Langsung ke konten utama

Branding city

Menyoal Kembali Branding City Kota Depok Sebagai Kota Pendidikan: Sebuah Pandangan Retrospektif[1]


Oleh:
Ary Sulistyo[2]


Tulisan ini merupakan refleksi memori penulis yang telah 15 tahun tinggal di Kota Depok, Jawa Barat. Salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta di sebelah selatan Jakarta. Kawasan Depok adalah salah satu kota dari gabungan beberapa kota lain yang akan menjadi kawasan metropolitan terbesar di dunia dan kawasan perkotaan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara; dengan mengusung konsep Jabodetabekpunjur atau yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, Cianjur. Hal ini terus dioptimalisasi pengaturan dan pengelolaannya oleh pemerintah (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, 2014).

Citra Kota Depok yang penulis kenal selama ini adalah “Kota Belimbing”, pusat kuliner di sepanjang Jalan Margonda dengan atmosfer “anak-anak kampus” dan “ngampus[3], pusat pendidikan, dan kota layak huni sebagai penyangga kota Jakarta, serta banyak lagi yang istilah yang disempatkan oleh Kota Depok. Namun demikian, belakangan ini, Kota Depok disebut sebagai “Kota Darurat Begal”. Hal ini dikarenakan dalam beberapa waktu belakangan telah terjadi tidak kriminal “pembegalan” kendaraan bermotor ditempat-tempat yang kurang penerangan jalannya[4]. Bahkan para pelaku pembegalan tidak segan-segan membunuh korbannya.

Penilaian tahunan Kota Adipura yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015; menranking 14 kota terbersih penilaian tahap pertama; Kota Depok menduduki peringkat terbawah yaitu ke 14 menyusul Kota Bandung peringkat ke-13 dan Kota Bekasi diperingkat ke-12. Tiga kota peringkat bawah tentunya tidak lolos seleksi sebagai kota terbersih[5]. Bahkan, menurut catatan dari Dinas Binamarga dan Sumberdaya Air Kota Depok, ada 55 titik dengan kawasan paling rentan terjadi banjir adalah di Kelurahan Tugu (Kali Laya), Cimanggis, Sawangan, Cilodong, Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya (Priatmojo dan Darmawan, 2014). Belum lagi masalah situ-situ sebagai water reservoir; dari semula 31 situ menjadi 24 situ karena penyusutan dan pencemaran.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh #KamisLiterasi@Nyonya Buku dengan tema “Depok itu Kota…?” di sebuah kafe di Jalan Margonda Depok pada hari Kamis 27 November 2014 lalu. Diskusi ini yang dihadiri oleh Sejarawan J.J. Rizal, yang menurutnya Depok itu sebagai Kota Bandan dan Kota Penyangga dan sifat multienik melekat pada Kota Depok tetapi mengenai masalah branding city harus melihat dari nama Depok itu sendiri (Muslimah, 2014).

Kota sebagai sebuah produk, ada produk fisik (tangible goods) seperti bangunan (dan arsitekturnya), taman, jalan, monumen, sistem transportasi, dan setting geografisnya. Ciri-ciri fisik ini sangat penting bagi pengembangan citra sebuah kota apakah itu kota tradisional, maupun modern. Ada juga produk non fisik (intangible goods) kota seperti pelayanan, ide, dan pengalaman dan perjalanan kota itu sendiri (Kolb, 2006: 13). Branding sebuah kota dimaksudkan di sini adalah keterlibatan rasional dan emosional dengan suatu tempat, estetika, dan kehidupan sehari-hari (Donald dan Gammack, 2007: 45). Branding diperuntukkan untuk: kompetisi antar kota atau wilayah, panduan strategis untuk pembangunan, dasar kerjasama antar stakeholders, solusi praktis dan fungsional terkait masalah kewilayahan, dan memaksimalkan nilai positif dari pengalaman sebuah kota itu (Kawaratzis, et al., 2015: 4).

