi
|
Kebon, huma, sawah, balong, leuit, saung, lisung, jemur
|
Unsur wadah sosial
|
Kontur, jalan setapak, batu turap, tegalan, buruan, lapangan, pagar
bambu, pohon, bale, pancuran
|
Unsur wadah sehari-hari
|
Goah, parako, tengah imah, golodog, bilik, bele
panggung, pasarean
|
Sumber: Salura, 2007: 25
Tabel
di atas memaparkan bahwa secara filosofis masyarakat Sunda telah menempatkan
mana yang dianggap sakral dan mana profan dalam tata-ruang baik
dalam skala mikro (satu bangunan atau imah)
maupun makro (satu atau beberapa kampung dalam satu kesatuan adat). Pada
masyarakat kampung, umumnya mereka memiliki tanah sebagai sumber kehidupan.
Hampir seluruh masyarakat hidup dari bertani. Maka, luasan hutan dan
ketersediaan sumber air sangat menentukan kegiatan bertani.
Beberapa
contoh kearifan masyarakat Sunda di antaranya Orang Baduy di Banten meyakini
bahwa daerah Baduy merupakan pancer bumi atau pusat dunia atau inti
bumi. Di sinilah tempat asal mula alam semesta dan
manusia. Tepatnya di arah selatan ke arah Gunung Pamuntuan, Pegunungan Kendeng
yang masih merupakan kawasan hutan belantara. Kawasan Baduy dibagi menjadi
kawasan Baduy tangtu (Baduy Dalam) yang terletak di sebelah selatan dan Baduy
panamping (Baduy Luar) berada di sebelah utaranya (Permana, 2006). Orang
Baduy yang menganut tradisi Sunda Wiwitan sangat tahu betul dalam hal
konservasi sumberdaya alamnya, dengan membagi kawasan sesuai fungsinya, seperti
leuweung (hutan)
Sodikin (2006) menyatakan bahwa masyarakat Baduy Dalam
yang terletak di Banten Selatan masih memegang tradisi dalam pemanfaatan
pelestarian lingkungan. Hal tersebut didasarkan pada aturan hukum adat (karuhun)
dengan pemimpin Kepala Adat Baduy (puun). Masyarakat hukum adat Baduy
yang mendiami tanah atas hak ulayat seluas 5.101,85 hektar merupakan wilayah
adat yang sudah menyatu sejak dahulu kala sehingga pola kehidupan mereka
menyatu dengan lingkungan alam sekitarnya. Penebangan pohon, memotong, dan mencabut
tanaman semuanya dilakukan berdasarkan hukun adat.
Zaimah (2007) yang meneiti Kampung Kuta di Ciamis,
menitikberatkan pada wisata budaya sebagai faktor yang mempengaruhi nilai
kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan Kampung Kuta terlihat dari kepatuhan
dan ketaatan masyarakatnya dalam menjalankan tradisi leluhur, yaitu menjaga dan
melestarikan hutan adat dan mata air, budidaya tanaman di kebun dan pekarangan
rumah, pelarangan menggali tanah untuk pembuatan sumur dan penguburan jenazah,
aturan pembuatan rumah panggung (tidak boleh rumah batu), dan meneruskan
tradisi gotong royong. Kearifan lingkungan masyarakat Kuta yang didasarkan
kepatuhan pada tradisi leluhur. Kepercayaan pada kekuatan gaib dan ketakutan
pada sangsi yang telah ditetapkan menjadi aturanaturan adat.
Kampung Adat Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat
beserta kampung-kampung pengikut adat Kasepuhan, berada di lingkungan sekitar kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun. Ekosistem pada daerah Gunung Halimun Selatan
(Kabupaten Sukabumi) relatif subur sehingga masyarakat Kasepuhan telah bertahan
selama 600 tahun dan menganut adat istiadat “Kesatuan Banten Kidul”
serta tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten Selatan. Aspek kelestarian
lingkungan pada masyarakat dan budaya Kasepuhan meliputi cara pertanian padi
tradisional, dan praktek tata guna hutan (Adimihardja, 2001; Nugraheni dan
Winata, 2002).
Kelestarian sumber daya alam dapat dipertahankan menjadi
kunci keberlanjutan (sustainability). Daya adaptasi kampung-kampung
Sunda tersebut berupa cara masyarakat adat mampu bertahan atau tidak dalam
kelestarian lingkungannya. Secara sepintas masyarakat kampung masih homogen
dalam memenuhi kebutuhan primernya, tetapi pengaruh dari luar menyebabkan
mereka menjalankan usaha-usaha sampingan ke arah kebutuhan sekunder, selain
bertani dan bercocok tanam dalam pemanfaatan hutan sebagai kebun talun (agroforestry).
Filosofi
Sunda menyatakan bahwa lingkungan alam akan memberikan manfaat yang maksimal
kepada manusia, apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan
baik dan hanya dipergunakan secukupnya (Warnean, 1988:407—412). Nah, kira-kira begitulah
hubungan atau tatanan makrokosmos dan mikrokosmos masyarakat Sunda dengan lingkungannya. Kita bisa menggali
kearifan tradisional-nya untuk masa depan kita yang lebih baik.
Leweung ruksak, manungsa balangsak
(Hutan rusak, manusia sengsara)
Daftar bacaan
Adimihardja, K., 2001. “Kearifan Lokal Komunitas Adat Mengelola Sumber
Daya Agraria: 75—85,” Jurnal Analisis Sosial. Akatiga, Bandung.
Ekadjati, E.S., 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya.
Haryanto, J. T., 2012. Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan
Studi Kasus: Desa Wisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi
Doktor Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Hidayat, H., 2008.
Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan
Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Nugraheni, E.,
dan A. Winata, 2002. Kearifan Tradisional Masyarakat Kasepuhan Halimun
Ditinjau dari Aspek Kelestarian Lingkungan. Laporan
Penelitian Pusat Studi Indonesia Universitas Terbuka, Jakarta.
Nugroho,
I., 2011. Ekowisata dan Pembangunan
Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundardjito,
1995. “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya,” Pidato Upacara Pengukuhan Gurubesar
Madya Tetap Pada Fakultas Sastra UI, 7 Oktober 1995 Depok.
Salura, Purnama, 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda.
Ciptasastrasalura, Bandung.
Sodikin, 2006., Kearifan Lingkungan pada Masyarakat Baduy: Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pelestarian Fungsi Lingkungan dan Perubahannya Di Kabupaten Lebak,
Banten. Tesis Pascasarjana S2 Kajian Ilmu Lingkungan UI, Jakarta.
Sugandhy,
Aca, 2006. Pengelolaan Taman Nasional Dalam Pembangunan Berkelanjutan: Studi
Kasus Kawasan Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi
Lampung. Disertasi Doktor Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Purba, J., (ed.), 2002. Bunga Rampai Kearifan Lingkungan.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Yunaz, H., 2007.
Pola Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan: Studi Kasus Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Propinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi Ilmu
Lingkungan Universitas Indonesia
Warnean, S., 1988.
“Pandangan Hidup Orang Sunda: Satu Hasil Studi Awal,” dalam Masyarakat dan Kebudayaan: Kumpulan Karangan
untuk Prof. Dr. Selo Someardjan: 399—419. Djambatan, Jakarta.
Whitten, T., et
al., 1999. “Ekologi Jawa dan Bali,” dalam
Ekologi Indonesia II. Prenhallindo, Jakarta.
Zaimah, 2007. Kearifan Lingkungan Masyarakat Kampung Kuta Bagi
Pelestarian SDA dan Lingkungan (Studi Kasus Desa Karangpanigal Kecamatan
Tambaksari, Ciamis). Tesis Pascasarjana S2 Kajian Ilmu Lingkungan UI, Jakarta
Rumah Tradisional Adat
Sunda di Desa Ciptagelar, Sukabumi dengan Lansekap
alamnya-nya
Gaya Arsitektur “Rumah
Tradisional” Sunda dengan Fungsi Wisata
[1] Penulis adalah
peminat tema heritage dan konservasi. Penulis bisa dihubungi di: sulistyo.ary26@gmail.com
Komentar
Posting Komentar