Langsung ke konten utama

Kawasan wisata

Kawasan Wisata: Masalah Penataan dan Kepariwisataan [1]


Oleh
Ary Sulistyo[2]


Penataan Kawasan Wisata

Indonesia memiliki beragam lansekap yang muncul karena keragaman dan karakter masyarakatnya. Ada lansekap budaya (cultural lanscape). Lansekap Budaya---suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lansekap sebagai akibat suatu pola budaya tertentu (kawasan pecinan, kauman, kolonial, kumuh, elit, kampus, dan sebagainya). Lansekap sejarah (historical lanscape)----suatu kawasan geografis yang merupakan setting suatu peristiwa (tata perkebunan, lubang buaya, candi borobudur, dll). Selain itu juga ada Lansekap alam (natural lanscape)---suatu kawasan geomorfologis dari berbagai rupabumi (lembah, sungai, danau, gunung, dan sebagainya). Lansekap-lansekap tersebut banyak yang mengalami kerusakan dan ancaman kerusakan.

Tidak semua lansekap (alam, sejarah, dan budaya) memiliki keunikan yang dapat diajukan untuk menjadi world heritage. Tetapi ada yang memiliki keunikan tersendiri walaupun tidak masuk dalam kategori cagar tingkat nasional. Masyarakat Yogya sangat bangga dengan Tugu Yogya yang berada di persimpangan Jl. Malioboro. Dulu mungkin orang bangga tinggal di Jakarta (terutama daerah Pancoran-sekarang); sadar akan keberadaan Patung Dirgantara Pancoran. Walau hanya sekedar landmark, tetapi ada sense of belonging. Begitu juga di Hutan UI depok yang merupakan area konservasi air atau Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan yang merupakan kawasan berkarakter masyarakat tradisional Betawi. Secara tidak sadar kita butuh akan monumen sejarah atau public space dengan karakter wisata tersebut sebagai bagian dari jati diri dan memiliki nilai tidak langsung (non direct value) seperti estetika.


Tugu Kota Purwokerto sebagai landmark kota dan memori kolektif masyarakat Purwokerto akan makna kemerdekaan 

Pemahaman ekologis dalam kegiatan pelestarian (conservation) juga diperlukan. Peranan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) sangat penting sekali. Dalam kasus Kota Bekasi dalam RTRW 2009—2030 terlihat hanya beberapa situs makam Islam yang masuk dalam area wisata sedangkan situ/danau/waduk yang tidak dianggap memiliki nilai wisata. Padahal justru ada non direct value-nya dengan penekanan pada aspek perlindungan terlebih dahulu ini menjadi penting. Bekasi tidak memprioritaskan pariwisata sebagai asset devisa daerah, sehingga tupoksi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan daerah tidak berperan banyak (mungkin hanya penyelenggaraan Abang-None saja). Lebih-lebih di daerah yang sulit di jangkau, peranan dinas kebudayaan dan pariwisata kadang-kadang digabung dengan dinas pendidikan, telekomunikasi, dan informasi. Sungguh ironis, padahal potensi pariwisata tidak melulu objek-objek besar. Kegiatan seni, sastra, dan bahasa ataupun pertunjukan lainya merupakan bentuk budaya intangible[3]. Daerah Banyumas (Jawa Tengah) mungkin tidak “semeriah” Yogyakarta atau Solo, tetapi punya keunikan dalam seni tari Ronggeng[4]nya dan karakter khas dari kuliner soto seperti juga tempat-tempat lain di Indonesia yang memiliki makanan khas berupa soto (dalam bahasa setempat di kenal sebagai Sroto).

Peran yang tumpul juga diperlihatkan oleh dinas dan UPT daerah dikarenakan dana dan sumberdaya. Potensi mangrove di kawasan pesisir Cilacap (Segara Anakan) hampir dibabat habis untuk kayu bakar dan tambak pada tahun 2004-an. Tetapi, setelah adanya bencana, abrasi mulai dirasakan warga yang tinggal di pesisir. Pendampingan dari dinas kehutanan setempat dan universitas Jendral Soedirman sangat baik untuk upaya konservasi. Penanaman kembali pesisir adalah langkah tetap karena kesadaran dan sense of belonging warga tadi. Banjir yang melanda kawasan Jakarta semakin diperparah juga oleh makin langkanya kawasan terbuka, oleh karena itu kawasan wisata dapat dijadikan salah satu solusi. Ini tergantung dari PEMDA dan apresiasi masyarakat pula. Situ-situ yang berada di daerah Cibubur telah lama diupayakan sebagai daerah resapan air oleh sebabnya dipagari dan aksesnya dibatasi.  Tetapi masyarakat harusnya dilibatkan dalam pengelolaan dan perlindungan situ-situ tersebut. Karena walau bagaimana pun masyarakat memiliki kearifan lokal[5].

Problem yang ditimbulkan dalam aspek pelestarian tidak hanya up-bottom dengan perangkat masterplan, tetapi bagaimana menerapkan dalam aspek praktisnya. Kendala yang banyak dialami berupa ketidaksesuaian dengan rencana kerja dan pelaksanaanya. Beberapa situ di Jakarta dihancurkan demi pembangunan pemukiman. Pada tahun 80an sebelumnya telah ada upaya untuk memanfaatkan dan melindunginya. Perlu pula di cari aspek toponimi suatu daerah yang memiliki keunikan untuk dapat diajukan sebagai objek kunjungan yang menarik. Misalnya saja, daerah koningpleins sekarang berubah menjadi kawasan Lapangan Banteng (tapi kini patung JP Coen telah tiada). Dulu daerah ini adalah daerah pusat dari Nieuw Batavia dan Weltevreden (Gambir) pada awal abad 20 yang pemukiman elitnya berada di kawasan Menteng[6] (sekarang). Semoga kita lebih memahami permasalah yang bottom-up. Lansekapis dapat pula melihat bahwa perencanaan kawasan lebih memperhatikan ‘fungsi’ terutama kawasan lindung atau bukan selain memperhatikan pula “struktur”-nya (apakah sesuai dengan pemukiman, infrastruktur, dan sarana dan prasarana yang ada).

Di Indonesia telah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pelesatarian. Warisan budaya diatur dalam UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya, dan warisan alam di atur dalam Keppres No 32/1990 tentang kawasan lindung[7] (alam) dan UU no 26/2007 tentang penataan ruang. Pada prinsipnya di tekankan struktur dan pola ruang (Djakapermana, 2010: 37). Struktur lebih kepada susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana. Sedangkan pola ruang lebih kepada fungsi, apakah fungsi lindung atau budidaya[8]. Berdasarkan undang-undang tersebut, kawasan konservasi baik itu natural maupun cultural lanscape wajib dilindungi karena memiliki pola ruang yang spesifik dan khas.

Sejalan dengan semangat perlindungan dan pelestarian, penghancuran oleh faktor manusia juga masih berjalan. Pada kawasan peninggalan kawasan purbakala misalnya, Akhir-akhir ini pembangunan untuk kawasan industri (batubara) dan pemukiman di kawasan sekitar situs Muara Jambi dapat mengancam kelestarian situs peninggalan Budha abad 7—8 M, terutama kompleks percandiannya dan tentu saja lansekap aslinya. Upaya-upaya konservasi (budaya) tidak selalu berjalan dengan mulus. Begitu banyaknya bangunan-bangunan  bahkan situs-situs bersejarah dengan berbagai peninggalan-peninggalan unik telah hancur[9]. Jika anda ke kota Solo, mungkin tidak dapat menemui lagi situs Kartosuro[10] karena terancam oleh pengembangan pemukiman karena tanahnya dikapling-kapling, dan tentu terganggu oleh pengembangan pusat ekonomi Sukoharjo, jalan tol Solo, jalan lingkar selatan Surakarta serta pengembangan bandara Adi Sumarno.

AMDAL (analisis dampak lingkungan) agaknya menjadi pegangan dalam segala aktivitas pembangunan yang tentunya memiliki dampak dan resiko. Atau setidaknya perlu upaya untuk dapat diketahui rona awal (environmental setting-nya) suatu daerah yang akan dibangun. Apakah ada potensi wisata atau tidak, jadi jangan langsung dibangun. Karena terbatasanya  data (kualitas dan kuantititas) maka perlu preserved by record  bagi indikasi awal locus atau dugaan situs purbakala, sebagai langkah awal yang cepat dan berakurat tinggi dalam merekam segala data yang terkena dampak dari pembangunan. Kegiatan penelitian harus bernafaskan dengan pelestarian juga sekaligus. 

Selain usaha-usaha konservasi lansekap alam, dan buatan (budaya dan sejarah), pengembangan dan pemanfaatan untuk pariwisata yang ramah lingkungan (green tourism). Kawasan alami dapat diperuntukan dan dikembangkan untuk tujuan ekowisata atau wisata minat khusus. Ekowisata adalah perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam[11].  Di sini ditekankan pelestarian alam agar tidak rusak terlebih dahulu.

Dulu, penekanan lebih diarahkan kepada mass tourism, yang berarti bahwa makin banyak masa (turis) makin banyak pemasukan. Tetapi sebagai akibatnya banyak lansekap alami mengalami kerusakan. Taman nasional Bunaken di Sulawesi Utara terancam terumbu karangnya (coral reef) dan ikan-nya akibat begitu banyak orang menyelam (diving dan snorkling). Pembatasan pengunjung juga dilakukan pada kawasan Borobudur pada hari-hari tertentu, seperti pada hari minggu/hari-hari tertentu diadakan pertunjukan sendra tari di pelataran candi ataupun pembatasan pengunjung menaiki puncak candi. Hal ini dilakukan untuk usaha pencegahan dari kerusakan dan vandalisme (preventif). Selain itu juga dilakukan usaha-usaha kuratif secara berkala pada waktu-waktu tertentu, semisal pembersihan batu dari lumut dan jamur.

Pada kawasan lansekap kota-kota yang memiliki bangunan-bangunan bersejarah misalnya Kota Tua Jakarta atau Kota Bandung[12], upaya diarahkan kepada revitalisasi (menghidupkan kembali) dengan melakukan insentif dan disinsentif. Pemilik yang melakukan pelestarian bangunan tua (yang tergolong cagar budaya) dapat diberikan insentif yang besarannya dapat ditentukan. Disinsentif dapat berupa menaikkan PBB atau retribusi atau tidak disediakan infrastruktur bagi pemilik yang merusak bangunan tua. Kawasan Braga (dan juga kawasan Pecinan, Jl. Oto Iskandardinata, dan Jl. ST.Timur di Bandung) sudah terkenal pada jaman dulu sebagai kawasan perdagangan pada awal abad ke 19 (Harastoeti, 2011: 46-7).

Ada hubungan lansekap dengan kepariwisataan. Cara pandang seorang lansekapis adalah bagaimana keberlanjutan (sustainable) dari sebuah taman/kawasan dalam mendukung pariwisata. Ini terlihat dari pola tata pantai di Kuta yang dimulai pada tahun 1930an. Prospek kepariwisataan yang ditawarkan Kuta membuat Belanda mendirikan biro kepariwisataan Vereeeging Toeristen Verkeer (VTV) dengan mulai mendirikan hotel-hotel di sana. Kini, Bali di jadikan kota pusaka karena keunikan budaya, alam, dan masyarakatnya ke tingkat dunia.

Dalam skala mikro, kita ambil contoh pelajaran dari tata kampung orang Baduy[13] di Kanekes, Banten telah berlangsung selama berabad-abad yang lalu. Modal sosial yang kuat berupa ajaran karuhun yang diwariskan turun-temurun membuat masyarakat Baduy masih menjaga utuh lansekap-lansekap leuweung, reuma, imah, dan lain-lain yang tentunya menjadi keunikan objek-objek wisata (dengan hampir dikunjungi 500 orang per bulannya).  Memang dalam penataan ruang wilayah, penetapan ‘taman’ (untuk wisata) juga berfungsi sebagai daerah resapan tetap harus memenuhi kriteria 30%. Di Jakarta, PEMDA hanya menguasai sekitar 14% kurang, selebihnya dikelola swasta[14].  Ironis. Perlu di sadari bahwa kawasan taman kota untuk rekreasi dan pelestarian makin lama makin tergusur oleh pembangunan.



Pola Perkampungan Tradisional Sebagai Sumber Inspirasi dalam Perencanaan Lansekap Berwawasan Lingkungan

Kebutuhan dasar taman dirasakan perlu segera dibuat. Makin banyak orang membangun mall tanpa dibangun infrastruktur pendukung seperti jalan. Maka, akan terjadi kemacetan = sehingga perlu dipikirkan tentang pembangunan wilayah secara kesisteman[15]. Pariwisata adalah bagian dari pengembangan wilayah secara kesisteman secara luas karena selain memberikan pemasukan bagi daerah juga harus berwawasan ekologis. Lansekapis juga harus berpikir dampak negatif dari lingkungan, baik global trend[16] maupun local trend[17]. Bahkan, kini “makam taman” yang terletak di San Diego Hills Memorial Park dan Funeral Homes yang terletak di Karawang, Jawa Barat begitu menarik untuk ditelusuri karena hampir Rp 30 juta bagi yang ingin dimakamkan di tempat itu. Kompleks tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung bagi pengunjung.[18]

Pemahaman lansekapis yang monolitik dalam kerangka ilmu arsitektur haruslah memahami gejala sosial dalam ruang. Maka, perlu perpaduan ilmu sosiologi dan antropologi dalam menelisik suatu konflik misalnya. Makam Mbah Priuk di Jakarta yang meletus pada tahun 2010 lalu. Lingkungan mesjid dan makam setidaknya harus dipahami sebagai satu kesatuan karena tidak terpisahkan dari konteks sejarah, seperti halnya kompleks makam di mesjid kampung Bandan, dan mesjid-mesjid kuno lainnya. Kedekatan emosional antara warga dengan makam jika tidak diperhatikan pada akhirnya memicu perselisihan karena digusur. Masyarakat menganggap ‘keramat’ pada kuburan atau kompleks makam (graveyard) terlebih lagi jika tokoh yang dimakamkan adalah penyebar agama dan pengikutnya.

Kosmologi meru masih digunakan dalam sebagian besar pemakaman Islam di Indonesia. Seperti berbagai macam kuburan Islam di Gunung Sembung (Cirebon), Imogiri (Yogyakarta), Astana Tinggi (Sumenep), dan lain sebaginya. Pemahaman tatanan ruang ‘sakral-profan’ dalam perencanaan kawasan wisata religi juga perlu mendapat perhatian dari lansekapis. Pemahaman secara holistik dapat diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan taman wisata secara berkelanjutan.

Kepariwisataan
Indonesia, kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri. Pengembangan pariwisata kini lebih kepada wisata berbasis komunitas (community based tourism). Ini berarti kegiatan wisata haruslah melibatkan masyarakat dimana wisata tersebut berkembang. Oleh karena itu, perlu dibekali pengetahuan lingkungan dan masyarakat setermpat. Pendapatan dari sektor pariwisata menempati urutan kedua yakni 5 miliar dolar, setelah migas sebanyak 12 miliar dolar dengan jumlah wisman yang berkunjung sebanyak 4 juta orang[19]. Kini dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah wajib berlomba-lomba untuk mempercantik diri untuk mencari sebanyak-banyaknyanya devisa melalui wisata.

Inventarisir kekayaan potensi pariwisata (khususnya wisata arkelogi/budaya dan wisata alam) dapat dicanangkan oleh setiap daerah demi pembangunan berkelanjutan yang berperspektif lingkungan. Selain menyerap 10 persen dari berbagai jenis pekerjaan seperti hotel, pemandu, restoran, dan pengrajin, pariwisata juga sangat berperan sebagai produk tanpa memerlukan post-harvest processing (mengolah bahan baku). Artinya kita hanya perlu merawat kekayaan kita (alam dan budaya) tanpa perlu melakukan kegiatan lain yang memakan banyak biaya.

Kawasan Dieng di Wonosobo, selain menawarkan wisata kompleks candi-candi, juga menawarkan wisata argoturisme dengan pertanian kentang (Solanum tuberosum) di sekitarnya. Namun, kondisi ini menjadi polemik ketika konflik kepentingan masih menghantui kawasan ini antara petani dan PEMDA setempat. Belum lagi pendirian Jagad Borobudur dengan isu akan dibangunnya mall, maka pariwisata berbasis komunitas (community based tourism) makin terlindas oleh kepentingan ekonomi. Belum lagi kekayaan budaya yang intangible (seni, tradisi lisan, dan lain sebagainya) pun makin tidak dilibatkan. Masyarakat sekitar Borobudur pastinya resisten terhadap pembangunan mall Jagad Borobudur, karena akan sangat merugikan jika jadi dibangun. Masyarakat sekitar sangat mengandalkan sovenir dan warung-warung.

Daerah tujuan wisata (DTW) memiliki lingkungan alam yang memerlukan pembinaan. Pembangunan infrastruktur dilakukan untuk mendukung pariwisata, seperti hotel, restoran, transportasi, sarana dan prasarana lainya. Lingkungan sosial-budaya masyarakat harus yang menjadi nilai tambah pariwisata. Pagelaran budaya atau pertunjukan tari merupakan menjadi objek daya tarik bagi DTW. Masyarakat sekitar dapat terlibat dalam kegiatan pariwisata baik sebagai penjual souvenir atau pemandu. Pembuatan abon ikan di Pelabuhan ratu, Sukabumi sangat bergantung pada modal sosial masyarakat sekitar. Nelayan (pria) mencari ikan sebagai bahan baku (raw materials) lalu ibu-ibu rumah tangga yang mengolah menjadi abon. Modal sosial pun butuh dukungan pemerintah dan peran teknologi pasca-panen yang tepat. Sehingga dapat berperan dalam keberhasilan.

Perencanaan pariwisata tidak hanya melulu melihat tata ruang secara produk fisik saja, tetapi melihat juga sebagai sebuah proses (ekonomi, politik, dan budaya)[20]. Proses perkembangan kota di Indonesia melalui beberapa tahap; perkembangan kota masa pra VOC dan masa kolonial, perkembangan kota masa kolonial di abad ke 20, kota dekade tahun 50an (kota baru dalam kota, kota satelit, kota baru mandiri, kota baru khusus)[21]. Sudah pastinya meninggalkan memori kolektif yang masih tersimpan dalam benak masyarakat. Pengembangan pariwisata khusus juga dapat dilakukan untuk itu. Seorang turis dari Belanda yang kakek buyutnya dulu adalah pegawai VOC dapat melacaknya melalui nisan-nisan di pemakaman belanda[22] yang kini ada di Museum Taman Prasasti, Tanah Abang.

Masyarakat di Kota Depok Lama, Jawa Barat juga tentunya masih terkenang akan leluhurnya adalah ‘anak angkat’ dari Cornelis Casteleen yang pada abad ke 18 adalah orang yang sangat kaya dan memiliki anak angkat dan gereja. Maka hingga kini ada istilah bule depok. Pada lansekap alami, setidaknya masyarakat mengenal ikan bilih[23] sebagai sumber protein karena dapat dijadikan makanan yang lezat jika bersantap makan nasi padang. Tetapi perlu juga diperhatikan kelestarian-nya agar tidak overfishing. Pariwisata sebagai proses, dapat dikatakan secara sederhana bahwa apa yang kita kerjakan atau ciptakan saat ini akan bernilai ‘wisata’ dimasa mendatang.  

Perancanaan pariwisata juga perlu memperhatikan mitigasi dan adaptasi bencana. Belum banyak studi dilakukan pada mitigasi bencana pada kawasan pusaka. Sudah ada yang di lakukan oleh dinas-dinas akhir-akhir ini, karena sudah pasti akan ada valuasi yang perlu dihitung. Penanganan pada kawasan pusaka yang dilakukan oleh dinas PU (tahun 2011) baru sebatas studi atau kajian pada kota-kota “pusaka” seperti Yogya, Palembang dan Bali dalam pengelolaan bencana. Keterlibatan lintas sektoral sangat diperlukan tidak hanya berat ke fisiknya saja. Perencanaan dan pelelolaan mesti beriringan, sama juga dengan penelitian dan pelestarian harus beriringan. Gunung Merapi yang meletus bulan Mei 2010 menyebabkan candi-candi di kompleks Prambanan tertutup abu akibat letusannya. Lalu bagaimana planning dalam pengelolaan bencana di kawasan wisata masih perlu diperdalam.

Pengelolaan wisata berbasis komunitas lainya ada jug dalam bentuk marine tourism. Indonesia memiliki potensi pariwisata dari laut yang cukup besar. Data yang dilangsir oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2007 tercatat sebanyak 5,5 juta wisatawan mancanegara yang datang dengan nilai belanja rata-rata 970 dolar AS per orang. Tahun 2008 menjadi 6,5 juta wisatawan dan nilai belanjanya meningkat menjadi 1178 dolar AS per orang[24]. Di Kabupaten Selayar di Taman Nasional Takabonerate, Sulawesi Selatan yang memiliki lansekap karang atol terbesar ke-3 di dunia. Perlu strategi dan manajemen tersendiri mulai dari aspek teknis hingga upaya pengendalian dampak sosial, ekonomi, dan budaya[25] dalam pengelolaannya.

Coastal landscape atau bentang alam pesisir di Indonesia sangat beragam, mulai dari pantai pasang surut hingga tebing-tebing formasi karang. Di daerah Kebumen, Jawa Tengah terkenal dengan nama karang bolong. Masyarakat sekitar sangat percaya pada kekuatan tahayul bahwa tempat tersebut mengandung unsur keramat (sacred places). Sehingga bagi para wisatawan minat khusus akan sangat tertarik untuk melihat ke arah wisata spiritual[26]. Jasa lingkungan dari suatu lansekap akan sangat berpengaruh pada kualitas dan kebelanjutan dari lansekap tersebut. Bahkan kini tidak hanya pesisir yang di tawarkan tetapi juga di tengah laut. Pengembangan marikultur[27] (bagian dari seawater based-aquaculture) juga dapat berperan dalam peningkatan pendapatan wisata bahari. Wisatawan sangat menikmati segala hasil laut baik ikan pelagis (ikan tuna) dan ikan demersal (ikan kerapu).

Kekayaan lingkungan dan budaya di Indonesia sangat kaya yang disertai dengan jumlah penduduk yang sangat besar, cocok dikembangkan pariwisata yang berbasis masyarakat. Kemiskinan, kekurangan dana, dan masalah klasik lainnya menjadi kendala untuk dapat memajukan pariwisata. Perlu diupayakan promosi secara berkelanjutan yang tentunya diikuti oleh pembangunan serta bagaimana pemeliharaan infrastruktur yang telah ada. Di sinilah peran semua pihak (stakeholders) dalam memajukan kawasan wisata.


Semoga.








[1] Makalah ini sudah dipublikasikan oleh Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) dan dapat di unduh di laman http://iplbi.or.id/2015/05/2554/
[2] Penulis adalah pemerhati urban heritage. Penulis bisa dihubungi di: sulistyo.ary26@gmail.com
[3] Sedyawati, Edi 2003 “Warisan Budaya Intangible yang ‘Tersisa’ dalam yang Tangible,”dalam Ceramah Ilmiah Arkeologi dalam rangka mengantar Purnabakti Prof. Dr. Edi Sedyawati, Depok 18 Desember 2003. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[4] Ronggeng Dukuh Paruk telah terkenal berkat novel dari Ahmad Tohari. Dalam novelnya menceritakan seorang penari di daerah Banyumas yang memiliki paras yang rupawan. Bagi siapa saja yang ingin tidur dengan sang penari setelah pertunjukan maka harus dengan persetujuan si dalang. Ini menyiratkan bahwa praktek prostitusi telah ada dan sangat kental dengan seni gerak.
[5] Tentang situ-situ di perkotaan silahkan baca:  Adhisa Putra, 2009. Etnohidrolik dalam Pelestarian Situ di Perkotaan. Disertasi Kajian Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UI.
[6] Tentang pemukiman di Menteng pada awal abad 20 silahkan baca: Zoraya, O., 2008. Pemukiman di Kawasan Menteng Pada Awal Abad 20: Suatu Kajian Arkeologi Perkotaan. Skripsi Jurusan Arkeologi FIB UI.
[7] Terdapat sekitar 15 kawasan lindung mulai dari hutan lindung hingga kawasan pantai hutan berbakau.
[8] Djakapermana, R.D., 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Jakarta: IPB Press.
[9] Untuk lebih lanjut tentang perusakan situs-situs yang memiliki tinggalan arkeologi dan pelestariannya, baca: Mundardjito, 1995. “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya”. Pidato Upacara Pengukuhan Gurubesar Madya Tetap Pada Fakultas Sastra UI, 7 Oktober 1995 Depok.
[10] Situs Kartosuro adalah situs pemukiman kota Islam, selain Plered, Kota Gede (Yogya) setelah Demak berkuasa dan digantikan oleh Mataram Islam sekitar abad 15—18 M.
[11] Departemen Kebudayaan dan Pariwisata-WWF Indonesia, 2009.“Prinsip dan Kriteria EkowisataBerbasis Masyarakat”,http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia_prinsip_dan_kriteria_ecotourism_jan_2009.pdf. diakses 31 Maret 2012 Pukul 09.50 WIB.
[12] Silahkan lebih lanjut baca: Harastoeti, 2011. 100 Bangunan Cagar Budaya Di Bandung. Bandung: CSS Publish
[13] Mengenai ekologi perladangan masyarakat Baduy, baca: Iskandar, J., 1992. Ekologi Perladangan Di Indonesia: Studi Kasus Dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
[14] Tentang ruang terbuka hijau (RTH) silahkan baca: Joga, N., dan I. Ismaun, 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[15] Mengenai pembangunan wilayah secara kesisteman, baca: Djakapermana, R.D., 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Jakarta: IPB Press.
[16] Global trend di sini dimaksud sebagai permasalahan lingkungan yang memiliki dampak global, seperti pemanasan global (global warming), kenaikan permukaan laut (sea level rises), dan menipisnya lapisan ozon (O3).
[17] Local trend dimaksudkan masalah lingkungan berdampak lokal yang memicu masalah global, seperti pembalakan hutan secara ilegal (illegal logging), kenaikan CO2 di kota-kota besar, dan lain sebagainya.
[18] Islafatun, N., 2011. “Geliat Makam di Ruang Kota,” dalam Ruang Kota. Erlangga A.M., et al., (ed.,) hlm. 105—144. Yogyakarta: Ekspresi Buku (Universitas Negeri Yogyakarta).
[19] Selengkapnya lihat artikel Renald Kasali dalam harian surat kabar kompas edisi 24 Agustus 2004, “Jangan Abaikan Pariwisata”.
[20] Zahnd, M., 2006. Perencanaan Kota Secara Terpadu: Teori Perencanaan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius dan Soegijapranata University Press.
[21] Budihardjo, E., dan Djoko, S., 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung: Alumni.
[22] Tentang nisan-nisan makam Belanda di Batavia, silahkan baca Suratminto, L., 2008. Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
[23] Ikan dengan nama latin Mystacoleucus padangensis, anggota genus: Cyprinoidea, sejenis ikan mas air tawar yang banyak hidup di danau Maninjau, Singkarak, Sumatera barat.
[24] Burhanudin, A.I., 2011. The Sleeping Giant: Potensi dan Permasalahan Kelautan. Surabaya: Brilian Internasional.
[25] Burhanudin, ibid., hlm. 125.
[26] Istilah wisata spiritual atau religi atau dikenal dengan nama ‘metatourism’ tidak identik dengan wisata ziarah. Di Indonesia, wisata religi lebih kepada kunjungan-kunjungan secara fisik saja terhadap benda2 atau objek yang di anggap memiliki nilai sakral. Pada wisata ziarah para wisatawan lebih menghayati dan ikut beraktivitas, sebagai contoh wisata religi atau ziarah ke makam-makam wali.
[27] Tentang marikultur silahkan baca: Kordi, K2011. Marikultur: Prinsip dan Praktik Budi Daya Laut. Yogyakarta: Lily Publisher.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y