Contohnya Kota Bandung memiliki cerita tersendiri sebagai kota wisata (tourism city). Pada awal tahun 1920-an, Bandung dikenal dengan wisata alam, dan wisata budaya, ketika para bangsawan Belanda yang tinggal di Jakarta (Société Concordia) pergi berlibur ke Bandung. Kemudian evolusi urban tourism yang dimulai sekitar tahun 1980-an; Bandung lebih di kenal sebagai kota pariwisata (khususnya wisata belanja), yang ditandai dengan munculnya Mall pertama, yaitu BIP (Bandung Indah Plaza), distro[6] dan factory outlet[7]. Bandung berubah menjadi tempat wisata kuliner dan wisata malam pada tahun 2000 hingga 2010. Perkembangan aktivitas-aktivitas modern, seperti: pub, kafe, nightlife, dan arena bermain seperti Disneyland juga turut mewarnai perkembangan kepariwisataan di Kota Bandung (Wardhani, 2012: 372).

Lalu bagaimana dengan Kota Depok?? Dalam sudut pandangan retrospektif yang penulis ketahui, Kota Depok, dari bukti-bukti arkeologis[8] yang bersifat tangible; sudah melalui berbagai masa. Diantaranya bukti-bukit masa prasejarah (sekitar 3000 SM), masa klasik (abad 7-15 M), masa Islam hingga masa kolonial Belanda (abad 15-20 M). Berdasarkan temuan dan sebarannya, situs prasejarah tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) situs-situs masa bercocok-tanam yang berada di Depok, Kelapa Dua, Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Cisalak, Parungbingung, Sawangan, Parung, Bojonggede, Cilebut, Citayam, Cikeas, Cibinong, Ciloa, Cileungsi, Citeureup, Jonggol, dan Cipamingkis. Temuannya berupa alat-alat batu neolitik seperti persegi dan gerabah; (2) situs-situs masa perundagian yang tersebar di wilayah Jakarta, Depok dan sekitarnya dengan temuan berupa benda logam, seperti kapak perunggu, tombak besi, arca perunggu, dan lain-lain (Djafar, 2005: 5).

Memasuki zaman Hindu-Buddha, keberadaan Depok masih diselimuti misteri. Karena belum ditemukan suatu bukti arkeologi yang secara eksplisit menyebutkan nama atau istilah ”depok”. Ada beberapa nama tempat kuno, yang tersebut dalam sumber-sumber tertulis, yang kini masih berada di sekitar Depok. Di dalam sebuah karya sastra Sunda Kuna dari abad ke-16, Bujangga Manik menyebutkan nama tempat tersebut, seperti Cibinong, Tandangan, Citereup, Cileungsi, Bukit Caru, Gunung Gajah, dan Ciluwer, sedangkan Sungai Ciliwung disebutkan dengan nama Ci-Haliwung (Djafar, 2005: 9).

Selain itu, juga ditemukannya sepuluh buah sumur yang diduga telah lama ada sebelum datangnya Islam di Depok. Sumur-sumur tersebut, antara lain, Sumur Gondang di Jalan Bandung Kelurahan Harjamukti Cimanggis, Sumur Tujuh Beringin Kurung di Beji Depok Utara, Pancuran Mas di Jalan Setu, Kelurahan Pancuran Mas, Kecamatan, dan Sumur Bandung yang berlokasi di RT 007/011 No. 30, Kampung Taman, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran Mas. Sumur-sumur tersebut masih sering digunakan dan dikeramatkan oleh masyarakat setempat (kemungkinan dikaitkan dengan tempat-tempat pertapaan ataupun petirtaan serta tempat-tempat yang disucikan bagi sebagian orang pada masa lalu). Sayangnya, belum ada penelitian antropologi dan etnografi lebih lanjut mengenai fungsi keberadaan sumur-sumur tersebut. Sumur-sumur keramat memiliki berorientasi menghadap ke Gunung Pangrango dan atau Gunung Salak (Timadar, 2008).

Karena letaknya yang dikelilingi oleh situs-situs peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, memberikan gambaran bahwa wilayah Depok memiliki peranan yang sangat penting, yaitu sebagai perantara persebaran kebudayaan antara kebudayaan pesisir dengan kebudayaan pedalaman (Djafar, 2005: 7). Persebaran tersebut mencangkup aspek kehidupan sosial-ekonomi, dan aspek kehidupan religi. Situs peninggalan kerajaan Tarumanegara adalah Ciaruton, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, dan Tanjung Barat.

