Langsung ke konten utama

Groot Rivier Ciliwung

GROOT RIVIER CILIWUNG: PELAJARAN LINGKUNGAN  DARI MASA LALU

DAN BANJIR JAKARTA


Oleh: Ary Sulistyo[1]
 
Ciliwung dan pelajaran masa lalu

Saya dibuat takjub oleh guru sejarah sewaktu duduk sebagai murid di Sekolah Menengah Pertama; dia pernah bercerita  tentang sebuah peradaban besar pasti dekat dengan air/sumber air; contohnya Mesir Kuno yang dilewati Sungai Nil. Di Sungai Euprathes dan Sungai Tigris di Siria dan Irak Kuno sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi berkembang Mesopotamia Kuno. Di tempat lain, ada peradaban besar yang dilintasi oleh Sungai Gangga dan Indus di India yakni Kebudayaan Indus, dan di Cina ada Sungai Hoang Ho dan Yang Tze. Kini peradaban tersebut telah menjadi peninggalan arkeologi dan sejarah yang menceritakan kepada kita betapa pentingnya air untuk hidup dan kehidupan. Demikian pula di Jakarta ada Sungai Ciliwung yang memiliki cerita sendiri.

 Sungai memiliki arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat sederhana yang berlandaskan ekonomi subsistensi. Penelitian penulis tahun 2008 tentang situs-situs[2] megalitik[3] di daerah Tenggara Gunung Slamet, Purbalingga, Jawa Tengah menunjukkan bahwa dari  situs-situs megalitik yang diteliti, mayoritas situs terletak dengan sumber air (sungai dan mata air) yang berjarak kurang dari 100 m. Ini menunjukan kegiatan manusia tidak jauh dari air. Air sudah  menempati posisi yang sentral baik secara untuk kepentingan sakral (pemujaan) maupun profan (kebutuhan sehari-hari). Tradisi masyarakat di pedesaan pun masih mengingatkan kita tentang peran air. 

Pada masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi, arti kata sendang memiliki arti mata air di bumi. Air sebagai bagian dari keselarasan hubungan manusia dengan alam. Prinsip penempatan hidup manusia yang mikrokosmos harus sesuai dengan hukum alam semesta atau makrokosmos. Jika tidak, maka akan timbul pralaya (bencana). Hubungan manusia dengan lingkungan tercermin dari pola pemukiman (settlement pattern) masyarakat masa lalu yang merupakan pengejawantahan (ekspresi) dari konsepsi manusia mengenai ruang, serta hasil upayannya untuk mengubah dan memanfaatkan lingkungan fisik (air misalnya) berdasarkan atas pandangan dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai lingkungan tersebut (Ahimsa-Putra, 1997: 15). 

Proses adaptasi manusia dengan lingkungannya di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya,  jika ditilik dari geografi, sosial, politik, kultural, dan ekonomi menempatkan pemukimannya berdekatan dengan sumber air. Daerah-daerah sumber air di antaranya adalah sungai, mata air, rawa dan laut. Maka dari itu Indonesia terkenal sebagai negeri air (water world). 

Secara psikologis, bencana-bencana yang sering terjadi  seperti di kota-kota besar; misalnya banjir di Jakarta digolongkan sebagai daily hassles. Daily hassles merupakan problem yang terjadi setiap hari dan berulang-ulang, serta tidak memerlukan daya penyesuaian diri yang terlalu besar. Termasuk, kesulitan pekerjaan (keuangan), pertengkaran dengan keluarga, masalah kemacetan transportasi hingga banjir yang terus datang. Daily hassles memang relatif ringan dibandingkan dengan stressor, tetapi karena sifatnya kronis, bisa juga membawa akibat jangka panjang yang fatal. Tetapi, bagi sejumlah besar orang, banjir (bencana alam dan ulah manusia) bisa menjadi catalysmic phenomena, yaitu peristiwa tertentu sangat mengejutkan dan sangat kuat pengaruhnya, termasuk pembebasan tanah dimana penghuninya dipindahkan secara paksa, kebakaran, hilangnya BBM di pasaran, dan kecelakaan lalu lintas (Sarwono, 1992: 123). Karena kondisi banjir yang datang terus-menerus, maka tidak salah manusia di kota-kota besar sudah melakukan adaptasi (mengubah tingkah laku sesuai dengan lingkungan), tetapi belum tentu melakukan adjustment (mengubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku).

Jakarta pada masa prasejarah; di daerah aliran sungai Ciliwung ditemukanya gerabah dan beliung persegi yang menggunakan bahan di sekitaran sungai Ciliwung. Ini mengindikasikan telah ada pemukiman pada masa itu (Djafar, 1992). Pada masa kerajaan Sunda Pajajaran sekitar abad 11-13 M, wilayah sekitar Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang ramai, kemudian berlanjut hingga abad 16 M, Kota Jayakarta didirikan sebagai Kota atau wilayah pemukiman Islam di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Ketika kolonial datang dan membangun Kota Batavia[4]; Jakarta pada sekitar abad ke 17-18 M (di Jakarta Kota Tua-Sekarang) terdapat daerah sekitar Kali Besar (Groot Rivier Handels Centrum) yang ramai hingga abad 20 awal sebagai pusat perdagangan di Hinda-Belanda. Daerah ini merupakan daerah seperti boulevard  atau tropical line yang menjadi idaman para warga karena seperti Kota Venice di Italia. Kota dengan bangunan saling berhadapan dengan sungai di tengahnya. Nuansa itu tergambar dengan jelas dan indah di beberapa peta, gambar, dan lukisan pada masa itu. 

Dulu pemerintah Hindia Belanda di Batavia sudah mengeluarkan aturan (hukum) pada tahun 1630-an tentang larangan membuang sampah, dan kotoran rumah tangga ke sungai. Bagi yang ketahuan akan didenda sebesar 6 riksdalders (1 riksdalders= sekitar 10 sen). Pada tahun 1685an; kawasan di luar tembok kota, yakni kanal di Molenvliet (sekarang jln. Gajahmada-Hayam Wuruk) tidak diperbolehkan untuk mencuci. Pada saat itu telah ada dewan yang mengurusi administrasi kota, termasuk urusan tata tertib kota yakni Collegie van Schepenen. Hingga pada tahun 1730an, karena tidak mendapat tanggapan serius dari warga, maka denda dinaikan menjadi 25 riksdalders dan bagi warga yang tinggal di dekat kali atau kanal diwajibkan membersihkan yang diawasi oleh lurah (wijksmeester) setempat. Penegakan hukum yang represif oleh pemerintah Hindia Belanda waktu itu tidak membawa perubahan yang berarti. Pada tahun sekitar tahun 1733; selokan, riool (gorong-gorong yang penuh lumpur) merupakan sarang terjangkitnya epidemi penyakit. Pembersihan kotoran di selokan dan lumpur pernah dilakukan secara masal tahun 1750an dengan mendatangkan orang-orang Cirebon  sehingga terkenal istilah  de modder Javanen (orang-orang Jawa yang penuh lumpur). Pembiayaannya ditanggung 2/3 kas kota dan 1/3 kas VOC. Pembersihan juga meluas ke arah selatan (voorstaad) (Lohanda, 2007: 153-154). 

Kota Batavia sendiri abad ke 17 hingga awal 20an tidak luput juga dari kondisi lingkungan yang tidak terawat dengan baik yang berakibat mengancam penghuninya. Batavia yang terletak di lokasi buruk kawasan pantai landai dengan rawa-rawa mengelilinginya, dan kota tidak direncanakan dengan baik. Kanal-kanalnya hampir tidak mengalir, sedimentasi sungai-sungai penuh lumpur mengendap di dasar kanal, pengendapan pantai. Pada akhir abad ke 18; benteng, yang tadinya dibangun di tepi pantai, terletak dua kilometer dari laut.

Pada jaman VOC, terdapat lumpur hutan bakau lebat berbau menyengat. Pendangkalan pantai juga berperan dalam ketidaksehatan kota. Saat laut pasang kawasan ini tergenang air dan dipenuhi sampah kota. Ketika surut, air laut tertinggal di tampak, kubangan, atau kolam, dan yang lebih menyedihkan adalah Batavia pada tahun 1730an terjadi pembangunan tambak pesisir di kawasan pantai endapan lumpur besar-besaran (nilai ekonomi tinggi) sekitar satu juta kilometer persegi dan berlanjut pada tahun 1900an. Tambak ini adalah tempat yang ideal bagi pembiakan nyamuk Anopheles sundaicus penular malaria. Jumlah nyamuk ini membengkak dan menyerang hampir 5000 pegawai di Batavia (malaria-cachexie).

 Hal ini berakibat pada perpindahan orang ke daerah yang lebih ke ‘pedesaan’ beberapa kilometer dari kota[5], yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru seperti ekonomi yang tadinya mengandalkan dari perdagangan lewat laut. Tingginya angka kematian di antara para pelaut akibat penyakit malaria di Batavia merupakan ancaman serius bagi perdagangan antara perdagangan antara Asia dan Republik Belanda yang merupakan urat nadi Kompeni. Hal ini menimbulkan kerugian finansial, apalagi kondisi ini ikut memperparah Kompeni pada perang Inggris-Belanda Keempat (1780—1784) (Van der Burg, 2007: 46—77).

Setelah akhir abad 19 dan awal abad 20, ketika perpindahan kota ke Weltevreden atau Gambir; yakni kawasan menteng sekarang (sampai Lapangan Banteng) yang digunakan pemukiman ideal dan elit. Kondisi jadi lebih baik daripada Groote River Oud Batavia dulu karena pemukiman menteng dirancang dengan fungsi kota taman (garden city) yang nyaman untuk dihuni. Sungai Ciliwung melintas di tengahnya dimana membelah kawasan menteng barat dan timur, utara dan selatan dan rumah-rumah saling menghadap jalan arteri. Pada masa ini juga pembangunan pembangunan bendungan Manggarai sebagai pengontrol debit air dan cadangan air tanah. Hingga pada awal tahun 40an dikembangkan juga nieuw menteng yang merupakan perluasan dari Menteng yang masih mengikuti pola pemukiman Menteng. Hingga kini masih banyak terdapat bangunan bergaya indisch dengan model landhuis berpaviliun masih berdiri (Zoraya, 2008).

Pertambahan jumlah penduduk kota yang tidak terbendung oleh arus urbanisasi pada masa setelah Kemerdekaan mengakibatkan permasalahan lingkungan yang serius, terutama masalah air bersih dan pencemaran sungai yang terus meningkat. Tidak hanya banjir, permasalahan pun bertambah, mulai dari pemukiman kumuh, gepeng, sampah, hingga polusi yang menambah kerugian bagi masyarakat Jakarta. Ini menunjukan bahwa manusia sekarang lupa bahwa ia adalah bagian dari lingkungan bukan eksploitator lingkungan. 

Kerusakan sungai yang sudah tersistem adalah pengrusakan kawasan hulu, tengah dan hilir oleh berbagai macam limbah industri maupun domestik. Jika dilihat dari sumber polusi yang mencemari daerah Ciliwung Tengah, maka dapat dikatakan mayoritas berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Permasalahan lingkungan sungai, tidak terlepas dari lingkungan alam sungainya sendiri: hidrologis, sifat sungainya, dan debit air. Sungai Ciliwung dengan karakter meander (berkelok-kelok) dan topografi Jakarta adalah daerah rendah dan sebagaian genangan. Permasalahan lingkungan binaan: bangunan-bangunan di daerah resapan air atau perusakan ruang hijau. Serta, lingkungan sosial: manusia yang berinteraksi langsung dengan sungai yakni prilakunya; prilaku membuang sampah sembarangan. Ada inisiatif dari pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui program Prokasih (Program Kali Bersih) yang diputuskan juga oleh SK Gubernur No. 581/1995 melalui penataan dan pengawasan baku mutu limbah cari yang ditimbulkan oleh oleh perusahaan-perusahaan pencemar potensial dengan beban organik 800kg/hari. Selain itu, terdapatnya kerjasama dengan instansi-instansi terkait seperti dengan Belanda melalui DPS (Daerah Pengairan Sungai) Ciliwung, Komite Ciliwung dengan ketua koordinasi dijabat oleh Wagub propinsi Jawa Barat dan Banten. Kemudian pertanyaannya adalah seberapa efektifkah jika penanggulangan model up-bottom tersebut dilakukan?atau seberapa kontinu dan bagaimana perkembangannya? Kita justru terheran-heran ketika melihat Haji Chaerudin yang dengan gagah berani membersihkan Kali Pesanggrahan dengan mendirikan kelompok taninya atau kita justru tergugah ketika seorang pembersih kali; entah siapa namanya yang dengan kesendiriannya memunguti sampah sepanjang kali. Akankah kita menunggu katastropi baru akan sadar? dan semoga banyak Chaerudin yang lain yang masih dibutuhkan di sini.

Prilaku manusia dalam menanggapi lingkungannya terutama dengan sungai, menjadi persoalan yang tidak ada habisnya. Contohnya masih di sekitar kawasan Jakarta yakni di bantara sungai Ciliwung, Manggarai. Disertasi yang ditulis oleh Sjarifah Salmah (2008) menyatakan bahwa lahan sepanjang bantaran sungai Ciliwung idealnya menjadi hutan kota. Tetapi prilaku para penduduk dalam membangun rumah dan bermukim di bantaran sungai sehingga dampaknya terjadi penurunan kualitas lingkungan fisik dan sosio-ekonomi. Penekanan adanya modal sosial dari masyarakat yang perlu di gugah untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik lagi. Kebiasaan penduduk yang tinggal di sekitar sungai atau bantaran adalah prilaku biasa membuang sampah domestiknya ke sungai. Prilaku membuang sampah ke sungai atau limbah domestik lain sudah menjadi tradisi kita teutama di sebagian besar kawasan Jakarta. Tata ruang pembangunan rumah memperlihatkan selalu menempatkan sungai di belakang rumah, bukan di depan. Jika dilihat, ‘posisi belakang’ tersebut, maka sungai seolah menjadi tempat pembuangan sampah. Pertambahan populasi manusia yang begitu tinggi kini menimbulkan masalah lingkungan sungai. Arti pentingnya tata ruang yang seimbang sudah tergusur oleh makin besarnya kepentingan ekonomi penduduk. Daya lenting lingkungan (resilience) di Sungai Ciliwung bagian tengah  kini kondisinya juga sangat parah. Kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri sangat terbatas. Oleh karenanya pendekatan sosial-budaya yang partisipatif perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. 

Peranan LSM dan lembaga swadaya lain yang bottom-up setidaknya perlu didukung oleh semua pihak. Di sinilah peranan institusi pendidikan lingkungan harus selalu tanpa letih melalui penelitian dan menyuruakan kepada pihak yang berwenang dan melalui forum pendidikan lah optimisme dibangun. Contohnya Gerakan Ciliwung Bersih yang dimotori oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan (PPSML)-UI tahun 1995 dengan bantuan Jepang dengan melakukan pendekatan pada remaja atau anak-anak di daerah Sunda Kelapa melalui pembuatan poster yang merepresentasikan ide dan gagasan pemuda tentang lingkungan (Soerjani dkk, 2006: 188). 

Pendekatan persuasif kepada remaja menyadarkan mereka bahwa menghormati air bersih harus dilakukan sejak dini. Kita tahu betapa pendidikan dalam lingkup keluarga telah mengalami degradasi. Kecenderungan orang tua sekarang jika berlibur pergi tujuannya adalah mal. Jarang yang mengajak anak-anaknya ke daerah pedesaan atau berwisata ke tempat-tempat bersejarah. Oleh sebab itu, kurangnya empati membuat mereka tumbuh menjadi pencemar lingkungan tempat tinggalnya. Ini seperti dua mata uang, di satu sisi disayang satu sisi lain dibiarkan membuang sampah sembarangan di sungai. Inilah PR pendidikan kita harus berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan fisik yang terus menggeliat harus serta diiringi oleh kepedulian sosial- budaya yang ramah lingkungan, khususnya menanamkan sikap hormat pada air.

Banjir Jakarta: Batavia onder water 

Batavia pada abad 18-19 M merupakan kota idaman bagi Belanda pada masa itu karena mendapat julukan Jewel of Asia atau Queen of The EastSeiring dengan bergulirnya waktu dan pertambahan populasi manusia penghuninya, kondisi lingkungan makin lama makin tidak terawat. Batavia yang terletak di lokasi kawasan landai dengan rawa-rawa mengelilinginya, dan kota tidak direncanakan dengan baik. Kanal-kanalnya hampir tidak mengalir, sedimentasi sungai-sungai penuh lumpur mengendap di dasar kanal, pengendapan pantai. Bahkan sering menimbulkan banjir. Secara logis, makin intensifnya lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun tentunya makin kecil daerah resapan air dan makin sedikit air infiltarasi dan sebaliknya makin besar air alirannya.

Dalam bukunya Gagalnya Sistem Kanal, Restu Gunawan (2010) menyatakan bahwa sistem kanal yang dibangun pemerintah tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Dari periode tahun 1892 hingga 1950, peristiwa banjir di Jakarta terjadi dalam rentang waktu 5—10 tahun. Pada periode 1950 hingga 1970, banjir terjadi dalam rentang waktu 3—5 tahun. Setelah itu, antara tahun 1970an dan tahun 1985 kecenderungan banjir yang melanda Jakarta semakin pendek, antara satu sampai dua tahun, dan luas wilayah yang dilanda banjir mengalami pergeseran dan perluasan. Maka tidak heran ada istilah Batavia Onder Water[6]. Selama hampir satu abad cara pemerintah yang ditempuh untuk pengendalian banjir dapat dikatakan belum mampu mengatasi banjir, yaitu sistem makro dan sistem mikro. 

Dalam sistem makro adalah pembangunan kanal dan sistem polder (tanah rendah untuk menampung air) dan waduk penampungan. Sedangkan sistem mikro seperti pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau juga mengalami kegagalan dikarenakan perubahan peruntukan lahan untuk pemukiman tinggi seiring laju pertumbuhan penduduk jakarta (eksponential growth). Apakah kita harus meninggalkan kota Jakarta seperti dulu pada abad ke 19 ketika penduduk kota Batavia pindah ke selatan/Weltevreden akibat kerusakan ekologisnya? 

Banjir di Bangladesh: Pelajaran dari negara tetangga

Bangladesh adalah salah satu negara di dunia dengan kepadatan populasi yang tinggi dengan jumlah penduduk mencapai 147 juta jiwa (dan akan meningkat menjadi 231 juta jiwa pada 2050) sebagian besar daerahnya berada di bawah permukaan laut dan termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Masyarakat Bangladesh sangat tergantung pada banjir sedang tahunan selama musim panas untuk membantu mereka menanam padi dan mengelola kesuburan tanah di daerah cekungan delta. Banjir tahunan tersebut merupakan erosi dari kawasan tinggi Himalaya.

Pada masa lalu, banjir selalu terjadi sekitar 50 tahun sekali. Sejak tahun 1970an, menjadi makin sering yaitu hampir setiap 4 tahun sekali. Masalah banjir sudah mulai sejak makin menyusutnya daerah tangkapan air di kawasan Himalaya, pertumbuhan jumlah penduduk, deforestasi, dan praktek penggembalaan di padang rumput hingga mengalami penurunan kandungan tanah (overgrazing) dan tingkat erosi yang tinggi di daerah tinggi selama musim hujan serta hilangnya tanah yang subur (topsoil). Dengan meningkatnya aliran air permukaan dari hulu meningkatkan intensitas banjir di daerah hilir. Pada tahun 1998, banjir telah menggenangi hampir dua per tiga wilayah Bangladesh hampir selama 9 bulan dan menenggelamkan 2.000 jiwa dan 30 juta jiwa kehilangan rumahnya. Banjir juga menghancurkan seperempat daerah pertanian dan menyebabkan ribuan orang menderita kelaparan. Pada tahun 2002, banjir juga menelan korban jiwa hampir sebanyak 5 juta jiwa kehilangan tempat tinggalnya dan banjir juga meluas menggenangi persawahan. Begitu juga banjir pada tahun 2004.

Bangladesh adalah salah satu negara yang memiliki dataran banjir pantai (coastal floodplain) yang luas dengan intensitas badai tinggi, angin siklon, dan tsunami seperti pada tahun 2004 yang disebabkan oleh gempa bumi bawah laut. Tercatat, pada tahun 1970, sebanyak 1 juta jiwa menjadi korban dari badai siklon, dan pada tahun 2003 juga tercatat lebih dari satu juta jiwa kehilangan tempat tinggalnya. Untuk berjuang hidup, masyarakat miskin di Bangladesh membabat habis hutan mangrove yang ada di daerah pantai untuk sumber bahan bakar, pertanian, tambak-tambak udang. Hasilnya adalah makin menjadi-jadinya banjir. Dikarenakan prilaku masyarakat tidak mengerti fungsi ekologis dari mangrove (Miller, 2007: 331). Lalu bagaimana dengan Jakarta? Tanpa disadari, kita melupakan kearifan lokal masyarakat dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.

Dulu masyarakat Betawi (berdasarkan tradisi lisan) sebelum mengenal bangunan bata, dikarenakan sebagian besar tanahnya masih berupa rawa, sungai, dan hutan; masyarakat Betawi menggunakan rumah panggung untuk menghindari binatang buas dan banjir. Seperti rumah Si Pitung di Marunda, Jakarta Utara yang kini merupakan Bangunan Cagar Budaya (BCB). Maka dari itu kita perlu banyak menggali kearifan lokal guna mampu beradaptasi dengan lingkungan banjir. Selain itu, Penegakan hukum (law enforcement) yang harus benar-benar ditegakkan dan memfungsikan kembali fungsi situ-situ di Jakarta sebagai reservoir alami. Perencanaan dan pembangunan tata ruang yang ramah lingkungan setidaknya menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Situ Babakan (di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan) merupakan salah satu kawasan konservasi dan lansekap budaya Betawi dalam konteks “pertimbangan ekologis” demi menjaga situ-situ yang tersisa. Selain itu, memfungsikan kembali RTH (ruang terbuka hijau) yang sesuai yaitu 30%.
Semoga...


Daftar bacaan

Ahimsa-Putra, H.S., 1997. “Arkeologi-Pemukiman: Asal mula dan Perkembangannya,”dalam Humaniora No.V. Hlm.15—24. Yogyakarta: FS UGM.

Gunawan, Restu, 2010. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Hasan Djafar, 1982.  “Gerabah Prasejarah dari Situs-Situs Arkeologi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung, DKI Jakarta,” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia Jilid XI No. 02, Oktober 1982. hlm. 173-185. Jakarta: Fakultas Sastra UI

Lohanda, Mona, 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup

Miller, G.T., 2007. Living In The Environment. Canada: Thomson Learning (edisi keempat)

Salmah, Sjarifah, 2008. Penataan Bantaran Sungai Ditinjau dari Aspek Lingkungan (Kasus pada Bantaran Sungai Ciliwung Manggarai). Disertasi Kajian Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UI Jakarta.

Sarwono, S.W., 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo

Soerjani M., Arief Yuwono dan Dedi Fardiaz, 2006. Lingkungan Hidup: Pendidikan, Pengelolaan, dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan

Sulistyo, Ary, 2008. Situs-Situs Megalitik di Daerah Tenggara Gunung Slamet Purbalingga Jawa Tengah: Kajian Lingkungan Fisik dan Karakteristik Situs. Skripsi Sarjana Program Studi Arkeologi FIB-UI Depok (tidak diterbitkan)

Van der Burg, P.H., 2007.“Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas,” dalam Jakarta-Batavia: Esai Sosio-Kultural: 44—77. Kees Grijns dan Peter J.M. Nas (peny.). Terjemahan oleh: Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Banana.

Zoraya, Olivia, 2008. Pola Pemukiman Menteng dan Nieuw Menteng Pada Awal Abad 20. Skripsi Sarjana Departemen Arkeologi FIB-UI. Depok.

Laporan Khusus Kompas, 2011. Bencana Mengancam Indonesia. Jakarta, Kompas Media Nusantara.

Selidik National Geographic, 2012. Cuaca Ekstrim: Sains Mengatasi Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. Diterjemahkan oleh: Hera Andrayani. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.




Kalibesar (Kotatua) sekitar tahun 1920an merupakan kanal pengatur banjir di Batavia dan sarana transportasi



[1] Penulis adalah peminat masalah heritage. Penulis dapat dihubungi di email: sulistyo.ary26@gmail.com
[2] Situs adalah istilah dalam bidang arkeologi yang diartikan sebagai sebuah tempat yang mengandung temuan purbakala.
[3] Megalitik yang berarti batu besar berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata megas ‘besar’ dan lithos ‘batu’ atau menunjuk pada monumen yang terbuat dari batu besar. Megalitik mengacu pada kebudayaan batu besar. Di Indonesia berkembang sekitar 1500 tahun yang lalu. Contohnya masyarakat Baduy di Banten masih memiliki tradisi ini.[4] Batavia adalah nama yang diberikan oleh J.P. Coen seorang Gubernur Jendral VOC tahun 1610 yang pertama kali membangun kota Batavia, sebelumnya bernama Sunda Kalapa, dan Jayakarta. Ada yang mengistilahkan juga Oud Batavia atau Batavia Lama.
[5] Pada awal abad 20 pindah ke Weltevreden atau kini lebih di kenal dengan nama Gambir dan sekitarnya
[6]
Istilah Batavia Onder Water ialah kritik koresponden De Locomotief pada tahun 19 Februari 1909 dikarenakan hujan deras yang mengakibatkan banjir yang tidak dapat ditampung kembali oleh kanal-kanal yang ada dan sebagian besar daerah Batavia terendam air. Jika di singkat BOW atau nama lain dari Burgelijke den Openbare Werken, sebuah kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk masalah pengairan (Gunawan, 2010: 112).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita