Langsung ke konten utama

Jejak Islam di Nusa Tenggara Barat

MAKAM-MAKAM TUA DI PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT:
ARKEOLOGI ISLAM DAN SEJARAH PEMUKIMAN

Oleh:
Tawalinuddin Haris[1] dan Ary Sulistyo[2]


Pendahuluan: Bukti-bukti Makam Tua
Penelitian ini berlokasi di Sumbawa Besar yang berada di makam Sultan-Sultan Sumbawa di Bukit Sampar dipinggiran Kota Sumbawa Besar, Makam di Desa Mama, Kecamatan Lape, dan Makam Karongkeng di Desa Karongkeng di Kecamatan Empang (Sumbawa Besar), dan Makam Datu Seran, Makam Datu Taliwang, dan Makam Datu Jereweh di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu terdapat juga Makam Keramat Raja di Desa Selaparang, Kabupaten Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. Pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 15 sampai dengan 25 Agustus tahun 2011 ini, lebih bersifat deskriptif, yakni berupa survei permukaan (non digging research) dimana hanya melihat situs yang insitu, baik berdasarkan laporan-laporan terdahulu maupun yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini melihat pada aspek kronologi/angka tahun pada nisan/sejarah tulisan; terutama sejarah masuknya Islam di Sumbawa. Aspek-aspek yang dilihat adalah tipologi (bentuk-bentuk atau variasi dari nisan, dan jirat).

Sejarah dan Bukti Arkeologi Islam
Dari berbagai peninggalan arkeologi seperti kompleks sarkofagus di Aik Renung, Desa Batutering, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa Besar, situs megalitik Talebir, Desa Bangket Monteh, Kecamatan Taliwang  dan nekara perunggu yang ditemukan di Desa Seran, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa  Barat  menunjukkan bahwa  penduduk  Sumbawa (Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa) telah lama memiliki kebudayaan tinggi, yaitu kebudayaan megalitik dan perundagian. Salah satu di antara  kelima sarkofagus Batutering memuat relief figur wanita yang menurut H.E. Steinmetz dan H.R. van Heekeren sama dengan relief  yang sama pada dolmen  di Tegalsari dan relief batu di Pakisan, Besuki.[3] Dari segi teknik pembuatannya pun, dekorasi artefak-artefak megalitik tersebut lebih dekat hubungannya dengan “kompleks megalitik” yang ditemukan  di Indonesia bagian barat.[4]

Nampaknya budaya atau tradisi budaya  megalitik masih berlanjut pada masa-masa kemudian (Islam), sebagaimana nampak dari pemakaian nisan-nisan kubur “menhir” atau nisan “megalit”  di beberapa makam tua di Sumbawa Barat antara lain di  makam Sampar Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar, Makam Datu Pangeran (Taliwang) di Kalurahan Dalam, Kecamatan Taliwang,  dan Makam Datu Seran, Desa Seran, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat. Meskipun  masih menjadi persoalan apakah nisan-nisan “menhir”  atau nisan-nisan “megalit” itu buatan manusia (artefak) atau terbentuk  karena proses alamiah semata (bukan artefak). 

Seperti apa kondisi masyarakat Sumbawa Barat pada masa bercocok tanam dan perundagian, belum banyak yang bisa diungkap karena penelitain kearah itu belum  dilakukan. Tetapi dalam kehidupan budaya megalitik atau epipaleometalik  masyarakat manusia sudah hidup menetap dalam perkampungan dan sudah mengenal budidaya tanaman dan memelihara ternak.[5] Dari sudut pandang budaya terutama bahasa dan ciri fisik penduduk asliya, pulau Sumbawa dapat dibagi menjadi Sumbawa bagian timur (sekarang: Kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu) dan Sumbawa bagian barat  (sekarang : Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat). Sumbawa Timur dikenal dengan nama Mbojo dan penduduknya disebut duo Mbojo (orang Bima). Sedangkan Sumbawa bagian Barat lebih dikenal dengan nama Samawa, sedangkan penduduknya disebut Tau Samawa (orang Sumbawa).

Orang Bima menggunakan bahasa Bima yang secara linguistik dekat dengan bahasa-bahasa di Flores Barat dan Sumba, sedangkan orang Sumbawa  menggunakan bahasa Sumbawa yang secara linguistik dekat  dengan bahasa Sasak (Lombok)[6]. Secara fisik orang Sumbawa (tau Samawa) lebih dekat dengan orang Sasak (penduduk asli pulau Lombok) sedangkan orang Bima (duo Mbojo) dengan dada lebar, leher pendek dan kulit gelap lebih dekat dengan orang Flores.[7]  Lebih jauh Peter G. Gothals mengatakan :“ In these respects Bima’s inhabitant  are closer in their  resemblance  to the inhabitants of flores while, on thr orther hands , western Sumbawa’s population “looks Sasak” in overall physical appearance”.[8]

Kuperus (1936) mengatakan bahwa pemukim-pemukim awal yang datang ke Sumbawa Barat tinggal di daerah pesisir utara dan barat, di sini kemudian terjadi perubahan dari “natuurlandschap” menjadi “ cultuurlandscahap” [9]. Mungkin yang dimaksud oleh Kuperus adalah perubahan budaya yang menggantungkan hidup pada alam menjadi budaya yang mengubah alam. Berbeda dengan di daerah Bima, di Sumbawa Barat belum pernah ada laporan tentang ditemukannya artefak-artefak yang bernapaskan agama Hindu maupun agama Budha. Namun demikian, tidak berarti bahwa wilayah ini tidak pernah mendapatkan pengaruh Hindu, baik yang datang dari Jawa maupun dari Bali. Keberadaan pengaruh budaya Hindu di Pulau Sumbawa  tidak diragukan lagi  karena disebutkan dalam sumber tertulis dan didukung oleh bukti-bukti arkeologi.

Dalam sumber Cina, Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chou-ju-kua pada tahun 1225 disebutkan bahwa di antara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho-po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi di Pulau Sumbawa, Flores atau Sumba. Jika Cho-po identik dengan Jawa  maka tentunya  kerajaan  yang berkuasa di Cho-po pada waktu itu adalah kerajaan Kadiri. Menurut van Naerssen, Kadiri merupakan satu kerajaan  maritim sebab di dalam salah satu prasastinya  yang berangka tahun 1181 AD disebut nama Senapati Sarwajala, seorang pejabat (panglima) yang berhubungan dengan tugas-tugas kelautan. Jika tafsiran itu dapat diterima maka ada kemungkinan Pulau Sumbawa termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Kadiri, atau setidak-tidaknya ada dibawah pengaruhnya.[10] 
Dalam sejumlah naskah Jawa kuno seperti Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Pamancangah, Kidung Ranggalawe dan Serat Kanda disebutkan sejumlah nama tempat di Pulau Sumbawa yang sekaligus menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut  sudah dikenal oleh kerajaan Majapahit. Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, pupuh 14:3 dikutip sebagai berikut[11] :

“sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnanen ri bali makamulya tan badahulu mwan i lwagajah gurun makamulya sukun ri taliwang ri dompo sape ri sanghyang ap bhīma ceran i hutan kadaly apupul”

Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit, yaitu: Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhīma, Seran dan Hutan Kadaly, tiga di antaranya sekarang terletak di wilayah  Sumbawa Barat, yaitu : Utan Kadaly (di Kabupaten Sumbawa Besar), kemudian Taliwang dan Seran (di Kabupaten Sumbawa Barat). Apakah nama tempat yang disebutkan dalam Nagarakertagama itu sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri-sendiri, atau bagian dari suatu sistem pemerintahan (kerajaan) yang lebih besar, belum diketahui secara pasti.

Dalam bukunya, Lalu Manca (1984) menyebutkan sejumlah kerajaan kecil di Sumbawa Barat, di bagian tengah dan selatan terdapat Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Datu Naga di Petonang (Ropang), Kerajaan Aik Renung  (Moyo Hulu), Kerajaan Dewa Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Perumpuk di dekat Pernek (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa) dan Kerajaan Gunung Galesa (Moyo Hilir). Di sebelah timur terdapat Kerajaan Tangko (Empang), Kerajaan Kolong (Plampang), Kerajaan Ngali dan Kerajaan Dongan di  Lape. Di sebelah barat terdapat Kerajaan Hutan (Utan), Kerajaan Seran di Seteluk, Kerajaan Taliwang. Di Taliwang dan Kerajaan Jerewe di Jerewe[12].

Sayang sekali Manca tidak menyebutkan sumber yang menjadi rujukannya. Kalau penjelasan di atas benar, mungkin yang dimaksud dengan “kerajaan” oleh Lalu Manca seperti disebutkan diatas bukan dalam pengertian “state “ atau “negara”, tetapi mengacu pada suatu kelompok masyarakat  setingkat supra desa (sekarang: setingkat kecamatan) yang dikuasai atau diperintah seorang pemimpin. Dalam kenyataan setelah kemerdekaan, kerajaan-kerajaan kecil yang dimaksud oleh Manca di atas menjadi wilayah kecamatan di Kabupaten Sumbawa Besar.

Di Bima para pemimpin tingkat “supra desa” disebut Ncuhi, yang oleh Bouman (1925) diidentifikasi sebagai tuan tanah.[13] Ada kemungkinan bahwa  para pemimpin kerajaan-kerajaan kecil, yang bergelar Datu atau Dewa  seperti yang dikemukakan oleh Manca di atas adalah tuan tanah atau pendiri (cikal bakal) desa. Dalam perkembangannya kemudian bersatu membentuk sebuah kerajaan, yaitu kerajaan Samawa. Selain dengan Jawa, Sumbawa memiliki hubungan politik dengan Bali, sebagaimana disebutkan dalam Kidung Pamancangah. Dalam kidung tersebut dikatakan bahwa Pasung Girih, raja Bedahulu mengirim ekspedisi ke Sāmbhawa yang pada waktu itu diperintah oleh Dedelanatha. Bahkan di bagian lain dari kidung itu menyebutkan bahwa cucu perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa kawin dengan seseorang dari Sāmbhawa.[14] Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raja Batu Renggong memerintah di Kerajaan Gelgel dengan ibukotanya di Samprangan (Gianyar) di Pulau Bali tidak lagi menjadi kekuasaan raja Jawa (Majapahit), tetapi merupakan kerajaan yang berdiri sendiri. Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa serta seluruh Balambangan sampai Puger (Lumanjang).[15]

Apakah Sāmbhawa  (Sumbawa) identik dengan Pulau Sumbawa  yang tentunya termasuk di dalamnya Sumbawa Timur (Bima dan Dompu), ataukah yang dimaksud hanya Sumbawa Barat  yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat, dapat didiskusikan lebih jauh. Namun dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh budaya Hindu di Sumbawa bagian barat datang atau dibawa dari Jawa   dan Bali. Kalau kita merujuk pada berita Cina, Chu-fan-chi,  mungkin pengaruh budaya Hindu sudah hadir diTana Samawa pada masa Kadiri sekitar abad ke-11. Kemudian dilanjutkan pada masa-masa berikutnya oleh Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Majapahit surut dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan Bali seperti Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Bedahulu. Dari sumber sastra Jawa kuno telah dipaparkan di atas tersirat bahwa budaya Hindu dibawa ke Sumbawa  melalui kekuatan senjata (perang) atau dengan cara damai (perkawinan). Mungkin juga  budaya Hindu tersebar ke Pulau Sumbawa melalui kontak dagang karena rute perdagangan yang melalui pulau-pulau Sunda Kecil diperkirakan sudah ada sejak  abad ke-13, terbukti dalam Chu-fan-chi  yang ditulis oleh Chou-ju-kua  pada tahun 1225 terdapat nama Ta-kang yang diduga berlokasi di Sumbawa, Flores atau Sumba.

Dalam cacatan perjalanan jarak jauh, Shun Feng Hsiang Sun  yang ditulis sekitar 1430 M diperoleh juga informasi berkenaan dengan rute pelayaran-perdagangan melewati pulau-pulau Sunda Kecil, termasuk Pulau Sumbawa. Pertama adalah rute pelayaran-perdagangan Banten ke Timor melalui Kalapa, Tanjung Indramayu, Cirebon, Gunung Muria, Gunung Gumuk, Tanjung Awar-Awar, Madura, terus ke selatan menuju Jaratan dan Gresik, ke timur sampai ke ujung Madura, terus ke selatan ke Panarukan, terus ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Kedua  rute pelayaran-perdagangan dari Patani ke Timor. Dari Patani menuju ke pantai timur Semenanjung Malaya, Pulau Tioman (Ti-p’an) menuju ke Ch’i (Pulau Badas) menuju ke Karimata, terus ke Karimunjawa, pantai utara Jawa, Gunung Muria, terus ke timur sampai ke Gresik menuju ke Pulau Raas, Bali, Lombok, Sumbawa, Gunung Kadiendinas, terus ke Selat Sangheang, Selat Sape dan akhirnya ke Sumba dan Timor.[16]

Pada awal abad ke-16, Tome Pires seorang musafir Portugis memberitakan adanya rute pelayaran-perdagangan rempah-rempah dari Malaka ke Maluku, melewati pulau Sumbawa  setelah pulau Jawa. Rute pelayaran-perdagangan ini melewati Baly (Bali) Bombo (Lombok), Shimbawa (Sumbawa), Byma (Bima), Fogud (Pulau Sangeng), Salaro (Solor), Malua (Alor), Lucucambay (Pulau Kambing), Citar, Batojmbey dan pulau-pulau lainnya sambung menyambung tak terputus. 

Selanjutnya dikatakan bahwa Bali, Lombok dan Sumbawa sudah memiliki raja masing-masing , memiliki banyak pelabuhan dengan  persediaan  air bersih, bahan makanan,  dan budak laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah para perampok dan memiliki perahu untuk menjarah, mereka menyembah berhala. Mereka membawa bahan makanan dan  pakaian untuk diperdagangankan sedangkan budak serta kuda mereka bawa ke Jawa untuk di jual[17]Pulau-pulau Sunda Kecil dengan air minum yang baik dan berlimpahnya suplai makanan merupakan tempat istirahat para pedagang Malaka dan Jawa dalam perjalanan  ke Maluku atau sebaliknya.  Sumbawa dan Bima mensuplai pedagang-pedagang  Malaka dengan kayu Celup (kayu dye), kayu ini  kemudian diekspor dari Malaka ke Cina. meskipun kualitasnya lebih rendah dari  kayu Siam.[18]  

Aktivitas pedagang-pedagang Malaka  menyebabkan agama Islam tersebar luas dan dalam hubungan ini nampaknya perdagangan menjadi faktor penting dalam islamisasi di Nusantara termasuk pulau di Sumbawa. Oleh karena itu, diduga  bahwa agama Islam masuk ke Sumbawa dari  arah utara atau barat dan  pemukiman-pemukiman awal muslim seharusnya berada di daerah pesisir  barat atau utara  sebagaimana diindikasikan oleh  makam-makam tua, bukan dari  selatan (pantai selatan), seperti  dikemukakan oleh komunitas yang menamakan dirinya Cek Bocek Selesek Reen SuriDuarte Barbosa, seorang pegawai pos dagang Portugis di Cannanor di pantai Malabar dalam bukunya “Livro” ditulis sekitar tahun 1518, menyebutkan tentang pulau Cinboaba”.  Barbosa mengatakan:

“Beyond this Island Greater Java there is another Island which also very large  and fertile  and well-furnished with victuals of all kinds. It is peopled with Heathen and the King also is Heathen. The Island among them is called Cinboaba but the  Moors, Arabs and Persians it Lesser Java. Beyond this is yet another small Island  called Ocape the midst whereof fire is ever burning. Its people are Heathenswho travel on horseback and are good riders. The women wear Suruces, they are great cattlebreeders”[19]  

Menurut Kuperus, Pulau Cinboaba sangat mungkin identik dengan Sumbawa sedangkan Pulau Ocape identik dengan Pulau Sangeang.[20] Jadi fragmen-fragmen yang dikutip dari buku Barbosa di atas, menurut Le Rolux berhubungan dengan Pulau Sumbawa, yaitu Sumbawa bagian barat (Sumbawa barat) dan Sumbawa bagian timur (Sumbawa timur atau Pulau Sangeang). Dengan demikian kalau kita mengacu kepada sumber-sumber sejarah seperti sastra Jawa Kuno, sumber Cina, berita Portugis dan bukti-bukti arkeologi  seperti telah dipaparkan di atas  maka sejak abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-16, daerah pesisir selatan pulau Sumbawa belum dikenal,  mungkin karena belum pernah disinggahi para pelaut dan pedagang, baik dari dalam maupun dari luar kepulauan Nusantara.  Kuda, kayu sappan dan kayu kuning atau  kayu dye (kayu celup) yang menjadi komoditas  andalan Pulau Sumbawa diperdagangan dan diekspor melalui pelabuhan-pelabuhan di pantai utara, sebagaimana diindikasikan oleh sumber–sumber sastra Jawa kuno dan sumber Portugis.

Kalau ada asumsi (pendapat, teori) yang mengklaim daerah pesisir selatan Pulau Sumbawa pernah disinggahi ekspedisi Datu Awan Mas Kuning pada tahun 1492 dalam rangka menyebarkan agama Islam,  patut diragukan kredibelitasnya karena sumber rujukannya tidak jelas.  Selain itu dari sumber Portugis di atas (Tome Pires dan Duarte Barbosa)  dapat ditarik kesimpulan bahwa  penduduk dan raja di pulau Sumbawa belum memeluk agama Islam. Duarte Barbosa mengatakan bahwa penduduk dan raja pulau Cinboaba masih menyembah berhala (Its is people with Heathen and the King also is Heathen). Kata “heathen” (Inggris) atau “heiden “(Belanda) bisa diterjemahkan dengan “penyembah berhala”. Dengan demikian menurut Kuperus, pada awal abad ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat berpijak di Sumbawa.[21]

Dalam bukunya Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah), Lalu Manca mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke Sumbawa oleh orang-orang atau mubalig-muballig Arab dari Gresik sambil berniaga. Salah seorang di antaranya  adalah  Syekh  Zainul Abidin, salah seorang murid Sunan Giri.[22] Di dalam salah satu versi Babad Lombok yang selesai ditulis pada tahun 1301 H (1883 M) disebutkan bahwa pembawa agama Islam ke Pulau Lombok adalah Sunan Prapen dari Giri, Gresik.

Sunan Prapen mengislamkam penduduk Pulau Lombok dengan suatu ekspedisi militer dan setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa mengislamkan Taliwang, Seran, dan Bima untuk maksud yang sama.[23] Menurut H.J. de Graaf jika informasi dalam Babad Lombok itu dapat dibenarkan maka peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri, Gresik (1506--1545).[24] Selain dari Jawa, agama Islam di Pulau Sumbawa dibawa oleh orang-orang Buigis dan Makasar, baik dengan penaklukan maupun melalui dakwah dan saluran perkawinan antara elit politik di Pulau Sumbawa, baik di Kasultanan Bima maupun di Kasultanan Sumbawa. Bahkan setelah Kerajaan Goa dinyatakan  menyerah kepada VOC dengan ditanda tanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, elit politik kerajaan Goa yang tidak senang kepada Belanda berdiaspora ke seluruh Nusantara dan kerap kali mengganggu kepentingan VOC, banyak diantaranya yang berlindung di Pulau Sumbawa. Dalam kronik Goa disebutkan bahwa Bima, Dompu dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, Raja Tallo yang juga perdana menteri Kerajaan Goa. Goa empat kali mengirim ekspedisi militernya ke Bima, dua kali ke Sumbawa dan masing-masing satu kali ke Dompu, Kengkelu (Tambora) dan Papekat.[25]  Pengiriman ekspedisi kerajaan Goa ke Sumbawa berlangsung pada tahun 1619 menurut cacatan harian kerajaan Goa dan tahun 1626 menurut catatan Speelman.

Kapan proses Islamisasi  mencapai puncaknya di Tana Samawa (Sumbawa Barat)  dan munculnya pusat kekuasaan Islam (Kasultanan Samawa) belum diketahui secara pasti. Lalu Manca berpendapat Sultan Harunurrasyid I yang memerintah 1674-1702  adalah raja atau sultan pertama dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Dinasti ini muncul setelah  Dinsati Awan Kuning  dengan rajanya yang terakhir Dewa Maya Paruwa. Selama keberadaannya sempat memerintah (berkuasa) 15 sultan, dimulai dari sultan pertama, Sultan  Harunurrasyid I (1674-1702) dan sultan ke-15, Sultan Muhammad Kaharudin III ( 1931-1958 ).[26]

Sebaliknya kalau kita mengacu pada  J. Noorduyn (1987) maka Kasultanan Samawa sudah  terbentuk sebelum tahun 1648, meskipun tidak diketahui siapa nama rajanya. Menurut Noorduyn (1987) selama keberadaannya  di Kasultanan Sumbawa sempat memerintah 18 atau 19 raja atau sultan, dimulai dari  Mas Pamayan atau Mas Cini (1648-1668) sebagai raja yang kedua dan Sultan Muhammad Kaharuddin (1931-1958) sebagai sultan yang ke-19.[27] Sultan yang paling lama berkuasa adalah Sultan Amrullah ( 1837-1883 ), beliau adalah sultan yang ke-13 menurut versi Lalu Manca dan sultan yang ke-17, menurut versi Noorduyn. Secara geografis letak Kasultanan Sumbawa antara 116° 35’ dan 118° 15’ BT dan antara 8°5’’dan 9°5’’LS. Luasnya 844 km persegi dengan wilayah hukum menurut Lange Politik Contrak (1938) sebagai berikut: di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, sebelah  barat dengan Selat Alas  dan di sebelah timur dengan Kerajaan Dompu. Termasuk juga ke dalam wilayah kasultanan Sumbawa sejumlah pulau-pulau kecil di sekitarnya.[28]

Makam-Makam Tua Di Kabupaten Sumbawa Besar
Makam  Sampar
Makam Sampar berlokasi di bukit Sampar, secara administratif  termasuk wilayah Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar. Lokasi ini  berada di pinggiran kota Sumbawa Besar dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua  (motor) maupun roda empat (mobil),  jaraknya tidak begitu jauh dari Bale Rea atau Dalem Loka, bekas istana Sultan Sumbawa. Makam Bukit Sampar adalah  tempat pemakaman raja atau sultan Sumbawa beserta keluarganya, antara lain sultan yang ke-13, Sultan Amrullah yang memerintah tahun 1836-1882.[29] Ketika pada tahun 1982 penulis mengunjungi tempat ini, lokasi makam masih ditumbuhi semak belukar dan alang-alang dan sejumlah jirat dan nisan makam terbuat dari kayu, di antaranya jirat dan nisan makam Sultan Amarullah. Pada nisan makam Sultan Amarullah terdapat inskripsi pendek dengan tulisan Arab berbahasa Melayu menyebut nama tokoh yang dimakamkan (lihat foto no.1).


(Foto 1. Makam-Makam Sultan Sumbawa di Bukit Sampar, Desa Seketeng, Sumbawa)

Nampaknya lokasi pemakaman raja atau sultan di atas bukit atau tempat yang sengaja ditinggikan bukan hanya monopoli penguasa-penguasa di pulau Jawa, yang oleh para pakar dipandang atau dihubungkan dengan pengaruh budaya pra–Islam. Makam Sampar dikelilingi tembok bata yang diplester semen, tinggi sekitar 2 meter  dan tidak digunakan lagi sebagai tempat pemakaman atau sudah menjadi monument mati (dead monument). Sayang sekali ketika kami berkunjung ke lokasi makam untuk studi banding (tanggal 22 Agustus 2011), kami tidak bisa masuk ke halaman makam karena pintu digembok. Menurut keterangan Jupel (Juru Pelihara) kunci pintu makam di bawa oleh salah seorang keluarga sultan. Namun dari pengamatan sepintas dari balik pintu besi, terlihat  bahwa  sebagian besar jirat dan nisan  di dalam kompleks makam ini terbuat dari batu kali (andesit), baik yang masih utuh maupun yang pecahan. Di antaranya terdapat sejumlah  batu nisan dari balok-balok batu yang relatif besar yang menyerupai bentuk menhir dari kebudayaan prasejarah.  

Makam Karongkeng
Lokasi makam kira-kira 10 km dari kota Kecamatan Empang yang ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor) maupun roda empat (mobil). Makam ini di terletak di puncak bukit kecil (bukit Karongkeng) dengan ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut. Secara administratif termasuk wilayah Kampung Karongkeng, Desa Batu Lante, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa. Makam ini dikelilingi pagar kayu dan di halaman makam yang ditumbuhi pohon kamboja (Plumeria sp.) itu terdapat 5 buah makam, dua di antaranya menarik perhatian karena jirat maupun batu nisannya terbuat dari batu putih (padas), memuat tulisan (inskripsi) Arab berbahasa Melayu. Untuk memudahkannya kedua makam yang unik ini kami sebut Makam A dan makam B (lihat foto no.2).

(Foto 2. Situs Makam Karongkeng, Kec.Empang, Kab. Sumbawa Besar)

Disisi lain teknik pembuatan jirat kedua makam itu cukup menarik yaitu dengan menangkupkan empat bilah papan batu padas  sehingga membentuk kotak jirat, kemudian dibagian tengahnya ditancapkan nisan.  Pada sisi utara (bagian kepala), dan sisi selatan ( bagian kaki) bilah-bilah papan batu itu ditinggikan membentuk setengah lingkaran atau segi tiga. Teknik pembuatan jirat makam seperti ini mengingatkan pada teknik pembuatan  makam  yang berkembang di Kalimantan dari papan-papan kayu ulin atau kayu besi. Jirat maupun batu nisan dipenuhi  dengan ukiran motif flora atau sulur daun dan  pada jarak tertentu terdapat lubang-lubang kecil (lubang bor) untuk (tempat) menancapkan bunga ketika dilakukan ritual ziarah kubur. Menurut penjelasan Jupel (Juru pelihara), makam ini sering dikunjungi  (di ziarahi) pada  bulan Syawal  (Lebaran Idul Fitri) dan bulan  Zulhijjah (Lebaran Idul Adha).

Makam A berukuran panjang 190 cm, lebar 82 cm, tinggi 81 cm. Nisannya dua buah (nisan kepala dan kaki) bentuknya seperti gada dengan dasar segi delapan (oktagonal), bagian tengahnya sama seperti bagian dasarnya (oktagonal) namun ukurannya makin ke atas makin membesar  dan akhirnya puncaknya bulat. Pada bagian tengahnya terdapat ukiran motif flora  yang memenuhi hampir seluruh permukaannya.  Di sisi luar batu jirat  terdapat delapan baris inskripsi Arab dengan bahasa Melayu menyebut nama: Dea Tuan Syarif Muhammad Idrus Ibnu Al Marhum Muhammad Ali, wafat pada hari Jum’at  tanggal 12 Zulhajji tahun 1277 Hijrah.[30] Dikalangan masyarakat sekitarnya tokoh ini lebih populer (dikenal)  dengan  nama  Dea Syeruf. Di sebelah barat makam A (makam Dea Syeruf) terdapat  makam Syeh Abdul Karim  (Haji Kari). Meskipun bentuk jirat dan nisannya  lebih sederhana dari makam Dea Syeruf, tetapi justru makam ini yang paling dikeramatkan oleh masyarakat sekitarnya. Disebelah barat makam Syeh Abdul Karim terdapat makam istrinya, jirat maupun nisan dari  pecahan batu kali andesit.
(Foto 3. Makam A, terlihat inskripsi yang menyebutkan tokoh
Dea Tuan Syarif Muhammad Idrus Ibnu Al Marhum Muhammad Ali)

Makam B berukuran panjang 190 cm, lebar 73 cm, tinggi 80 cm. Bentuk jiratnya hampir sama dengan makam A, namun batu nisannya hanya satu  ditancapkan ditengah-tengah kotak jirat.  Meskipun batu nisan tersebut hampir sama dengan makam A, namun agak pipih, bagian tengahnya segi empat makin ke atas makin melebar. Pada batu nisan ini terdapat inskripsi Arab berbahasa Arab yang menyebut nama tokoh: Muhammad Hasyim Ibnu Muhammad Sirajuddin, wafat pada 6 Jumadil Akhir  tahun 1288 Hijrah.[31]

(Foto 4. Nisan Makam B terdapat inskripsi yang menyebut tokoh:
Muhammad Hasyim Ibnu Muhammad Sirajuddin)

Pada bagian luar papan batu jirat sisi selatan (bagian kepala) ada juga tulisan Arab berbunyi: Allah, Muhammad dan nama khalifah yang empat (Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali). Di sebelah makam ini terdapat makam yang oleh masyarakat dikenal sebagai makam Dea Bundari, dari namanya ada kemungkinan tokoh ini adalah seorang wanita. Kondisi  makam hampir sama dengan makam istri Syeh Abdful Karim  yang telah dijelaskan di atas.
(Foto 5. Makam B yang menyebut Allah, Muhammad dan nama khalifah:
Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali)

Makam-Makam Tua Di Kabupaten Sumbawa Barat
Makam Datu Seran
Lokasi makam secara administratif termasuk wilayah Kampung Seran Rempe, Desa Seran, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat.  Sampai di depan lapangan bola dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor) maupun kendaraan roda empat (mobil), kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui pematang sawah (menerobos lahan tadah hujan) dan  pohon-pohon bambu. Makam  ini terletak di tepi hutan dibawah reribunan pohon beringan. Luas lahan (situs) sekitar  500 meter persegi dikelilingi pagar kawat berduri.  Di luar pagar terdapat rumah panggung (tanpa dinding) tempat penziarah beristirahat.  Di halaman makam terdapat bangunan cungkup berukuran 2,5 meter x 1,5 meter, berdinding papan  dan di dalam terdapat  makam  Datu Seran, Lalu Meraja Mas Pakil.[32] Nisannya  dua buah dari batu padas dan sudah retak, nisan kepala dan kaki berbeda sehingga ada kemungkinan sudah tidak asli. Menurut Sodrie (1977) bentuknya  mengingatkan pada nisan tipe Demak.[33] Tetapi menurut pengamatan kami bentuk batu nisan makam Datu Seran itu justru  mirip dengan batu nisan  (istri ?)  Penghulu Gading di kompleks Makam Kramat Raja, Selaparang Lombok (lihat foto no.6).
(Foto 6. Situs Makam Datu Seran, Desa Seran, Kec. Seteluk, Kab. Sumbawa Barat)

Yang menarik perhatian bahwa di kompleks makam Datu Seran  terdapat sebuah nisan kubur dari batu andesit, bentuknya mengingatkan pada bentuk nisan yang oleh Hasan Muarif Ambary disebutnya sebagai nisan tipe kepala kerbau bertanduk,  satu tipe batu nisan yang banyak ditemukan di Aceh.  Batu nisan seperti itu ditemukan juga di kompleks Makam Kramat Raja Selaparang, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur.  Selain itu di dalam kompleks makam Datu Seran terdapat sejumlah nisan kubur dari batu kali (monolit) bahkan dari balok-balok batu yang mengingatkan kepada bentuk menhir, seperti yang ditemukan di Makam Sampar.
(Foto 7. Bawah: nisan tipe “kepala kerbau bertanduk”. Atas: nisan-nisan batu monolith)


Makam Datu Taliwang
Makam Datu Taliwang atau Makam Datu Pangeran berlokasi di halaman samping Masjid Agung Nurul Falah, Taliwang. Secara administratif termasuk wilayah Lingkungan Sebok, Kalurahan Dalam, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat. Lokasi makam bersebelahan dengan pemakaman umum, luasnya sekitar 200 meter persegi, dapat ditempuh  dengan kendaraan  roda dua maupun roda empat sampai ke lokasi makam. Jirat makam  pada umumnya terbuat dari balok-balok batu kali andesit yang berukuran relatif besar dalam posisi yang rapat. Pada salah satu sudut halaman makam terdapat  rumah panggung yang sudah rusak , mungkin dulunya  adalah tempat beristirahat para penziarah makam.

Seperti halnya jirat, batu nisan di dalam kompleks makam ini  juga dari bahan yang sama, yaitu batu-batu  monolit berukuran besar, ditancapkan (ditegakkan) sehingga menyerupai  bentuk menhir dari kebudayaan megalit. Seperti telah dijelaskan di atas, jirat makam dan batu nisan seperti ini ditemukan juga di kompleks Makam Sampar. Apakah nisan-nisan  seperti ini terbentuk karena tangan-tangan manusia (artefak) ataukah karena proses alam semata, perlu kajian khusus. Meskipun dalam bentuk yang agak berbeda,  sepanjang yang kami ketahui, batu nisan “megalit” seperti ini banyak  ditemukan atau dipakai di kompleks Makam Wattan Soppeng di Enrekang, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.  Kecuali batu nisan-nisan “menhir” atau nisan “megalit”, di dalam kompleks  makam ini terdapat sejumlah nisan dari batu padas  (mungkin batu granit) berwarna kekuning-kuningan.  Ukuran lebarnya  lebih besar dari ukuran ketebalan sehingga nampak agak pipih.  Kepala nisan segi tiga dan pada permukaan sisi luar dan dalam dipenuhi dengan ukiran  motif flora,  (istilah lokal: lonto engal dan kemang sitangi), dan medallion.
(Foto 8. Kompleks Makam-makam di Mesjid Nurul Falah, Taliwang)

Beberapa di antaranya batu nisan seperti ini mengandung  inskripsi  Arab berbahasa Melayu yang diselipkan beberapa kata dari bahasa Sumbawa. Di antaranya  menyebut nama: Tuan Pangeran wafat  pada hari Rabo bulan Rabiul Awal  tahun  1287 H[34]. Selengkapnya, inskripsi tersebut berbunyi : “ 1287, kepada dua hari bulan Rabiul awal ano rabo tin dal (awal ?) lengit tuan pangeran”.  Oleh masyarakat makam ini dikenal sebagai Makam Datu Pangeran, salah seorang penguasa  di Kerajaan  Taliwang dan menjadi tokoh sentral yang dimakamkan di kompleks ini.



(Foto 9. Nisan yang menyebut tokoh Tuan Pangeran)

Jirat makamnya terbuat dari bilah-bilah papan batu padas dan batu nisannya berukuran paling besar diantara nisan -nisan kubur dari bahan batu yang sama (batu padas). Sayang sekali tidak semua inskripsinya dapat terbaca karena sudah aus, pada salah satu sisi (permukaan) batu nisan terdapat kaligrafi Arab yang menggambarkan kalimat basmallah (bismillahirrohmaanirrohim) dan nama Muhammad dipahat rangkap/ganda, satu ke kiri dan satu ke kanan (lihat foto 10a;). Ada  juga beberapa inskripsi pendek  yang menyebut  angka tahun (tahun 1252 H, 1287 H, 1290 H dan 1347 H [35]) tanpa menyebut nama tokoh yang dimakamkan (lihat foto no.10b; nisan berangka tahun 1287 H)

(Foto 10 Nisan berinskripsi Bawah: Nisan 10a dan Atas: Nisan 10b)

Makam Datu Jereweh
Secara administratif makam ini terletak di Desa Jereweh, Kecamatan Jereweh , Kabupaten Sumbawa Barat. Lokasi makam dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor roda dua maupun  roda empat sampai ke pinggiran desa kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki  sekitar lima menit menyebrangi  sebuah sungai.  Dalam bangunan cungkup yang berukuran  5 x 5 m  terdapat 2 makam yang oleh masayarakat sekitarnya  dianggap makam Datu Jereweh dan keluarganya . Makam- makam ini sudah disemen bahkan tiga diantaranya sudah dipasang (diganti) dengan keramik sehingga nampak seperti makam baru.

Nisannya dari batu kali andesit, sedangkan kotak  jirat dipenuhi dengan kerikil seperti lazimnya makam-makam  baru yang ada disekitarnya. Siapa sesungguhnya nama tokoh yang dimakamkan  belum diketahui, pada dua makam terdapat inskripsi huruf latin menyebut nama Dea Tia dan Dea Mas. Menurut  cerita rakyat, makam Datu Jereweh lebih dari satu,  karena  setelah dikalahkan oleh  Belanda lalu dibunuh dan jasadnya dipotong-potong (dimutilasi) menjadi beberapa bagian,konon  yang dimakamkan di Jerewe adalah kepalanya.
Foto 10 c. Makam Datu Jereweh

Pemukiman Islam di Sumbawa
Pusat-pusat pemukiman dan pusat-pusat kekuasaan di Pulau Sumbawa  muncul dan berkembang di pesisisr utara. Sudah pasti ada kaitannya dengan faktor lingkungan. Kecuali dekat dengan laut yang merupakan jalur perlayaran-perdagangan, daerah-daerah sekitar Alas, Utan, Sumbawa Besar, Plampang dan Empang merupakan lahan pertanian yang subur. Kawasan  pesisir utara dan barat pulau Sumbawa seperti Taliwang, Seran, Utan Kadaly (Utan), Bhima (Bima),  Dompo (Dompu)  dan Sangiang Api (Pulau Sangeang) telah dicatat  sebagai bagian dari kerjaan Majapahit oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertama yang ditulis tahun 1365.[36]

Dalam disertasinya Kuperus (1936) berasumsi bahwa penduduk yang pertama datang di Sumbawa Barat (kabupaten Sumbawa Besar dan kabupaten Sumbawa Barat) bermukim di pesisir barat dan utara, kemudian dari tempat ini terjadi perubahan  bentuk  “natuurlandschap” menjadi “cultuurlandschap”. [37] Mungkin yang dimaksudkan oleh Kuperus adalah bentuk kehidupan yang tadinya menggantungkan pada alam menjadi manusia yang berbudaya atau manusia yang mampu mengubah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terbukti bahwa pemukiman-pemukiman di daerah pesisir  berkembang menjadi kerajaan-kerajaan kecil, daerah aliran sungai di Sumbawa barat, dataran rendah di Taliwang, Alas, Utan, Sumbawa Besar dan Empang berada di lokasi-lakasi dimana penduduknya berkembang dan membangun kohesi secara politik.[38]

Faktor lingkungan yang menjadi alasan mengapa suku-suku pendatang seperti orang-orang Bugis, Makasar, Selayar, Sasak, Jawa, Madura, Arab dan lain-lain memilih lokasi bermukin di daerah pesisir seperti di Panjarong, Labupadi, Labuaji, Labujamu, Labu Bontong, Sumbawa dan Empang. Demikian juga dengan  pusat–pusat kekuasaan di Pulau Sumbawa  seperti Kerajaan Samawa, Kerajaan Dompu, Kerajaan Bima, Kerajaan Papekat, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Sanggar lokasinya di sepanjang garis pantai  dan  tidak jauh dari laut.  Menurut Kuperus pada tahun 1931-1932 sebagian besar daerah pesisir Sumbawa Barat dihuni oleh  pendatang, sedangkan orang-orang Sumbawa lebih banyak bermukim di pedalaman.[39] 
Berbicara mengenai daya dukung lingkungan yang baik wujudnya tidak hanya  lahan pertanian yang subur (hinterland), juga laut yang luas (foreland) atau potensi alam lainnya yang ada di sekitarnya termasuk hasil hutan atau hutan yang subur untuk ditanami. Oleh karena itu mungkin karena daya dukung lingkungannya baik, di tempat yang sekarang hutan belantara itu, beberapa puluh tahun silam pernah dihuni oleh  manusia,  yang dalam  sumber tertulis dan ingatan masyarakat setempat dikenal sebagai Desa Dodo. Pemilihan lokasi pemukiman sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya yang akan dieksploitasi  sebagai penunjang kehidupan, misalnya dengan sungai atau hutan yang kaya dengan sumber daya baik flora maupun fauna. Proses adaptasi manusia dengan lingkungannya jika ditilik dari geografi, sosial, politik, kultural, dan ekonomi menempatkan pemukimannya berdekatan dengan sumber air. Proses adaptasi manusia Indonesia dengan lingkungannya jika ditilik dari geografi, sosial, politik, kultural, dan ekonomi menempatkan pemukimannya berdekatan dengan sumber air. Daerah-daerah sumber air di antaranya adalah sungai, mata air, rawa dan laut.
Pembangunan pemukiman-pemukiman yang berupa bangunan-bangunan bersifat propan, seperti rumah tinggal  biasanya didirikan pada tempat-tempat yang relatif datar dan dekat dengan sumber air atau sungai. Lain halnya, konsepsi kepercayaan  pembangunan bangunan-bangunan yang berhubungan kegiatan religius seperti penguburan, pemujaan atau upacara keagamaan lainnya  selalu diusahakan  berada atau ditempatkan pada lokasi-lokasi  yang relatif lebih tinggi dari tempat tinggal dan pemukiman, seperti  puncak gunung  atau bukit atau tempat-tempat  yang sengaja ditinggikan untuk kepercayaan  itu.   
Mengenai sumber dan hasil hutan, Pulau Sumbawa menurut sumber tertulis, selain dikenal dengan kudanya (Equus caballus) Pulau Sumbawa terkenal dengan hasil hutannya seperti kayu jati (Tectona grandis), kayu bilalang (Robinia pseudoacacia L.), kayu katunding, kayu langating, kayu sappan/secang (Caesilpinia sappan L.) dan kayu kuning atau tegerang (Arcangelisia flava Merr), kayu bingkuru atau mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan bambu (Bambusa sp.).[40]  Tiga di antara jenis kayu yang sering disebut-sebut dalam sumber tertulis adalah  kayu jati, kayu sappan dan kayu kuning atau tegerang. Kayu kuning  dikenal  juga dengan kayu dye (kayu celup) karena air rebusannya dapat digunakan untuk mencelup kain atau membatik. Dulu kayu sappan dan kayu kuning  (tegerang) diekspor oleh orang-orang Cina ke Semarang dan Surabaya, setiap tahunnya mencapai 2000 pikul[41]
Dalam laporan atau arsip para pejabat kompeni yang  pernah bertugas di Sumbawa yang digunakan oleh Kuperus (1936) sebagai bahan penyusunan disertasinya diperoleh informasi  bahwa, luas hutan di Sumbawa Barat mencapai 20 % atau sekitar 163.671 hektar. Hutan seluas itu terbagi menjadi 6 kompleks dengan namanya masing-masing. Dari ke-enam kompleks hutan ini, dua di antaranya berlokasi di wilayah Ropang yaitu hutan Jaranpusang  yang  berlokasi di Ropang Timur dan Plampang Barat, seluas 44.787 hektar  dan hutan Dodo berlokasi di Ropang Barat dan enclave Dodo, seluas 42.885 hektar.[42] Fungsi hutan selain untuk reservoir air, hutan-hutan sekunder disekitar hutan primer ditanami  dengan  tebu (Saccharum officinarum), merica (Piper nigrum L.), kemiri (Aleuritis moluccana Wild), kelapa (Cocos nucifera) dan kopi (Coffea sp.). Penanaman kopi sudah dimulai sekitar tahun 1880, ditanam di antara hutan-hutan liar.[43] Bahkan menurut penjelasan Lalu Manca (1984), pada masa pemerintahan Sultan Amrullah II 1836-1882, bibit kopi arabica (Coffea arabica) disebar di pengunungan Batu Lante dan Ropang.[44]  Produk pohon kopi terutama yang banyak terdapat di distrik Ropang  dibawa  dengan kuda ke Sumbawa Besar dijual kepada sultan  dengan harga rendah.[45]  Dari penjelasan yang singkat ini kami berkesimpulan bahwa dahulu hutan Dodo mampu menunjang kehidupan masyarakat manusia yang bermukim di sekitarnya karena ketersediaan sumber daya yang yang dieksploitasi  sebagai penunjang kehidupan.

Daftar Pustaka
Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome Pires : An Account  of The East from Read Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1511-1644. Translated from Portuguese MS in the Bibliothique de la chamber des Deputtes, Paris and Edited by Armando Cortesao, London: The Hakluyt Society, 1944.

Graaf, H.J.de, “Lombok in de 17e Eeuw, Djawa, Tijdschrift van het Java-Instutuut, XXI, 1941: 355-373.

Goethals, Peter R., Aspects of Local Government in A Sumbawan Village  (Eastern Indonesia). Monograph Series Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program Departement of Far Eastern Studies, Cornel University, Ithaca, New York, 1961.

Haris, Tawalinuddin,”Makam Karongkeng: Sebuah Laporan”,  Romantika Arkeologi, No: 24, Th.VII – Januari 1985 : 10.

------------, Kerajaan Tradisional Di Indonesia: Bima. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997.

Jasper, J.E., “Het Eiland Soembawa En Zijn Bevolking”, Tijdschrift voor het  Binnenlandsche Bestuur, deel 34, 1908 : 60-197.

Kuperus, Gerrit, Het Cultuuurlandschap van West-Soembawa. Bij J. B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V. Groningen – Batavia- 1936.

------------, “De Majapahitsche Onderhoorigheid Seran”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genoootschap,deel 59, 1942 : 771-774.

Lekkerkerker, C., “Enkele Nieuwe Gegevens Over Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genoootschap, deel 50,  1933 : 73-81.

Ligtvoet, A., “Aanteekeningen Betrefende den Economischen Toestand en de Ethnographie van het Rijk van Sumbawa”, Tijdschrift voor Indische taal-, Land, en Volkenkunde, deel  23, 1876 : 555-592.

Manca, Lalu, Sumbawa Pada Masa Dulu ( Suatu Tinjauan Sejarah ). Surabaya: Rinta Surabaya, 1984.

Meilink-Roelofsz, M.A.P., Asian Trade and  European Influence in The Indonesian Archipelago Between 1500 and About 1630. s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1962.

Naerssen, F.H, van,  “Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genoootschap , deel LV, 1938 : 90-100.

Noorduyn, J., “Bima en Soembawa, Bijdragen tot de Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligtvoet en G.P. Rouffaer”, VKI, 129, Foris Publications Dordrecht Holland/Providense-USA, 1987.

-----------, “Makasar and The Islamization of Bima”, Bijdragen van het Koninklijk Instuut., deel 142, 1987:  317-342.

Rahardjo, Supratikno dkk. Kota Banten Lama, mengelola warisan untuk masa depan. Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2011.

Renfew C. dan P. Bahn, Archaeology: Theories, Methods and Practise.London: Thames and Hudson, 2000.

Roux, C.C.F.M. le, “De Majapahitsche onderhoorigheden Hutan Kedali en Gurun en oud naan voor het eiland Flores”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genoootschap, deel 59, 1942 : 915-927.

Seeglar, G.J.,”Adatrechtgegevens van West-Soembawa”, dalam: Adatrehtbundel,  29, 1937 : 516-528.

Sodrie, Ahmad Chjolid,” Laporan Hasil Survai  Di Daerah Nusa Tenggara  Barat”. Jakarta: Berita Penelitian Arkeologi (BPA) NO; 12, 1977.

Sri Marlufi (penyunting), Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan  Nusa Tenggara Barat.  Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dinas kebudayaan Dan Pariwisata, Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2004.

Wacana, Lalu, Babad Lombok. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1979.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya.




Gambar 1. Peta Sumbawa (tanpa skala). Nama-nama yang disebutkan ada di peta














[1] Pengajar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
[2] Mahasiswa Depertemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (Angkatan 2002). Penulis bisa diemail di sulistyo.ary26@gmail.com
[3] Periksa G. Kuperus, Het Cultuurlandschap van West-Soembawa.. Bij. J. B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V. Groningen – Batavia – 1936 : 128-129.
[4] Peter R. Goethals, Aspects of Local Government in A Sumbawan Village ( Eastren Indonesia). Monograph Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program Deparrtement of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York, 1960 : 8. 
[5] Periksa Purusa Mahaviranata,”Sarkofagus Gunung Sangka Bulan” Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei 1983 : 149-155.
[6] Peter G. Gothals, op.cit.: 7
[7] J.E. Jasper, “Her Eiland van Soembawa en Zijn Bevolking “, Tijdschrift voot het Binnenlandsche Bestuur, deel 34, 1908 : 100.
[8] Peter G. Gothals, ibid.
[9] G. Kuperus, loc.cit. : 128.
[10] F.H. van Naerssen, :” Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch  Aardrijkskundige   Genootschap, deel LV,1938 ;91-92
[11] Th, Pigeaud, Java in The Fourteenth Century Vol. I : Javanese Texs in Transcription. Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde , The Hague Martinus Nijhoff, 1960 : 17.
[12] Lalu Manca, Sumbawa  Pada masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah). Penerbit “Tinta” Surabaya, 1984
[13] M.A. Bouman, “Toeherlanti ; de Bimaneeeche Sultanverhefing”, Kolonial Tijdschrift, 14, 1925 : 710-717.
[14] F.H.van Naerssen, op.cit. : 92.
[15] H.J.de Graaf, “Lombok in de 17e Eeuw”, Djawa, XX, 1941 : 357
[16] Periksa J.V. Mills, Chinese Navigators in Insulinde About A.D.  1500. Archipel 18, 1979 : 81-84
[17] Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea to Japan , Written ini  Malacca and India in 1511-1515. The Hakluyt Society, 1944 : 200-201.
[18] M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in Tha Indonesian  Archipelago Between 1500 and About 1630.s-Gravenhage, Martinus-Nijhoff, 1962 : 86-92
[19] G. Kuperus, op.cit : 132-133.
[20] Loc.cit.
[21] Ibid. : 134.
[22] Lalu Manca, op.cit. : 50
[23] Lalu Wacana, Babad Lombok. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979 : 18-19.
[24] H.J. de Graaf, op.cit. : 356.
[25] J. Noorduyn, “Makasar and The Islamization of Bima”, BKI., deel 142, 1987 : 327-328.
[26] Lalu Manca, op.cit., : 93-166.
[27] J. Noorduyn,”Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”,VKI. 129,  Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987, Bijalage I  
[28]  Lalu Manca, op.cit. : 86-87. Tentang wilayah kasultanan Sumbawa periksa juga :J.E. Jasper, “Het Eiland Soembawa en zijn Bevolking”, Tijdschrift voot het Binnenlandsche Bestuur, deel, 34 1908 : 86-87.
[29] Periksa Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Dulu ( Suatu Tinjuan Sejarah ). Penerbit “Rinta” Surabaya, 1984 : 153. tetpi menurut J. Noorduyn, Sultan Amarullah adalah sultan yang ke-17, memerintah tahun 1837-1883. ( Perikmsa : J. Noorduyn, Bima en Sumbawa , Bidragen Tot De Geschiedenis  Van De Sultanaten Bima En Sumbawa Door A. Ligtvoet en G.P. Rouffaer. Foris Publications, Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987 : Bijlage I.
[30] Periksa Tawalinuddin Haris, “Makam Krongkeng, Sebuah Laporan”, Romantika Arkeologi, N0;24 Tahun VII, Januari 1985 : 4-10,.Angka tahun 1277 H kalau dikonversi ke tahun Masehi menjadi 1860 M.
[31] Loc.cit. Angka tahun1288 H kalau dikonversi ke tahun Masehi menjadi 1871 M.
[32] Menurut penjelasan dari Juru Pelihara makam, Bapak Abubakar ( 50 th.)
[33] Periksa Ahmad Cholid Sodrie, “Laporan Hasil Survai Di Daerah Nusa Tenggara Barat”. Berita Penelitian Arkeologi No: 12, 1977 ; 9-10.
[34] Kalau dikonversi ke tahun Masehi menjadi tahun 1870 Masehi
[35] Kalau dikonversi ke tahun Masehi menjadi tahun 1836 Masehi, 1870 Masehi, 1873 Masehi dan 1928 Masehi.
[36] Th. Pigeaud, Java in The Fourteenthe  Century Vol. I : Javanese Texs in Transcription . Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde , The Hague  Martinus Nijhoff, 1960 : 17
[37] G. Kuperus, Het Cultuurtlandschap van West-Soembawa..Bij J.B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V. Groningen- Batavia- 1936 :18.
[38] Peter G. Gothals, op., cit. : 9.
[39] Ibid, : 3-4.
[40] J.E. Jasper, “Het Eiland  Soembawa  en Zijn Bevolking,”Tijdshrift voor het Binenlandsche Bestuur, deel; 34, 1908: 86
[41] Loc.cit.
[42] G. Kuperus, op.cit : 44.
[43] J.E. Jasper, op.cit. : 90
[44] Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjuan Sejarah. Penerbit “Rinta” Surabaya, 1984:154
[45] Ligtvoet,  op.cit.: 584; Kuperus, op.cit : 31.

Komentar

  1. Selamat malam, Bapak...
    Perkenalkan, saya Ratna dari Sastra Indonesia UI.
    Saat ini saya sedang menulis skripsi tentang Kerajaan Sumbawa.
    Saya sangat membutuhkan buku dengan judul Sumbawa Pada Masa Dulu yang ditulis oleh Lalu Manca, dan saya lihat Bapak mencantumkannya dalam data referensi. Apakah bapak memiliki buku tersebut?
    Jika diizinkan saya hendak meminjam selama masa penulisan skripsi saya.
    Atau jika Bapak memiliki informasi di mana saya bisa mendapatkan buku tersebut, saya akan sangat berterima kasih.

    Saya sangat berharap Bapak akan menghubungi saya balik melalui email pratiwiratna03@gmail.com
    Terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arsitektur Kolonial dan Konservasi

Arsitektur Kolonial dan Upaya Konservasi Cagar Budaya Bangunan PT. Samudera Indonesia Tbk di Kotatua Jakarta Oleh Ary Sulistyo [1] 1.      Arsitektur Kolonial Arsitektur era kolonial adalah arsitektur bangunan yang berkembang  pada masa koloniali Belanda di Indonesia hingga pada masa awal kemerdekaan. Arsitektur bangunan sangat terpengaruh oleh modernisme yang berkembang di Belanda. Pengaruh ini dibawa oleh arsitek Indonesia yang menempuh pendidikannya di Belanda terutama aliran perancangan arsitektur Delft dan De Stijl . Arsitektur kolonial tidak sepenuhnya meniru persis seperti yang ada di Belanda. Terdapat penyesuaian terhadap iklim tropis yang mengakibatkan penyesuaian bentuk terhadap bentuk keseluruhan bangunan maupun elemen-elemen bangunan. Menurut buku “ Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ” yang ditulis oleh Peter J. M. Nas (2009: 123), ciri khas ini terlihat pada jendela crossbar yang dihias dengan anyaman rotan sebagai ventilasi. Seperti y

Kota Tua Jakarta

Kotatua Jakarta: Melangkah Menuju Urban Heritage   Peringkat Dunia [1] Oleh: Ary Sulistyo [2] Apa yang kita bayangkan jika mengunjungi kota tua-kota tua di Pulau Jawa seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya? Kesan pertama kita adalah warisan sejarah yang perlu dilestarikan untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata. Kesan kedua adalah kesan kumuh, tidak terurus, dan bangunan nyaris bahkan roboh. Kesan kedua-lah penulis rasakan ketika berada di Kota Tua Jakarta; padahal pada awal tahun ini sudah terdaftar sebagai tentative list World Heritage UNESCO. Kota cerdas, kota tanggap bencana, dan masalah kota terkait isu-isu lingkungan sedang menjadi tren. Hampir setengah penduduk bumi menghuni di kota dan memberikan kontribusi hampir 70% Gas Rumah Kaca, serta urbanisasi yang akan mencapai 2 triliun jiwa pada tahun 2050. Hal ini tentunya akan menambah kerentanan kota terhadap perubahan iklim (Gad-Bigio, 2015: 113). Kota-kota di Indonesia khususnya Pulau Jawa, mayorita