Berdasarkan berita dari Abraham van Riebeeck[9]; dalam perjalanannya pada tahun 1709, menemukan peninggalan bahwa di Karadenan ada benteng pertahanan milik Kerajaan Sunda Pajajaran. Eksistensi kerajaan ini terpaksa berakhir ketika pelabuhan Sunda Kalapa dan ibu kota Kerajaan Sunda Pajajaran terdesak oleh pasukan Islam Kerajaan Demak. Peristiwa di atas dapat dijadikan petunjuk awal mulanya agama Islam masuk dan berkembang di Depok. Hubungan Banten dan Cirebon melalui jalan darat yang dahulu terhambat oleh Kerajaan Sunda, kini sudah tidak terhambat lagi. Oleh karena muncul kampung-kampung yang namanya khas dengan nama-nama lokasi di daerah itu, secara tidak langsung Depok pun menjadi sebuah kawasan yang sering dilalui oleh pedagang dan utusan dari Banten maupun Cirebon.

Bersamaan dengan itu, kekuasaan daerah Islam terdapat di Beji, Kukusan, dan Kemiri. Perkembangan agama Islam di Depok diperkirakan baru dimulai bersamaan dengan perlawanan Banten terhadap VOC yang saat itu berkedudukan di Batavia pada tahun 1619 (Leirissa, 1977: 1). Peranan Cornelis Chastelein dalam sejarah Depok saat memasuki fase kolonial, tidak dapat diabaikan. Dialah orang Belanda yang membuat daerah Depok memiliki kekhasan tersendiri. Chastelein adalah lelaki keturunan Prancis-Belanda. Chastelein merupakan pionir, beliau membentuk sebuah komunitas Kristen pertama di Jawa, di luar komunitas perkotaan Belanda (Lombard, 2000: 96). Ia juga termasuk orang pertama di Indonesia yang mengembangkan bisnis kopi (Heuken, 1997: 200).

Chastelein menggarap hutan menjadi perkebunan dan mengubah perkebunan menjadi permukiman orang Belanda. Chastelein sendiri memiliki cita-cita ingin membentuk suatu komunitas atau dengan perhimpunan Kristen di kalangan pengikutnya. Cita-cita tersebut ia realisasikan dengan mewariskan hampir seluruh tanahnya kepada para hamba sahaya-nya. Setelah Chastelein wafat, para pewaris membentuk pemerintahannya sendiri, mereka memiliki undang-undang dan seorang presiden yang mereka pilih. Pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan yang sesuai dengan isi surat wasiat Chastelein, bahwa Chastelein menginginkan adanya seorang pemimpin dan tujuh orang pembantu yang mengurus daerah Depok.

Mereka mempunyai tugas mengurus tanah dan bangunan yang telah diwariskannya itu, mengatur ternak dan hasil perkebunan, memelihara orang tua dan orang miskin yang tidak mampu bekerja, melindungi masyarakat dari tindak kejahatan serta mampu meyelesaikan perkara atau pertikaian yang terjadi diantara mereka (Het Testamen van Cornelis Chastelein, 1714). Diakhir abad ke 19, pemerintahan tersebut lambat laun memiliki sistem pemerintahan yang lebih rapih, seperti adanya mekanisme pemilihan presiden, undang-undang dan mempunyai kantor pemerintahan.

Pusat pemukiman orang Belanda beserta para budaknya berada di Jalan Pemuda atau Depok Lama. Hingga kini, kita masih dapat melihat peninggalannya, berupa bangunan-bangunan kolonial, seperti gereja, sekolah, dan rumah sakit. Sementara itu, peninggalan berupa tradisi yang masih bertahan, adalah peringatan Chastelein Day, yaitu peringatan hari wafatnya Chastelein yang dirayakan setiap tanggal 28 Juni untuk mengenang jasa Chastelein. Perayaan ini biasa diiringi dengan berbagai macam kegiatan, seperti doa bersama, pertunjukan seni di ruang Eben Haezer, pasar malam, dan lain sebagainya.

