Sebuah Cerita Tentang Megalitik
Oleh:
Ary
Sulistyo
The past was alive. It was not
archaeological manifestation which specialist scholars could study and argue
about. It was something real which everyone could understand or try to
understand, something which was the beginning of their own cultural past… (Glyn Danniel 1963)
Kata-kata tersebut diambil dari Glyn
Danniel; seorang arkeolog berkebangsaan Inggris dalam buku The Hungry
Archaeologist in France. Salah satu
artikelnya berjudul The Prehistoric Chamber Tombs of France, ditulisnya
pada tahun 1934, ketika ia berada di Desa Carnac, Daerah Morbihan, di selatan
pantai Britanny, Perancis. Desa tersebut dikelilingi beribu monumen megalitik
seperti menhir dan dolmen. Di barat-laut desa tersebut,
terdapat monolit dari batu granit berjumlah 1100 buah. Misteri desa ini
dihubungkan dengan Druidisme[1].
Di India, pembangunan megalitik
diketahui mulai pada masa awal masehi di daratan tinggi Dekan. Tinggalan
megalitik juga terdapat di Pulau Easter yang terletak di lautan Pasifik Selatan
sejauh 3700 km dari pantai Chile, pulau seluas 117 km2 ini dimanakan oleh
seorang navigator Belanda Jacob Roggeveen yang dikenal sebagai orang
Eropa pertama yang pernah singgah tahun 1722, lalu pemerintah Chile mengklaim
pulai ini tahun 1888. Pada wilayah pantai barat terdapat orang-orang asli (Polinesia)
yang merumputkan sapi dan dombanya, dan menanam kentang, tembakau, tebu dan
buah-buah tropis. Pulau ini telah didiami oleh orang-orang Polinesia pada
tahun 400 M dan mereka mulai membangun patung-patung megalitik antara tahun
800-1600 M.
Ahus adalah
semacam meja batu tempat didirikannya patung-patung megalitik, yang diketahui
sebagai tempat kubur yang dihadapkan ke arah laut. Satu ahu dapat
ditempati 4-6 patung megalitik. Ada salah satu ahu yang disebut Tongariki
dapat menampung 15 patung megalitik. Lebih dari 880 patung dengan tinggi
3-12 M yang dipahat dari batu tuffa (sejenis batu vulkanik muda), dan mencapai
berat batunya 27 ton.
Selain India, di Perancis Selatan,
British Isles, dan Pulau Easter, persebaran monumen megalitik terdapat juga di
Belgia, Spanyol, Portugal, Kepulauan di Mediterania Barat, Skandinavia, Afrika
Utara, Crimea (daerah semenanjung tenggara Ukraina), Kaukasia (antara tenggara
Eropa-Baratdaya Asia, daerah antara laut Hitam dan laut Kaspia, negara Georgia,
Armenia, Azerbaijan), Timur Tengah, daratan tinggi Iran, dan Jepang. Begitu
banyak dan megahnya peninggalan megalitik di dunia, sehingga ada istilah untuk
menyebut kemegahan megalitik ‘la plus grande enigme de la prehistoire’ (teka-teki
terbesar dalam prasejarah), termasuk terdapat di wilayah Indonesia. Sejak
dahulu kala megalitik selalu berhubungan dengan memiliki kepada akan adanya
yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari
yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
Bangunan megalitik kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah dan
sekaligus menjadi lambang si mati (Soejono, 2003: 205). Hingga kini pun
kemisterian megalitik ini masih menjadi banyak tanda tanya bagi para ahli,
terutama di Indonesia.
Megalitik
di Indonesia: Sebuah Retrospektif
Ada pendapat bahwa megalitik di
Indonesia berasal dari kebudayaan orang-orang mesir yang memiliki kebiasaan
membangun piramid (Perry, 1908: 8). Tetapi dari bukti arkeologi dan linguistik,
menunjukan bahwa pada awal milenuim pertama sebelum Masehi telah terjadi
hubungan, yang pertama antara Indonesia bagian Timurlaut dengan Filipina
seperti terlihat pada gaya-gaya gerabah dan kubur tempayan. Lalu yang kedua hubungan
Indonesia bagian Barat adalah adanya pemukiman awal di Malaya (Malaysia) yang
telah dihuni oleh orang-orang bertutur Austronesia. Orang-orang Austronesia
kemungkinan telah mendiami wilayah barat Indonesia pada 3000 tahun yang
lalu diikuti oleh orang-orang Mongoloid pada Jaman Logam. Seiring dengan
hal tersebut, monumen-monumen megalitik yang menyebar hingga Oceania telah
dibawa oleh orang-orang Austronesia pada milenium pertama sebelum
Masehi. Pendapat lain menyatakan bahwa megalitik yang dibawa oleh orang-orang Austronesia
berasal dari Cina (Bellwood, 1978: 225—6).
Pada abad 18 hingga 20-an, para
sarjana-sarjana Belanda mulai mempelajari tentang megalitik di Indonesia
diantaranya Tombrink, H.R.van Heekeren, A.N.J. Th.a.Th.van Der Hoop, R.von
Heine-Geldern dan lain-lain. Adapun sarjana Indonesia adalah R.P.Seojono, Teguh
Asmar, Rumbi Mulia, Haris Sukendar dan lain-lain. Tinggalan megalitik di
Indonesia tidak dapat terlepas dari wilayah Asia Tenggara hingga wilayah
Oceania (van Heekeren, 1958: 44). Pada Jaman Logam Awal (kurang lebih 300 SM)
diperkirakan sudah ada berbagai macam tradisi megalitik, dimana pada tradisi
megalitik yang tertua berawal dari periode Neolitik dan dilain tempat pada saat
ini masih berdiri yaitu di Assam, Burma (van Heekeren, 1955: 54—55). Megalitik
tidak hanya terkait dengan batu-batu besar saja, tetapi juga dengan
struktur-struktur batu kecil di beberapa tempat secara tipikal atau mungkin
tanpa monumen batu besar (Asmar, 1975: 20), tetapi melakukan ritual yang
mengarah pada pemujaan arwah leluhur juga merupakan latar pendirian megalitik.
Menurut teori difusi R.von Heine
Geldern, tradisi megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik, bahwa ada penggolongan
tradisi megalitik dibagi menjadi dua tradisi besar, yaitu Megalitik Tua yang
berusia kurang lebih 2500—1500 SM dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira
1000 SM (Soejono, 2003: 206). Bentuk-bentuk megalitik diantaranya berupa tempat
penguburan seperti dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba
atau bejana batu, waruga, batukandang dan temugelang. Ada juga bentuk-bentuk
lain sebagai pelengkap pemujaan terhadap nenek moyang seperti Menhir, Patung
Nenek Moyang, Batu Saji, Batu Lesung atau Lumpang, Batu Dakon, Pelinggih Batu,
Tembok Batu atau Jalanan Batu (Soejono, 1993: 211), Van der Hoop
mengklasifikasikan beberapa jenis temuan megalitik menjadi: batu tegak
(menhir), dolmen, lumpang batu, jalan-jalan batu (stone avenues), peti
kubur batu (stone cist), arca (stone images), batu dakon dan
punden berundak (van der Hoop, 1932: 66).
Fisiografi Indonesia yang terdiri
banyak dataran tinggi atau perbukitan yang banyak menghasilkan barang-barang
kebutuhan hidup seperti kayu, rotan, karet, dan lain sebagainya. Bisa saja
suatu masyarakat memutuskan untuk hidup di dataran tinggi karena faktor
kedekatannya dengan sumber daya alam, salah satunya sumber daya batu. Oleh
sebab itu, masyarakat membangun kebudayaan, yang salah satunya membangun sistem
religi. Di dalam tradisi megalitik arah suatu benda megalitik sangat penting
untuk diketahui. Hal ini mengingat arah hadap berkait erat dengan latar
belakang megalitik itu sendiri. Haris Sukendar (1993) dalam disertasinya “Arca
Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan” menyatakan bahwa posisi
benda megalitik biasanya diarahkan ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh
masyarakat megalitik. Tempat-tempat suci yang dianggap sebagai tempat
bersemayamnya arwah nenek moyang antara lain gunung dan pulau seberang. Di
samping itu ada juga yang posisinya ke arah dimana matahari terbit dan
tenggelam. Hal ini berkaitan dengan pola pikir religius yang dianggap
menentukan kehidupan mereka (Sukendar, 1993: 328—329).
Oleh karena itu, kesakralan tempat
dimana benda megalitik berada menunjukan kearifan manusia dalam memelihara
lingkungannya. Jika kita beranggapan bahwa laut adalah salah satu pemisah
persatuan kita, maka pandanglah gunung sebagai pemersatu. Mengapa gunung?
Gunung adalah suatu tempat bagi mempunyai arti yang sangat penting orang
pendukung budaya megalitik khususnya. Menurut Quaritich Wales dalam bukunya “The
Mountain of God”, gunung memiliki arti penting bagi masyarakat di Kepulauan
Indonesia pada masa dulu kala. Ada keterkaitan antara dewa gunung dengan
kepercayaan bahwa arwah bersemayam di gunung tesebut. Oleh karena itu, gunung
memiliki arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Beberapa daerah di Nusantara
seperti Sumatera Barat; Gunung Sago dianggap sebagai tempat arwah nenek moyang
yang telah meninggal, sehingga bangunan menhir banyak terdapat di sana. Nenek
moyang masyarakat Kuningan, Jawa Barat menganggap Gunung Ciremai sebagai tempat
suci sehingga kubur-kubur peti batu terdapat dan diarah hadapkan ke sana.
Hingga sekarang pemakaman raja-raja Yogyakarta dan Surakarta ditempatkan di
gunung atau tempat yang tinggi (Haris Sukendar, 1997: 18—19).
Megalitik
Purbalingga: Cerita yang Terlupakan
Tradisi dan tinggalan megalitik yang
tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia terdapat seperti di Nias, Samosir
(Sumatera Utara), Baduy (Jawa Barat), Bali, Toraja (Sulawesi Selatan), Lembah
Bada (Sulawesi Tengah), Kodi (Sumba Barat), Sawu (Timor Timur), Rote (Pulau
Kecil di Pantai Timor), dan Yamdena (Kepulauan Tanimbar di Lautan Arafuru)
(Fox, 1998: 106—7). Tinggalan megalitik di Jawa Tengah saja pernah di temukan
seperti di daerah Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Rembang, Pati, dan
daerah tengah seperti Klaten, Wonogiri, Magelang, Karanganyar, Blora dan Gunung
Kidul (Yogyakarta) (Prasetyo, 2006: 284) dan Purworejo (Sudiono, 2000) dan
Purbalingga. Penelitian arkeologi bidang prasejarah di Purbalingga, Jawa Tengah
pertama kali pada situs-situs perbengkelan Neolitik yang banyak ditemukan di
daerah Ponjen dan Limbasari, Kecamatan Karanganyar yang diadakan sejak tahun
1976 berturut-turut pada tahun 1986 hingga tahun 1990 oleh Tim dari Jurusan
Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan Balar Yogya. Dalam
penelitian yang ditulis oleh Nitihaminoto (1976 dan 1989) dan Atmosudiro (1980)
terdapat indikasi tentang tinggalan megalitik di daerah Purbalingga, dan
penelitian dari Balai Arkeologi Yogyakarta (tahun 1999-2000) juga menelusuri
pola persebaran tinggalan megalitik di daerah tersebut.
Dalam penelitian penulis (tahun
2005-2008) menemukan situs-situs megalitik yang berada di daerah tenggara
Gunung Slamet, Purbalingga, Jawa Tengah, dengan alasan karena dekat dengan
Gunung sebagai tempat yang disakralkan sebagai tempat tertinggi. Topografi
daerah ini merupakan daerah perbukitan (34.318,096 ha) pada bagian tenggara dan
timur Gunung Slamet (3.428 m) atau tepatnya sebelah utara dan barat laut Kota
Purbalingga. Bentang alam daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang
berbukit-bukit dengan variasi kemiringan lereng hingga lebih dari 40% dengan
ketinggian antara 100 hingga lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut.
Di daerah ini terdapat 11 situs megalitik yang tersebar secara administratif di
4 kecamatan, (9 desa/kelurahan), 7 dukuh yaitu: Kecamatan Karangreja di Desa
Karangjambu Dukuh Bandingan, di Kecamatan Karanganyar Desa Buara. Di Kecamatan
Bobotsari Desa Dagan (Dukuh Pamujan dan Dukuh Glempang). Di Kecamatan Mrebet,
terdapat di Desa Cipaku (Dukuh Bataputih dan Pangubonan), Campakoah, Pangalusan
(Dukuh Brengkol), Onje, Serayularangan, dan Serayukaranganyar.
Dari lingkungan fisik yang di kaji,
daerah ini terletak pada wilayah ketinggian antara 95—760 m di atas permukaan
air laut dengan wilayah kelerengan antara 8—13% hingga lebih dari 56%, dengan
sub daerah aliran sungai Klawing yang terdapat banyak anak sungai yang mengalir
ke arah selatan menuju daerah aliran sungai Klawing dan Serayu. Wilayah batuan
(litologi) di daerah penelitian ini adalah : (a) batuan kuarter muda (Qvs),
berasal dari batuan gunung api Slamet tak terurai dan endapan vulkanik muda
yang terdiri dari: breksi, lava, lapili, dan tufa dengan kelulusannya sedang
sampai tinggi, (b) fasis sedimentasi Miosen (Tmph) atau formasi Halang, yang
terdiri dari batupasir tufaan, batupasir, konglomerat, tufa breksi dan lempung
dengan kelulusan rendah dan (c) fasis alluvium vulkanik (Qls), yang terbentuk
dari endapan lahar Gunung Slamet tua, terdiri dari bahan-bahan tak mengeras
yang mengandung bongkahbongkah batuan gunung api bersusun andesit sampai
basalt. Kelulusan rendah sampai tinggi bergaris tengah 10—50 cm. Lalu morfologi
daerah ini berupa (a) Dataran (dt) menempati bagian tengah dan selatan wilayah
kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 40%,(b) Perbukitan
bergelombang (pgl), dan (c) Pegunungan (Pg) menempati bagian barat, utara dan
timurlaut wilayah Kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 25%.
Penelitian ini menggunakan teknik
survei permukaan (site surface survey) yang memfokuskan pada
tinggalan-tinggalan megalitik yang masih in situ beserta jenis dan
karakteristinya. Survei permukaan dipusatkan pada situs-situs tempat situs
berada dengan data lokasi yang diperoleh dari catatan administratif (nama
dukuh, desa/kelurahan, dan kecamatan) maupun secara astronomis (koordinat garis
lintang dan garis bujur) dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning
System) sebagai dasar pengeplotingan (plotting) pada peta-peta
lingkungan fisik mencakup peta ketinggian, peta kelerengan, peta geologi, peta
daerah aliran sungai, dan peta bentuk medan untuk penafsiran keterkaitan
lingkungan fisik dengan tinggalan megalitik, beserta jenis dan karakteristik
situs.
Hasil penelitian menunjukan bahwa
situs-situs megalitik di daerah tenggara Gunung Slamet atau barat laut
Purbalingga adalah situs-situs dengan jarak ke sumber air (sungai atau mata
air) kurang dari 100 m (7 situs), ketinggian 100-500 m (9 situs), kelerengan
15-25% (6 situs), batuan kuarter muda (Qvs) (8 situs) dan bentuk medan
perbukitan gelombang (Pgl) (7 situs). Situs-situs tersebut banyak memiliki
tinggalan menhir, lumpang dan punden berundak, meja batu, pagar batu, jalan
batu dan batu telur. Situs-situs megalitik di lereng tenggara Gunung Slamet
menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan penguburan, situs
pemujaan dan situs-situs dengan objek tunggal. Di daerah penelitian ini tidak
ada jenis situs penguburan. Situs-situs yang menunjukan karakteristik pemujaan
ini terdapat di situs Buara, Gerngenge, Brengkol, dan Serayukaranganyar.
Situs-situs yang menunjukan ciri pemujaan dan penguburan terdapat
di situs situs Bandingan dan situs Onje. Sedangkan situs-situs di daerah
penelitian yang menunjukan karakteristik situs objek tunggal adalah situs
Glempang, Pamujan, Serayularangan, Bataputih dan Pangubonan. Hasil penelitian
ini menunjukkan keterkaitan antara situs dan lingkungan fisik setempat atau
telah ada kearifan masyarakat masa lalu akan ketataruangan yang mencerminkan
hubungan manusia dengan lingkungan setempatnya yang membentuk kebudayaannya.
Megalitik
untuk Ilmu, Pariwisata dan Pembangunan
Pengrusakan situs arkeologi maupun
pencurian benda-benda arkeologi disebabkan masyarakat sekitar situs belum dapat
mengetahui untuk apa dan bagaimana memanfaatkannya. Seperti juga peninggalan
megalitik di Purbalingga, Jawa Tengah banyak terjadi kerusakan karena faktor
alam (lumut, jamur dan keaus-an, dan lain-lain) dan faktor manusia seperti
vandalisme (coret-coret), atau pemecahan batu-batu (dikenclingi-istilah
lokal yang berarti dipecah-pecahkan) untuk bahan baku bangunan. Awalnya
pemerintah kolonial Belanda telah sadar akan hal tersebut. Dengan dibuatnya
undang-undang untuk melindungi benda-benda tersebut melalui Monumenten
Ordonantie 1931, kini bermetaforsis menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan kini Undang-Undang No. 10 Tahun 2011
seolah makin banyak pengrusakan yang terjadi. Banyak situs-situs yang tinggal
nama dan bahkan mungkin ada daerah tidak tahu akan sejarahnya. Seiring
pengrusakan, penghancuran, dan pencurian benda purba tersebut yang makin marak,
segera diperbaiki dari segi pendidikan dan pariwisata.
Devisa dari sektor pariwisata (5
milliar dolar) menempati urutan ke-2 setelah migas (12 miliiar dolar). Setiap
daerah yang memiliki tinggalan purbakala sangat menarik untuk digarap serius.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pensosialisasian benda purba juga
perlu ditingkatkan baik atau paling tidak penyebarluasan berita-berita temuan
kepurbakalaan, khususnya megalitik di tingkat lokal. Hal ini mengingat
pentingnya komunikasi dari berbagai pihak (arkeolog, pemda, LSM budaya,
mahasiswa, pelajar dan lain sebagainya), agar dapat ditindak lanjuti secara
terpadu dan intergratif. Baik melalui penelitian, pelestarian, dan kepariwisataan
daerah. Termasuk kawasan Purbalingga dan sekitarnya yang memiliki potensi
wisata alam dan budaya.
Lahirnya
otonomi daerah dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberi kewenangan
pemerintahan daerah secara mutlak. Kewenangan yang berlebihan tersebut, telah
menimbulkan permasalahan-permasalahan pembangunan termasuk lingkungan hidup.
Masyarakat lokal atau pedesaan dengan lingkungannya dihadapkan dampak negatif
pembangunan. Ancaman pembangunan fisik menyebabkan degradasi lingkungan dan
budaya. Seperti, kerusakan hutan, pencemaran sumber daya air, dan otomatis
makin melunturnya nilai-nilai tradisi. Sebagai contoh, pembangunan pariwisata
kawasan[2] disatu sisi telah meningkatkan
perekonomian masyarakat, tetapi berakibat pada kerusakan lingkungan, baik fisik
seperti pencemaran dan kerusakan hutan maupun, non fisik seperti vandalisme
(Soemarwoto, 2004: 309—329).
Gagasan “pembangunan
berkelanjutan” adalah jawaban dari pembangunan untuk memenuhi generasi
kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Dalam pembangunan berkelanjutan dikenal 3 dimensi pokok, yaitu
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, budaya, dan politik, dan
keberlanjutan lingkungan dan ruang lingkup keberlanjutan global (Salim 1997:
923—930).
Dalam pengembangannya
kini, terdapat istilah pembangunan berperspektif lingkungan (environtment
sustainable development) yang berarti perwujudan dari upaya dan budi daya
manusia melalui penguasaan serta penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan
teknologi. Pembangunan tersebut memerlukan dukungan sumber daya manusia sebagai
pelaku pembangunan yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi dengan disertai
kepedulian sosial, ekonomi, dan budaya dan dengan wawasan yang ramah lingkungan
(Soerjani, dkk, 2006: 142). Secara konseptual pelaksanaan pembangunan haruslah
disertai pula pembangunan manusianya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah
tidak meratanya pembangunan dan penurunan kualitas lingkungan hidup bagi
manusia.
Terkait dengan
pembangunan, prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan yang berpihak pada lingkungan hendaknya disesuaikan dan
diterapkan kondisi suatu daerah. Suatu daerah yang masih memegang adat-istiadat
dan tradisi sering kali mendapat pengaruh kuat dari modernisasi. Seiring
pengaruh tersebut, berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidupnya. Di
beberapa daerah di Indonesia, pengaruh modernisasi telah mengubah pola
kehidupan masyarakat pedesaan. Tetapi, terbukti bahwa kearifan lokal (local
wisdom) yang dipertahankan menjadi penahan kerusakan lingkungan hidup. Hal
ini perlu juga pada pemeliharaan kawasan bersejarah, sehingga kerusakan akibat
faktor manusia dapat diminimalisir.
Sebagian besar
masyarakat Indonesia hidup di pedesaan dan masih memegang adat-istiadat daerah.
Kearifan masyarakat pedesaan perlu diarahkan pada pemeliharaan situs-situs
bersejarah. Kebanyakan situs-situs bersejarah berada dalam kawasan
permukimannya. Pada masyarakat-masyarakat terpencil dan pedesaan, nilai
kearifan lokal seharusnya disinergikan dengan pembangunan daerah. Nilai-nilai kearifan
lingkungan masyarakat Indonesia merupakan suatu modal dasar bagi pemerataan
pembangunan jika disesuaikan dengan konteks daerahnya. Setidaknya hal ini perlu
dicoba di kawasan Purbalingga dan sekitarnya yang memiliki potensi pariwisata
baik alam dan budaya.
Situs Punden Berundak di Desa Onje, Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah
Situs Menhir di Desa Dagan, Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah
Daftar Pustaka
Asmar,
T.,1975. “Megalitik di Indonesia Ciri
dan Problimnya,” dalam Buletin Yaperna 7: 19—28. Yayasan Perpustakaan
Nasional Jakarta.
Atmosudiro,
S.,1980. “Tinjauan Tentang Beberapa Tradisi Megalitik di Daerah Purbalingga
(Jawa Tengah),” dalam PIA, Cibulan 21—25 Pebruari 1977: 98—107. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Bellwood,
P.,1978. Man’s Conquest of the Pasific: The Prehistory of Southeast Asia and
Oceania. Auckland: William Collins Publishers.
Chipinndale,
C.,2005. “Stonehenge Complete,” dalam Encarta
Reference Library Premium. Microsoft Encarta.
Fox,
J.F.,1998. “Megalithic Rituals,” dalam Indonesia Heritage: Religion and
Ritual 9: 106—107. James J. Fox, et al. (ed.).
Jakarta: Archipelago Press.
Hoop,
A.N.J.Th.A.Th. Van Der., 1932. Megalithic Remains in South-Sumatra. Diterjemahkan
oleh William Shirlaw. Netherland: W.J. Thieme & Cie, Zutphen.
Mundardjito,
1995. Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya. Pidato
Upacara Pengukuhan Gurubesar Madya Tetap Pada Fakultas Sastra UI, 7 Oktober
1995 Depok.
Nitihaminoto,
G., 1976. “Catatan Sementara tentang Temuan-temuan Prasejarah dari Kabupaten
Purbalingga,” dalam Majalah Arkeologi Kalpataru 2: 7—17. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional.
Perry, W.J.,
1918. “The Megalithic Culture of
Indonesia,” dalam Publication of the University of Manchester No. CXVII. Manchester.
Prasetyo,
B.,2006. “A Role of Megalithic Culture in Indonesian Cultural History,”dalam Archaeology:
Indonesia Perspective R.P. Soejono’s Festschrift: 282—292. Simanjuntak,
et al (ed.) Jakarta: Indonesia Institute of Science.
Priyatno H.S.,
dkk, 1999/2000. “Pola Sebaran Situs Megalitik di Lereng Gunung Slamet Bagian
Timur Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah,” dalam Laporan Hasil Penelitian
Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Renfrew, C.,
1981. “Introduction: The Megalith Builders of Western Europe,” dalam Antiquity
and Man: Essays in Honour of Glyn Daniel: 72—81. Evan, et al (ed.).
London: Thames and Hudson.
Salim, Emil,
1997. “Pembangunan Berkelanjutan,” Widjojo Nitisastro 70 Tahun: Teori,
Kebijaksanaan, dan Pelaksanaan II: 921—931. Moh. Arsjad Anwar, Aris Ananta,
dan Ari Kuncoro (peny.). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soejono, R.P.,
1993. “Jaman Prasejarah di Indonesia,” dalam Sejarah Nasional Indonesia I. M.D.
Pusponegoro dan N. Notosusanto (ed.). Jakarta: Balai Pustaka.
Soemarwoto,
Otto, 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan (edisi kesepuluh).
Soerjani,
Mohamad, Arief Yuwono, dan Dedi Fardiaz, 2006. Lingkungan Hidup: Pendidikan,
Pengelolaan Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Institut
Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.
Sudiono, 2000.
“Peninggalan Prasejarah di Kabupaten Purworejo,”dalam Kalpataru Majalah
Arkeologi 14: 29—50. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sukendar, H.,
1993. Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan. Disertasi S3
Program Pascasarjana UI.
Sukendar, H., 1997. Masyarakat
Sumba dengan Budaya Megalitiknya. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Sulistyo, A.,
2008. Situs-Situs Megalitik di Daerah Tenggara Gunung Slamet Purbalingga Jawa
Tengah: Kajian Lingkungan Fisik dan Karakteristik Situs. Skripsi Sarjana
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Van Heekeren,
H.R., 1955. Prehistoric Life in Indonesia. Jakarta.
Van Heekeren, H.R.,1958 “The Bronze-Iron Age of
Indonesia,” VKI XXII. S’Gravenhage-Martinus Nijhoff. Heemstede.
Penulis bisa di email di sulistyo.ary26@gmail.com
[1]
Druidisme adalah kepercayaan bangsa Celtic kuno yang berada di Gaul dan British
Isles dari abad 2 SM hingga abad 2 SM. Ketika bangsa Romawi menyerbu daerah
Britain (sekarang Inggris), ada daerah yang tidak terkena serangan Romawi dan
masih menjalankan kepercayaan Druidisme
dan sempat bertahan sebelum masuknya agama Kristen dua atau tiga
abad setelahnya. Druidisme percaya kepada keabadian jiwa (soul)
bagi orang yang meninggal kemudian lahir kembali pada bayi yang baru lahir.
Menurut keterangan Julius Ceasar ketika ia menyerbu daerah Britain, yang
ditulis oleh Posidonius, seorang filusuf dan sejarahwan; mereka adalah
keturunan dari Yang Agung. Orang-orang Druid juga percaya kepada
astrologi, magic, dan kekuatan misterius dari tetumbuhan dan hewan, terutama
mensakralkan pohon oak dan mistletoe atau sejenis tanaman parasit yang
tumbuh di pohon oak, apel, dan pinus. Para arkeolog percaya bahwa orang-orang Driud
menggunakan monumen-monumen batu (megalitik) sebagai kuil dengan altarnya
(dolmen). Bahkan monumen prasejarah Stonehenge (3000-1000 SM) di daratan
Salisbury, Salisbury Utara, Inggris pernah dijadikan kuil oleh mereka.
[2] Di sini pengertian pariwisata kawasan yang dimaksud
adalah penetapan kawasan sebagai daerah tujuan wisata (DTW), sperti misal penetapan desa budaya oleh
pemerintah daerah terhadap suatu desa yang memiliki potensi budaya yang khas.
Komentar
Posting Komentar