Langsung ke konten utama

Toponimi

Toponimi: Penamaan dan Pemaknaan Kawasan untuk Pembangunan 

Oleh:
Ary Sulistyo[1]

Toponimi berasal dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat dan onoma yang berarti nama. Kini toponimi diartikan sebagai bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal usul, arti, penggunaan, dan tipologinya. Suatu toponimi merupakan nama dari tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan (seperti kota). Jawatan topografi Belanda yang dibentuk akhir abad 19. Jawatan topografi Belanda bernama Topografisch Dienst dibawah Departemen Van Oorlog KNIL. Pada masa pendudukan Jepang bernama Sokuryo Kyoku hingga pada tahun 1945. Pada mulanya pemetaan pada masa Herman Willem Daendels (1808-1811) masih sangat terbatas, baru sebatas Jawa dan Madura dan untuk kepentingan militer.
Nama unsur rupabumi (topografis) yang baku akan dihimpun dalam suatu gazetir[2], baik ditingkat pusat maupun daerah. Harus diakui bahwa sebagian besar unsur fisik rupabumi, baik alami maupun buatan yang tersebar di wilayah Indonesia masih belum mempunyai nama, apalagi sampai ke tingkat pembakuan nama. Belum banyak masyarakat mengetahui tentang pembakuan nama tempat (toponim). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah beberapa kali mendesak setiap Negara untuk segera melaksanakan pembakuan nama.
Melalui Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006, pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Pelaksana yang dipimpin oleh Kepala BAKORURTANAL (sekarang Badan Informasi Geospasial/BIG). Tim inilah yang secara langsung melaksanakan tugas, mulai dari peningkatan sumberdaya manusia sampai terbentuknya suatu gazetir. Sejalan dengan itu, di daerah dibentuk Panitia Pembakuan Nama Rupabumi (PPNR) tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Diklat Bakosurtanal, 2011).
Pengetahuan kita tentang nama suatu daerah atau kawasan (disini penulis mengambil contoh suatu kawasan destinasi wisata sudah terkenal) pasti menimbulkan tanya, darimana nama itu berasal? Seperti misalnya Tangkuban Perahu? Yogyakarta? Dan seterusnya. Dalam pemberian nama sebuah tempat tentunya memiliki sejarah yang begitu panjang, sepanjang sejarah manusia sendiri berawal. Inilah yang dinamakan toponimi[3], yang mungkin tidak asing lagi bagi kalangan geograf dan linguis. Sebenarnya penamanan sebuah tempat juga sudah bermula pada legenda[4] suatu daerah. Tangkuban perahu terkait dengan tokoh Sangkuriang yang ingin memperistri Dayang Sumbi (ibunya). Secara sosial prilaku ini dianggap menyimpang, tetapi kenyataannya ada yang dinamakan oedipus complex (Sigmund Freud) dan dalam cerita mitologi Yunani juga ada.
Gagasan mewujudkan nama-nama suatu tempat di Indonesia telah digagas dalam “United Nations Pilot Training Course on Taponomy” yang diselenggarakan di Indonesia dan di prakarsai oleh Bakosurtanal pada tahun 1982 di Cisarua, Bogor. Pengetahuan taponomi ini dipicu oleh Indonesia dengan melaporkan kepada Konferensi PBB tentang pembakuan nama-nama geografis mengenai jumlah pulaunya (Rais, 2008: xi). Pengetahuan tentang nama suatu tempat dapat didasarkan legenda (cerita rakyat), karakteristik suatu daerah, faktor alam dan sejarah. Nama Jakarta adalah nama yang ke-empat berganti yang semula sunda kalapa, Jayakarta, Batavia, kemudian jadi Jakarta. Nama Cunda Kalapa identik dengan kerajaan Sunda Pajajaran yang beribu-kota di Pakuan dimana Cunda Kalapa adalah pelabuhan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa pada abad ke 11 (?). Jayakarta sendiri adalah nama yang diberikan oleh Sultan Agung dari Kerajaan Demak pada tahun 1524 karena telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari tangan Portugis. Jaya berarti menang, Karta berarti daerah yang direbut kembali. Batavia diberikan oleh seorang Belanda JP Coen setelah merebut kembali dari Sultan Agung dan diperuntukkan sebagai kota benteng dan pelabuhan untuk menyaingi pelabuhan Banten (yang mendominasi perdagangan lada dan kapuk). Sedangkan nama Jakarta lebih sering diucapkan (kolokial) dari kata Jayakarta. Begitu pula Yogyakarta berasal dari Kuthagara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat [5] yang dipimpin oleh Sultan HB I (Panembahan Senopati) setelah perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Mataram Islam menjadi dua yaitu Solo dan Yogya. Contoh lainnya adalah Kota Depok sesuai dengan makna kata ‘depok’ yang disandangnya, depok berasal dari kata padepokan dan padepokan berasal dari patapan yang merujuk pada arti yang sama yaitu “tempat bertapa” atau ‘tempat pendidikan’; yang pada intinya mencari ilmu.

Pasar Klewer, Kota Solo. Klewer (bahasa Jawa berarti dagangan baju, kain yang menggantung)


Kota Depok tahun 1925 an. Ada pula yang menyebut Depok sebagai singkatan De Eerste Protestans Onderdaan Kerk

Demikian pula kawasan pusat perbelanjaan di Kota Solo yaitu Pasar klewer (yang terkenal dengan batiknya), dahulu adalah pasar yang terkenal karena para pedagang baju batik menjajakan dagangannya dengan menggantung (dalam bahasa Jawa dinamakan pating klewer). Maka, tidak mengherankan dalam suatu kawasan yang notabene adalah kawasan unik secara langsung pastinya akan dinamakan sesuai dengan keunikannya. Penamaan dengan nama binatang juga berlaku. Kampung Rawa Bebek, di Bekasi dahulu dikenal warga sebagai tempat yang banyak bebeknya, tetapi kini tidak karena telah dirubah menjadi pemukiman dan pertokoan. Nama rawa dimungkinkan dulunya adalah daerah situ/rawa/berair.