Depok kemudian mengalami perkembangan, penduduk yang bermukim pun semakin bervariasi. Ada permukiman orang Cina yang menempati daerah Pondok Cina, permukiman orang Belanda atau pewarisnya yang bermukim di daerah Depok Lama, dan permukiman orang Islam yang terkonsentrasi di wilayah Pancoran Mas. Hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa Depok tidak tumbuh begitu saja secara acak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor itu, antara lain transportasi sungai dan darat, kebijakan politik, ekonomi, pertambahan penduduk, dan penguasaan teknologi.

Berdasarkan pesebaran data-data tinggalan arkeologis, menunjukkan bahwa Depok pada mulannya adalah pemukiman. Depok terbagi menjadi tiga komunitas yang membentuk permukiman dengan corak tersendiri. Permukiman itu terbagi menjadi permukiman penduduk asal yang beragama Islam, permukiman kolonial dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan, dan permukiman Cina yang identik dengan aktivitas perekonomiannya. Peninggalan-peninggalan Islam tersebar dari sebelah utara Depok dan semakin banyak tersebar di selatan Depok. Arah konsentrasi persebaran dari utara ke selatan, karena di sebelah  selatan terdapat pusat Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran di Bogor, yang pernah ditaklukan oleh pasukan Islam dari Banten. Pemukiman Kolonial berada di daerah yang sekarang bernama Depok Lama, dengan pusat kegiatan di Jalan Pemuda. Permukiman Cina berada di daerah paling utara kota Depok yang bernama Pondok Cina.

Selain itu juga terdapat peninggalan kepurbakalaan di daerah sekitar Cimanggis yang berupa banguanan hunian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Depok memiliki karakter permukiman yang khas, yaitu sebuah kawasan yang diperuntukan sebagai tempat pendidikan. Karakter pendidikan itu diperkirakan telah dikenal sejak zaman klasik (Hindu-Budha), kemudian tetap berlangsung dimasa Islam.  Seperti juga pada masa kolonial, nuansa pendidikan pun masih bisa ditemui, yaitu didirikannya sekolah seminari yang memiliki murid dari pelosok nusantara. Seminari ini diduga sebagai cikal bakal sekolah theologia Indonesia.

Peta Depok Tahun 1895 dari “Cornelis Chastelein en de Christen Gemeente Van Depok

Dengan demikian, karakter yang khas untuk menggambarkan Depok adalah sebuah kawasan yang diperuntukkan sebagai tempat pendidikan. Sesuai dengan makna kata ‘depok’ yang disandangnya, depok berasal dari kata padepokan dan padepokan berasal dari patapan yang merujuk pada arti yang sama yaitu “tempat bertapa” atau ‘tempat pendidikan’; yang pada intinya mencari ilmu. Demikianlah branding Kota Depok itu sendiri dalam pandangan retrospektif penulis. Karakter khas Kota Depok sebagai kota pendidikan dan pelajar kini ditandai dengan beberapa Kampus besar yang ikut meramaikan perkembangan Kota Depok itu sendiri, seperti UI, Gunadarma, Jayabaya, STIAMI, LP31, dan lain sebagainya.  Ke depan, Kota Depok dapat berkembang dan disesuaikan dengan branding-nya sebagai kota pendidikan (education city) dalam perencanaan pembangunan kota.

Semoga.


Kota Depok awal tahun 2015; kemacetan di Jalan Margonda Raya menjadi
pemandangan biasa. Perlu ditinjau kembali “branding city” Kota Depok sebagai kota pendidikan


Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada saudari Rian Timadar; teman seangkatan penulis yang telah mengijinkan penulis menggunakan data-datanya; teman-teman ex-komunitas Paduraksa yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu; semoga selalu semangat dalam melestarikan cagar budaya di Indonesia.


Daftar Bacaan
Dirjen Bina Pembangunan Daerah, 2014. "Kemendagri Terus Optimalkan Kawasan Jabodetabekpunjur, dalam http://bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=35. Diunduh pada Sabtu, 25 April 2015, pada pukul 19.20 WIB. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

Djafar, H,. 2005 “Naskah-naskah Sejarah Depok: Pembahasan dan Catatan Permasalahannya”. Makalah Seminar Sehari Sejarah Depok. Diselenggarakan oleh Forum Kerjasama Organisasi Kemasyarakatan Kota Depok bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kota Depok. Depok, 3 Maret 2005.

Djafar, H. 1983. “Gerabah Prasejarah Dari Situs-situs Arkeologi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung, DKI Jakarta”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-III. Ciloto, 23—28 Mei 1983.

Donald, S.,H., dan J.G. Gammack, 2007. Tourism and Branded City: Film and Identity on the Pasific Rim. Hamsphire: Ashgate Publishing

Heuken, A., 1997. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Kawaratzis, M., G. Warnaby., dan G.J. Ashworth, 2015. Rethinking Place Branding: Comprehensive Brand Development for City and Regions.  London: Springer.

Kolb, B. M., 2006. Tourism Marketing for Cities and Town. Oxford: Elsevier

Timadar, R., 2008. Persebaran Data Arkeologi di Depok Abad 17—19: Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Pemukiman. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok (tidak dipublikasikan)

Muslimah, S., 2014. “Apa City Branding Yang Tepat Untuk Kota Depok”, dalam http://news.detik.com/read/2014/11/28/003340/2761572/10/apa-city-branding-yang-tepat-untuk-kota-depok. Diunduh pada hari Senin, 20 April 2015, pada pukul 10.24 WIB.

Priatmojo D, dan Z. Darmawan., 2014. “Waspada, 55 Titik di Kota Depok Rawan Banjir”, Dalam http://metro.news.viva.co.id/news/read/558724-waspada--55-titik-di-kota-depok-rawan-banjir. Diunduh pada hari Minggu,  19 April 2015, pada pukul 13.10 WIB.

Leirissa. R.Z. 1977. “Dari Sunda Kelapa ke Jayakarta”, dalam A. Surjomihardjo (ed.). Beberapa Segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta. hal 14—31. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta

Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I: Batas-Batas Pembaratan. Gramedia. Jakarta.

Wardhani, A.D., 2012. “Evolusi Aktual Aktivitas Urban Tourism di Kota Bandung dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Tempat-Tempat Rekreasi,” dalam Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol 8 (4): 371—382, Desember 2012. Biro Penerbit Undip, Semarang.






[2] Penulis adalah pemerhati masalah budaya dan perkotaan. Penulis dapat dihubungi di: sulistyo.ary26@gmail.com
[3] Ngampus adalah istilah di kalangan anak muda yang diartikan sebagai pergi ke kampus.
[4] Kompas, 12 Februari 2015. Kota Depok Darurat Begal
[5] Tempo, 24 Februari 2015. Depok Kota Ter-kotor Se Jawa Barat
[6] Distro ialah tempat penjualan pakaian dan aksesorisnya dengan merek yang dibuat sendiri, memproduksi produk sendiri mulai dari desain, motif, hingga labelnya.
[7] Factory outlet ialah jenis penjualan pakaian dan aksesorisnya dengan merek tertentu.
[8] Bukti-bukti arkeologi dapat diklasifisikasikan menjadi artefak, fitur, situs. Artefak sifatnya moveable; dapat berpindah-pindah seperti batu, logam, naskah, dan arca. Fitur sifatnya insitu dan merupakan bagian dari suatu bangunan, bisa berbentuk sumur, sisa pondasi, dan lantai. Sedangkan situs adalah tempat ditemukannya artefak dan fitur. Situs bisa hubungan antar artefak dalam satu situs, hubungan antar fitur dalam satu situs, dan hubungan antar situs dalam satu kawasan atau dikenal dengan nama situs kawasan.   
[9] Abraham van Riebeck lahir di Belanda 18 Oktober 1653 dan meninggal pada 17 November 1713 pada usia 60 tahun. Ia adalah Gubernur Jendral Hindia-Belanda yang ke-18 yang memerintah tahun 1709-1713. Ia juga dikenal sebagai orang pertama yang memulai perkebunan kopi di Jawa Barat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT: ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN Oleh: Tawalinuddin Haris [1] dan Ary Sulistyo [2] Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini , lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan ( non digging research ) dimana hanya melihat situs yang insitu , b aik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita