Langsung ke konten utama

Cerita megalitik

Sebuah Cerita Tentang Megalitik


Oleh:
Ary Sulistyo


The past was alive. It was not archaeological manifestation which specialist scholars could study and argue about. It was something real which everyone could understand or try to understand, something which was the beginning of their own cultural past… (Glyn Danniel 1963)


Kata-kata tersebut diambil dari Glyn Danniel; seorang arkeolog berkebangsaan Inggris dalam buku The Hungry Archaeologist in France.  Salah satu artikelnya berjudul The Prehistoric Chamber Tombs of France, ditulisnya pada tahun 1934, ketika ia berada di Desa Carnac, Daerah Morbihan, di selatan pantai Britanny, Perancis. Desa tersebut dikelilingi beribu monumen megalitik seperti menhir dan dolmen.  Di barat-laut desa tersebut, terdapat monolit dari batu granit berjumlah 1100 buah. Misteri desa ini dihubungkan dengan Druidisme[1].
Di India, pembangunan megalitik diketahui mulai pada masa awal masehi di daratan tinggi Dekan. Tinggalan megalitik juga terdapat di Pulau Easter yang terletak di lautan Pasifik Selatan sejauh 3700 km dari pantai Chile, pulau seluas 117 km2 ini dimanakan oleh seorang navigator Belanda Jacob Roggeveen yang dikenal sebagai orang Eropa pertama yang pernah singgah tahun 1722, lalu pemerintah Chile mengklaim pulai ini tahun 1888. Pada wilayah pantai barat terdapat orang-orang asli (Polinesia) yang merumputkan sapi dan dombanya, dan menanam kentang, tembakau, tebu dan buah-buah tropis. Pulau ini telah didiami oleh orang-orang Polinesia pada tahun 400 M dan mereka mulai membangun patung-patung megalitik antara tahun 800-1600 M.
Ahus adalah semacam meja batu tempat didirikannya patung-patung megalitik, yang diketahui sebagai tempat kubur yang dihadapkan ke arah laut. Satu ahu dapat ditempati 4-6 patung megalitik. Ada salah satu ahu yang disebut Tongariki dapat menampung 15 patung megalitik. Lebih dari 880 patung dengan tinggi 3-12 M yang dipahat dari batu tuffa (sejenis batu vulkanik muda), dan mencapai berat batunya 27 ton.
Selain India, di Perancis Selatan, British Isles, dan Pulau Easter, persebaran monumen megalitik terdapat juga di Belgia, Spanyol, Portugal, Kepulauan di Mediterania Barat, Skandinavia, Afrika Utara, Crimea (daerah semenanjung tenggara Ukraina), Kaukasia (antara tenggara Eropa-Baratdaya Asia, daerah antara laut Hitam dan laut Kaspia, negara Georgia, Armenia, Azerbaijan), Timur Tengah, daratan tinggi Iran, dan Jepang. Begitu banyak dan megahnya peninggalan megalitik di dunia, sehingga ada istilah untuk menyebut kemegahan megalitik ‘la plus grande enigme de la prehistoire’ (teka-teki terbesar dalam prasejarah), termasuk terdapat di wilayah Indonesia. Sejak dahulu kala megalitik selalu berhubungan dengan memiliki kepada akan adanya yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Bangunan megalitik kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati (Soejono, 2003: 205). Hingga kini pun kemisterian megalitik ini masih menjadi banyak tanda tanya bagi para ahli, terutama di Indonesia.

Megalitik di Indonesia: Sebuah Retrospektif
Ada pendapat bahwa megalitik di Indonesia berasal dari kebudayaan orang-orang mesir yang memiliki kebiasaan membangun piramid (Perry, 1908: 8). Tetapi dari bukti arkeologi dan linguistik, menunjukan bahwa pada awal milenuim pertama sebelum Masehi telah terjadi hubungan, yang pertama antara Indonesia bagian Timurlaut dengan Filipina seperti terlihat pada gaya-gaya gerabah dan kubur tempayan. Lalu yang kedua hubungan Indonesia bagian Barat adalah adanya pemukiman awal di Malaya (Malaysia) yang telah dihuni oleh orang-orang bertutur Austronesia. Orang-orang Austronesia kemungkinan telah mendiami wilayah barat Indonesia pada 3000 tahun yang lalu diikuti oleh orang-orang Mongoloid pada Jaman Logam. Seiring dengan hal tersebut, monumen-monumen megalitik yang menyebar hingga Oceania telah dibawa oleh orang-orang Austronesia pada milenium pertama sebelum Masehi. Pendapat lain menyatakan bahwa megalitik yang dibawa oleh orang-orang Austronesia berasal dari Cina (Bellwood, 1978: 225—6).
Pada abad 18 hingga 20-an, para sarjana-sarjana Belanda mulai mempelajari tentang megalitik di Indonesia diantaranya Tombrink, H.R.van Heekeren, A.N.J. Th.a.Th.van Der Hoop, R.von Heine-Geldern dan lain-lain. Adapun sarjana Indonesia adalah R.P.Seojono, Teguh Asmar, Rumbi Mulia, Haris Sukendar dan lain-lain. Tinggalan megalitik di Indonesia tidak dapat terlepas dari wilayah Asia Tenggara hingga wilayah Oceania (van Heekeren, 1958: 44). Pada Jaman Logam Awal (kurang lebih 300 SM) diperkirakan sudah ada berbagai macam tradisi megalitik, dimana pada tradisi megalitik yang tertua berawal dari periode Neolitik dan dilain tempat pada saat ini masih berdiri yaitu di Assam, Burma (van Heekeren, 1955: 54—55). Megalitik tidak hanya terkait dengan batu-batu besar saja, tetapi juga dengan struktur-struktur batu kecil di beberapa tempat secara tipikal atau mungkin tanpa monumen batu besar (Asmar, 1975: 20), tetapi melakukan ritual yang mengarah pada pemujaan arwah leluhur juga merupakan latar pendirian megalitik.
Menurut teori difusi R.von Heine Geldern, tradisi megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik, bahwa ada penggolongan tradisi megalitik dibagi menjadi dua tradisi besar, yaitu Megalitik Tua yang berusia kurang lebih 2500—1500 SM dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira 1000 SM (Soejono, 2003: 206). Bentuk-bentuk megalitik diantaranya berupa tempat penguburan seperti dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba atau bejana batu, waruga, batukandang dan temugelang. Ada juga bentuk-bentuk lain sebagai pelengkap pemujaan terhadap nenek moyang seperti Menhir, Patung Nenek Moyang, Batu Saji, Batu Lesung atau Lumpang, Batu Dakon, Pelinggih Batu, Tembok Batu atau Jalanan Batu (Soejono, 1993: 211), Van der Hoop mengklasifikasikan beberapa jenis temuan megalitik menjadi: batu tegak (menhir), dolmen, lumpang batu, jalan-jalan batu (stone avenues), peti kubur batu (stone cist), arca (stone images), batu dakon dan punden berundak (van der Hoop, 1932: 66).
Fisiografi Indonesia yang terdiri banyak dataran tinggi atau perbukitan yang banyak menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup seperti kayu, rotan, karet, dan lain sebagainya. Bisa saja suatu masyarakat memutuskan untuk hidup di dataran tinggi karena faktor kedekatannya dengan sumber daya alam, salah satunya sumber daya batu. Oleh sebab itu, masyarakat membangun kebudayaan, yang salah satunya membangun sistem religi. Di dalam tradisi megalitik arah suatu benda megalitik sangat penting untuk diketahui. Hal ini mengingat arah hadap berkait erat dengan latar belakang megalitik itu sendiri. Haris Sukendar (1993) dalam disertasinya “Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan” menyatakan bahwa posisi benda megalitik biasanya diarahkan ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh masyarakat megalitik. Tempat-tempat suci yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang antara lain gunung dan pulau seberang. Di samping itu ada juga yang posisinya ke arah dimana matahari terbit dan tenggelam. Hal ini berkaitan dengan pola pikir religius yang dianggap menentukan kehidupan mereka (Sukendar, 1993: 328—329).
Oleh karena itu, kesakralan tempat dimana benda megalitik berada menunjukan kearifan manusia dalam memelihara lingkungannya. Jika kita beranggapan bahwa laut adalah salah satu pemisah persatuan kita, maka pandanglah gunung sebagai pemersatu. Mengapa gunung? Gunung adalah suatu tempat bagi mempunyai arti yang sangat penting orang pendukung budaya megalitik khususnya. Menurut Quaritich Wales dalam bukunya “The Mountain of God”, gunung memiliki arti penting bagi masyarakat di Kepulauan Indonesia pada masa dulu kala. Ada keterkaitan antara dewa gunung dengan kepercayaan bahwa arwah bersemayam di gunung tesebut. Oleh karena itu, gunung memiliki arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Beberapa daerah di Nusantara seperti Sumatera Barat; Gunung Sago dianggap sebagai tempat arwah nenek moyang yang telah meninggal, sehingga bangunan menhir banyak terdapat di sana. Nenek moyang masyarakat Kuningan, Jawa Barat menganggap Gunung Ciremai sebagai tempat suci sehingga kubur-kubur peti batu terdapat dan diarah hadapkan ke sana. Hingga sekarang pemakaman raja-raja Yogyakarta dan Surakarta ditempatkan di gunung atau tempat yang tinggi (Haris Sukendar, 1997: 18—19).

Megalitik Purbalingga: Cerita yang Terlupakan
Tradisi dan tinggalan megalitik yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia terdapat seperti di Nias, Samosir (Sumatera Utara), Baduy (Jawa Barat), Bali, Toraja (Sulawesi Selatan), Lembah Bada (Sulawesi Tengah), Kodi (Sumba Barat), Sawu (Timor Timur), Rote (Pulau Kecil di Pantai Timor), dan Yamdena (Kepulauan Tanimbar di Lautan Arafuru) (Fox, 1998: 106—7). Tinggalan megalitik di Jawa Tengah saja pernah di temukan seperti di daerah Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Rembang, Pati, dan daerah tengah seperti Klaten, Wonogiri, Magelang, Karanganyar, Blora dan Gunung Kidul (Yogyakarta) (Prasetyo, 2006: 284) dan Purworejo (Sudiono, 2000) dan Purbalingga. Penelitian arkeologi bidang prasejarah di Purbalingga, Jawa Tengah pertama kali pada situs-situs perbengkelan Neolitik yang banyak ditemukan di daerah Ponjen dan Limbasari, Kecamatan Karanganyar yang diadakan sejak tahun 1976 berturut-turut pada tahun 1986 hingga tahun 1990 oleh Tim dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan Balar Yogya. Dalam penelitian yang ditulis oleh Nitihaminoto (1976 dan 1989) dan Atmosudiro (1980) terdapat indikasi tentang tinggalan megalitik di daerah Purbalingga, dan penelitian dari Balai Arkeologi Yogyakarta (tahun 1999-2000) juga menelusuri pola persebaran tinggalan megalitik di daerah tersebut.
Dalam penelitian penulis (tahun 2005-2008) menemukan situs-situs megalitik yang berada di daerah tenggara Gunung Slamet, Purbalingga, Jawa Tengah, dengan alasan karena dekat dengan Gunung sebagai tempat yang disakralkan sebagai tempat tertinggi. Topografi daerah ini merupakan daerah perbukitan (34.318,096 ha) pada bagian tenggara dan timur Gunung Slamet (3.428 m) atau tepatnya sebelah utara dan barat laut Kota Purbalingga. Bentang alam daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit-bukit dengan variasi kemiringan lereng hingga lebih dari 40% dengan ketinggian antara 100 hingga lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut. Di daerah ini terdapat 11 situs megalitik yang tersebar secara administratif di 4 kecamatan, (9 desa/kelurahan), 7 dukuh yaitu: Kecamatan Karangreja di Desa Karangjambu Dukuh Bandingan, di Kecamatan Karanganyar Desa Buara. Di Kecamatan Bobotsari Desa Dagan (Dukuh Pamujan dan Dukuh Glempang). Di Kecamatan Mrebet, terdapat di Desa Cipaku (Dukuh Bataputih dan Pangubonan), Campakoah, Pangalusan (Dukuh Brengkol), Onje, Serayularangan, dan Serayukaranganyar.
Dari lingkungan fisik yang di kaji, daerah ini terletak pada wilayah ketinggian antara 95—760 m di atas permukaan air laut dengan wilayah kelerengan antara 8—13% hingga lebih dari 56%, dengan sub daerah aliran sungai Klawing yang terdapat banyak anak sungai yang mengalir ke arah selatan menuju daerah aliran sungai Klawing dan Serayu. Wilayah batuan (litologi) di daerah penelitian ini adalah : (a) batuan kuarter muda (Qvs), berasal dari batuan gunung api Slamet tak terurai dan endapan vulkanik muda yang terdiri dari: breksi, lava, lapili, dan tufa dengan kelulusannya sedang sampai tinggi, (b) fasis sedimentasi Miosen (Tmph) atau formasi Halang, yang terdiri dari batupasir tufaan, batupasir, konglomerat, tufa breksi dan lempung dengan kelulusan rendah dan (c) fasis alluvium vulkanik (Qls), yang terbentuk dari endapan lahar Gunung Slamet tua, terdiri dari bahan-bahan tak mengeras yang mengandung bongkahbongkah batuan gunung api bersusun andesit sampai basalt. Kelulusan rendah sampai tinggi bergaris tengah 10—50 cm. Lalu morfologi daerah ini berupa (a) Dataran (dt) menempati bagian tengah dan selatan wilayah kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 40%,(b) Perbukitan bergelombang (pgl), dan (c) Pegunungan (Pg) menempati bagian barat, utara dan timurlaut wilayah Kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 25%.
Penelitian ini menggunakan teknik survei permukaan (site surface survey) yang memfokuskan pada tinggalan-tinggalan megalitik yang masih in situ beserta jenis dan karakteristinya. Survei permukaan dipusatkan pada situs-situs tempat situs berada dengan data lokasi yang diperoleh dari catatan administratif (nama dukuh, desa/kelurahan, dan kecamatan) maupun secara astronomis (koordinat garis lintang dan garis bujur) dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) sebagai dasar pengeplotingan (plotting) pada peta-peta lingkungan fisik mencakup peta ketinggian, peta kelerengan, peta geologi, peta daerah aliran sungai, dan peta bentuk medan untuk penafsiran keterkaitan lingkungan fisik dengan tinggalan megalitik, beserta jenis dan karakteristik situs.
Hasil penelitian menunjukan bahwa situs-situs megalitik di daerah tenggara Gunung Slamet atau barat laut Purbalingga adalah situs-situs dengan jarak ke sumber air (sungai atau mata air) kurang dari 100 m (7 situs), ketinggian 100-500 m (9 situs), kelerengan 15-25% (6 situs), batuan kuarter muda (Qvs) (8 situs) dan bentuk medan perbukitan gelombang (Pgl) (7 situs). Situs-situs tersebut banyak memiliki tinggalan menhir, lumpang dan punden berundak, meja batu, pagar batu, jalan batu dan batu telur. Situs-situs megalitik di lereng tenggara Gunung Slamet menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan penguburan, situs pemujaan dan situs-situs dengan objek tunggal. Di daerah penelitian ini tidak ada jenis situs penguburan. Situs-situs yang menunjukan karakteristik pemujaan ini terdapat di situs Buara, Gerngenge, Brengkol, dan Serayukaranganyar. Situs-situs yang menunjukan ciri pemujaan dan penguburan terdapat di situs situs Bandingan dan situs Onje. Sedangkan situs-situs di daerah penelitian yang menunjukan karakteristik situs objek tunggal adalah situs Glempang, Pamujan, Serayularangan, Bataputih dan Pangubonan. Hasil penelitian ini menunjukkan keterkaitan antara situs dan lingkungan fisik setempat atau telah ada kearifan masyarakat masa lalu akan ketataruangan yang mencerminkan hubungan manusia dengan lingkungan setempatnya yang membentuk kebudayaannya.

Megalitik untuk Ilmu, Pariwisata dan Pembangunan
Pengrusakan situs arkeologi maupun pencurian benda-benda arkeologi disebabkan masyarakat sekitar situs belum dapat mengetahui untuk apa dan bagaimana memanfaatkannya. Seperti juga peninggalan megalitik di Purbalingga, Jawa Tengah banyak terjadi kerusakan karena faktor alam (lumut, jamur dan keaus-an, dan lain-lain) dan faktor manusia seperti vandalisme (coret-coret), atau pemecahan batu-batu (dikenclingi-istilah lokal yang berarti dipecah-pecahkan) untuk bahan baku bangunan. Awalnya pemerintah kolonial Belanda telah sadar akan hal tersebut. Dengan dibuatnya undang-undang untuk melindungi benda-benda tersebut melalui Monumenten Ordonantie 1931, kini bermetaforsis menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan kini Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 seolah makin banyak pengrusakan yang terjadi. Banyak situs-situs yang tinggal nama dan bahkan mungkin ada daerah tidak tahu akan sejarahnya. Seiring pengrusakan, penghancuran, dan pencurian benda purba tersebut yang makin marak, segera diperbaiki dari segi pendidikan dan pariwisata.
Devisa dari sektor pariwisata (5 milliar dolar) menempati urutan ke-2 setelah migas (12 miliiar dolar). Setiap daerah yang memiliki tinggalan purbakala sangat menarik untuk digarap serius. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pensosialisasian benda purba juga perlu ditingkatkan baik atau paling tidak penyebarluasan berita-berita temuan kepurbakalaan, khususnya megalitik di tingkat lokal. Hal ini mengingat pentingnya komunikasi dari berbagai pihak (arkeolog, pemda, LSM budaya, mahasiswa, pelajar dan lain sebagainya), agar dapat ditindak lanjuti secara terpadu dan intergratif. Baik melalui penelitian, pelestarian, dan kepariwisataan daerah. Termasuk kawasan Purbalingga dan sekitarnya yang memiliki potensi wisata alam dan budaya.
          Lahirnya otonomi daerah dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberi kewenangan pemerintahan daerah secara mutlak. Kewenangan yang berlebihan tersebut, telah menimbulkan permasalahan-permasalahan pembangunan termasuk lingkungan hidup. Masyarakat lokal atau pedesaan dengan lingkungannya dihadapkan dampak negatif pembangunan. Ancaman pembangunan fisik menyebabkan degradasi lingkungan dan budaya. Seperti, kerusakan hutan, pencemaran sumber daya air, dan otomatis makin melunturnya nilai-nilai tradisi. Sebagai contoh, pembangunan pariwisata kawasan[2] disatu sisi telah meningkatkan perekonomian masyarakat, tetapi berakibat pada kerusakan lingkungan, baik fisik seperti pencemaran dan kerusakan hutan maupun, non fisik seperti vandalisme (Soemarwoto, 2004: 309—329).
Gagasan “pembangunan berkelanjutan” adalah jawaban dari pembangunan untuk memenuhi generasi kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam pembangunan berkelanjutan dikenal 3 dimensi pokok, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, budaya, dan politik, dan keberlanjutan lingkungan dan ruang lingkup keberlanjutan global (Salim 1997: 923—930).
Dalam pengembangannya kini, terdapat istilah pembangunan berperspektif lingkungan (environtment sustainable development) yang berarti perwujudan dari upaya dan budi daya manusia melalui penguasaan serta penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi. Pembangunan tersebut memerlukan dukungan sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi dengan disertai kepedulian sosial, ekonomi, dan budaya dan dengan wawasan yang ramah lingkungan (Soerjani, dkk, 2006: 142). Secara konseptual pelaksanaan pembangunan haruslah disertai pula pembangunan manusianya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah tidak meratanya pembangunan dan penurunan kualitas lingkungan hidup bagi manusia.
Terkait dengan pembangunan, prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan yang berpihak pada  lingkungan hendaknya disesuaikan dan diterapkan kondisi suatu daerah. Suatu daerah yang masih memegang adat-istiadat dan tradisi sering kali mendapat pengaruh kuat dari modernisasi. Seiring pengaruh tersebut, berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidupnya. Di beberapa daerah di Indonesia, pengaruh modernisasi telah mengubah pola kehidupan masyarakat pedesaan. Tetapi, terbukti bahwa kearifan lokal (local wisdom) yang dipertahankan menjadi penahan kerusakan lingkungan hidup. Hal ini perlu juga pada pemeliharaan kawasan bersejarah, sehingga kerusakan akibat faktor manusia dapat diminimalisir.
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di pedesaan dan masih memegang adat-istiadat daerah. Kearifan masyarakat pedesaan perlu diarahkan pada pemeliharaan situs-situs bersejarah. Kebanyakan situs-situs bersejarah berada dalam kawasan permukimannya. Pada masyarakat-masyarakat terpencil dan pedesaan, nilai kearifan lokal seharusnya disinergikan dengan pembangunan daerah. Nilai-nilai kearifan lingkungan masyarakat Indonesia merupakan suatu modal dasar bagi pemerataan pembangunan jika disesuaikan dengan konteks daerahnya. Setidaknya hal ini perlu dicoba di kawasan Purbalingga dan sekitarnya yang memiliki potensi pariwisata baik alam dan budaya.

Situs Punden Berundak di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, 
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah
Situs Menhir di Desa Dagan, Kecamatan Mrebet, 
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah



Daftar Pustaka

Asmar, T.,1975.  “Megalitik di Indonesia Ciri dan Problimnya,” dalam Buletin Yaperna 7: 19—28. Yayasan Perpustakaan Nasional Jakarta.

Atmosudiro, S.,1980. “Tinjauan Tentang Beberapa Tradisi Megalitik di Daerah Purbalingga (Jawa Tengah),” dalam PIA, Cibulan 21—25 Pebruari 1977: 98—107. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Bellwood, P.,1978. Man’s Conquest of the Pasific: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania. Auckland: William Collins Publishers.

Chipinndale, C.,2005. “Stonehenge Complete,” dalam Encarta Reference Library Premium. Microsoft Encarta.

Fox, J.F.,1998. “Megalithic Rituals,” dalam Indonesia Heritage: Religion and Ritual 9: 106—107. James J. Fox, et al. (ed.). Jakarta: Archipelago Press.

Hoop, A.N.J.Th.A.Th. Van Der., 1932. Megalithic Remains in South-Sumatra. Diterjemahkan oleh William Shirlaw. Netherland: W.J. Thieme & Cie, Zutphen.

Mundardjito, 1995. Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya. Pidato Upacara Pengukuhan Gurubesar Madya Tetap Pada Fakultas Sastra UI, 7 Oktober 1995 Depok.

Nitihaminoto, G., 1976. “Catatan Sementara tentang Temuan-temuan Prasejarah dari Kabupaten Purbalingga,” dalam Majalah Arkeologi Kalpataru 2: 7—17. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Perry, W.J., 1918.  “The Megalithic Culture of Indonesia,” dalam Publication of the University of Manchester No. CXVII. Manchester.

Prasetyo, B.,2006. “A Role of Megalithic Culture in Indonesian Cultural History,”dalam Archaeology: Indonesia Perspective R.P. Soejono’s Festschrift: 282—292. Simanjuntak, et al (ed.) Jakarta: Indonesia Institute of Science.

Priyatno H.S., dkk, 1999/2000. “Pola Sebaran Situs Megalitik di Lereng Gunung Slamet Bagian Timur Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah,” dalam Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta (tidak dipublikasikan)

Renfrew, C., 1981. “Introduction: The Megalith Builders of Western Europe,” dalam Antiquity and Man: Essays in Honour of Glyn Daniel: 72—81. Evan, et al (ed.). London: Thames and Hudson.

Salim, Emil, 1997. “Pembangunan Berkelanjutan,” Widjojo Nitisastro 70 Tahun: Teori, Kebijaksanaan, dan Pelaksanaan II: 921—931. Moh. Arsjad Anwar, Aris Ananta, dan Ari Kuncoro (peny.). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Soejono, R.P., 1993. “Jaman Prasejarah di Indonesia,” dalam Sejarah Nasional Indonesia I. M.D. Pusponegoro dan N. Notosusanto (ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

Soemarwoto, Otto, 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan (edisi kesepuluh).

Soerjani, Mohamad, Arief Yuwono, dan Dedi Fardiaz, 2006. Lingkungan Hidup: Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.

Sudiono, 2000. “Peninggalan Prasejarah di Kabupaten Purworejo,”dalam Kalpataru Majalah Arkeologi 14: 29—50. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sukendar, H., 1993. Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan. Disertasi S3 Program Pascasarjana UI.

Sukendar, H., 1997. Masyarakat Sumba dengan Budaya Megalitiknya. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Sulistyo, A., 2008. Situs-Situs Megalitik di Daerah Tenggara Gunung Slamet Purbalingga Jawa Tengah: Kajian Lingkungan Fisik dan Karakteristik Situs. Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Van Heekeren, H.R., 1955. Prehistoric Life in Indonesia. Jakarta.

Van Heekeren, H.R.,1958 “The Bronze-Iron Age of Indonesia,” VKI XXII. S’Gravenhage-Martinus Nijhoff. Heemstede.




Penulis bisa di email di sulistyo.ary26@gmail.com

[1] Druidisme adalah kepercayaan bangsa Celtic kuno yang berada di Gaul dan British Isles dari abad 2 SM hingga abad 2 SM. Ketika bangsa Romawi menyerbu daerah Britain (sekarang Inggris), ada daerah yang tidak terkena serangan Romawi dan masih menjalankan kepercayaan Druidisme  dan sempat bertahan sebelum masuknya agama Kristen dua atau tiga abad setelahnya. Druidisme percaya kepada keabadian jiwa (soul) bagi orang yang meninggal kemudian lahir kembali pada bayi yang baru lahir. Menurut keterangan Julius Ceasar ketika ia menyerbu daerah Britain, yang ditulis oleh Posidonius, seorang filusuf dan sejarahwan; mereka adalah keturunan dari Yang Agung. Orang-orang Druid juga percaya kepada astrologi, magic, dan kekuatan misterius dari tetumbuhan dan hewan, terutama mensakralkan pohon oak dan mistletoe atau sejenis tanaman parasit yang tumbuh di pohon oak, apel, dan pinus. Para arkeolog percaya bahwa orang-orang Driud menggunakan monumen-monumen batu (megalitik) sebagai kuil dengan altarnya (dolmen). Bahkan monumen prasejarah Stonehenge (3000-1000 SM) di daratan Salisbury, Salisbury Utara, Inggris pernah dijadikan kuil oleh mereka.
[2] Di sini pengertian pariwisata kawasan yang dimaksud adalah penetapan kawasan sebagai daerah tujuan wisata (DTW),  sperti misal penetapan desa budaya oleh pemerintah daerah terhadap suatu desa yang memiliki potensi budaya yang khas. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y