Salah satu rusun yang dibangun sebagai tempat tinggal warga yang terkena relokasi
dari Luar Batang Jakarta Utara

Selain kawasan hunian, ada pula nama suatu tempat yang didasarkan pada karakteristik bentang alam alami (natural lanscapes features) [6] suatu daerah, semisal orang daerah Pantai Kidul Yogya meyebut bukit dengan nama gumuk (contoh gumuk pasir). Di Lampung, orang-orang menyebut sungai dengan nama Way seperti Way Sekampung. Di Sumbawa orang-orang menyebut gunung atau bukit dengan nama Olat, seperti Olat Dodo di daerah Selatan Kabupaten Ropang, Nusa Tenggara Barat yang kini mejadi hak konsesi tambang PT. Newmont Nusa Tenggara. Bahkan di Puncak Jayawijaya, terdapat nama-nama puncaknya seperti Puncak Sudirman (diambil dari nama Panglima Sudirman), Puncak Juliana (Ratu Belanda Juliana), dan lain-lain. Gunung Bromo yang dihuni oleh orang Tengger (baca: tenger) karena banyak orang Hindu pasca-Majapahit (abad ke 15) yang “bertengger” di gunung, maka dinamakan orang Tengger. Kebesaran Majapahit juga terdapat pada nama-nama suatu daerah di Indonesia, seperti nama daerah Mancapahi dekat daerah Luwuk, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan orang-orang Majapahit telah ada pada abad ke 15 M. Daerah ini terkenal dengan logamnya.
Selain nama-nama tersebut, yang merupakan daerah dengan karakteristik tertentu, maka sementara dapat disimpulkan bahwa aspek toponimi menjadi nilai tambah (added value) dari suatu objek wisata. Siapa yang menyangka bahwa durian yang berasal dari daerah dukuh Rasuan, Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), Sumatera Selatan adalah daerah penghasil buah duku yang ter-manis se-Indonesia mengalahkan duku-duku dari daerah lain. Demikian juga pulau-pulau yang ada di Indonesia, sebagai contoh di Kepulauan Seribu. Nama Pulau Cipir mungkin saja berasal dari banyak pohon kecipir yang di tanam. Pulau Untung Jawa mungkin saja berasal dari nama yang diberikan oleh orang-orang Jawa yang tinggal di pulau tersebut. Beda halnya dengan Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dulu terkenal dengan istilah “heir light on de rust” (di sini lampu padam!). Belanda menamakan Pulau Onrust terkait aktivitas pelabuhan dan perkapalan pada abad 17-18 dan mulai surut pada abad ke 19-20.
Tetapi yang menjadi masalah adalah banyak pulau-pulau terluar di Indonesia yang belum memiliki nama baik pulau-pulau atol maupun pulau-pulau kecil lainya[7]. Perlunya pembedaan bahwa apakah itu pulau atau bukan karena sering ditemukan di lapangan, pengamatan dari kejauhan terdapat kenampakan yang menyerupai pulau, namun setelah pengamatan dari dekat ternyata ditemukan sebaran tumbuhan bakau dan pada saat pasang tinggi daratannya tenggelam (Sulistiyo, 2008: 130). Sebagai contoh, Pulau Sambiki (Provinsi Maluku Utara) secara definitif merupakan daratan yang terbentuk secara alami dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang tertinggi. Hal ini sesuai dengan kesepakatan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of The Sea) tahun 1982.
Semoga pengetahuan toponimi dapat menjadi pertimbangan langkah para stakeholders dibidang kawasan dalam memahami makna sebuah nama/tempat/kawasan/daerah untuk konteks kekinian secara keilmuan teknis yang dimiliki. Serta lebih memahami permasalahan secara bottom-up. Pembangunan kawasan lebih melihat pada ‘pola dan fungsi’ kawasan dibandingkan dengan hanya ‘struktur’-nya saja (pemukiman, infrastruktur, dan sarana).






[1] Peminat masalah heritage. Penulis tinggal di Depok dan bisa dihubungi diemail: sulistyo.ary26@gmail.com
[2] Gazetir adalah sebuah kamus atau diektori geografi sekaligus refensi penting untuk mencari informasi tempat dan nama tempat yang disertai peta atau atlas lengkap.
[3] Rais, Jacub, et al., 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Yang Panjang Dari Pemukiman Manusia Dan Tertib Administrasi. Jakarta: Pradnya Paramita.
[4] Legenda diartikan sebagai cerita rakyat yang tentang asal mula suatu tempat. Biasanya tokoh-tokohnya adalah fiktif (tidak ada dalam sumber sejarah) ada pula yang ada. Secara filosofis merupakan pengejawantahan dari sifat-sifat manusia atau prilaku sosial lainnya.
[5] Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogya, 2007. Toponimi Kota Yogyakarta. Yogyakarta
[6] Rais et al., 2008. Ibid., hlm. 87.
[7] Lihat Budi Sulistyo, 2008. “Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia,” dalam Toponimi Indonesia... Rais, et al., 2008. Hlm. 129—149.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita